Perikanan dan Pariwisata Maluku Belum Digarap Maksimal
›
Perikanan dan Pariwisata...
Iklan
Perikanan dan Pariwisata Maluku Belum Digarap Maksimal
Potensi Maluku terabaikan. Jika tak segera dimanfaatkan, keterbelakangan ekonomi Maluku akan terus terjadi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Potensi perikanan dan pariwisata di Maluku belum digarap maksimal lantaran minimnya investasi. Biaya transportasi dan ongkos logistik yang mahal serta infrastruktur tidak memadai menjadi alasan investor enggan menanamkan modal di Maluku. Kondisi yang tidak banyak berubah dari waktu ke waktu membuat Maluku seolah abadi dalam keterbelakangan ekonomi.
Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Universitas Pattimura Izaac Tonny Matitaputty kepada Kompas di Ambon, Sabtu (8/2/2020).
Menurut Izaac, Maluku bisa maju meski cukup mengandalkan sektor perikanan saja. Potensi perikanan di Maluku mencapai 3 juta ton per tahun atau sekitar 30 persen dari potensi nasional. Potensi itu tersebar merata di hampir semua wilayah perairan yang luas, seperti Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Arafura. Sayang, tidak ada industri besar yang berdiri di wilayah itu.
Hasil tangkapan nelayan tidak bisa terserap. Bahkan, pada saat tangkapan melimpah dan tak bisa terjual, nelayan terpaksa membuang ikan ke laut. Tidak ada saluran pasar. Ikan segar yang diekspor biasanya melalui Pulau Jawa. Sebelum diterbangkan ke Jawa, ikan harus dibawa dulu ke Ambon. ”Transportasinya susah dan mahal. Kalau nelayan lokal mau ekspor, pasti rugi karena biaya transportasi lebih mahal,” kata Izaac.
Kondisi itu menyebabkan nelayan lokal sulit maju. Mereka mengisi daftar penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, padahal tinggal di pesisir yang berlimpah sumber daya perikanan. Badan Pusat Statistik mengungkapkan jumlah penduduk miskin Maluku bertambah dari 317.690 orang pada Maret 2019 menjadi 319.510 orang pada September 2019. Dalam enam bulan, penduduk miskin naik sebanyak 1.820 orang.
Transportasinya susah dan mahal. Kalau nelayan lokal mau ekspor, pasti rugi karena biaya transportasi lebih mahal.
Sementara sektor pariwisata Maluku semakin terpuruk akibat kenaikan harga tiket pesawat udara sejak akhir 2018. Pihak maskapai sempat menurunkan harga tiket, tetapi tidak signifikan. Sebagai contoh, harga tiket rute Jakarta-Ambon untuk Minggu (9/2/2020) yang dijual aplikasi dalam jaringan paling murah Rp 1,5 juta. Sebelumnya, harga termurah pada rute tersebut Rp 900.000.
Sementara itu, harga tiket pesawat Ambon-Langgur di Kabupaten Maluku Tenggara pada hari yang sama Rp 1,3 juta. Rute itu hanya dilayani Wings Air setelah Garuda Indonesia menutup penerbangan tahun lalu. Sebelumnya, rute itu ramai dengan harga tiket turun hingga Rp 600.000. Setelah maskapai menaikkan harga tiket, penumpang sepi. Kondisi itu memukul pariwisata di daerah itu.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Maluku Noviarsano Manullang dalam keterangan pers yang diterima Kompas mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Maluku pada tahun 2019 sebesar 5,5 persen atau menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 5,94 persen. Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Maluku lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,02 persen.
Wakil Gubernur Maluku Barnabas N Orno mengatakan, keterbelakangan ekonomi di Maluku sangat ditentukan oleh pembangunan infrastruktur. Banyak proyek pembangunan infrastruktur di Maluku tidak diakomodasi pemerintah pusat dengan alasan jumlah penduduk tidak memenuhi syarat. ”Kalau seperti itu, sampai kiamat pun Maluku susah maju,” kata Barnabas.
Agar perekonomian di wilayah kepulauan seperti Maluku bisa tumbuh, pemerintah pusat perlu memberikan perlakuan khusus. Alokasi dana untuk wilayah kepulauan perlu memperhatikan luas laut. Selama ini alokasi hanya menghitung luas darat dan jumlah penduduk. Saat ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Maluku hanya Rp 3,5 triliun. Sekitar 70 persen dari anggaran itu habis untuk biaya rutin.