Batas Etika Safari Pimpinan KPK
Sudah tiga kali dalam sebulan ini pimpinan KPK menyambangi Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Hal ini memantik kekhawatiran terkait batas etika penegak hukum di tengah pekerjaan rumah pemberantasan korupsi.
Kamis (6/2/2020), lima unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berjalan cepat memasuki lobi Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, tempat ruang kerja pimpinan MPR, DPR, dan DPD berada.
Kedatangan Ketua KPK Firli Bahuri diiringi empat wakil ketua lainnya, yaitu Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, serta Alexander Marwata, itu mengundang pertanyaan dari wartawan yang sehari-hari meliput di Gedung DPR. Pasalnya, pertemuan antara pimpinan parlemen dan KPK tidak ada dalam jadwal resmi DPR hari itu.
Pertemuan tertutup yang tidak terjadwal itu berlangsung satu jam. Kelima unsur pimpinan KPK diterima lengkap oleh pimpinan DPR, termasuk Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar dan Aziz Syamsuddin. Keduanya pernah beberapa kali dimintai keterangan penyidik KPK terkait sejumlah kasus korupsi yang tengah ditangani lembaga tersebut.
Muhaimin, misalnya, pada 29 Januari lalu, dimintai keterangan sebagai saksi untuk Direktur PT Sharleen Raya Hong Artha John Alfred, yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap terkait proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Muhaimin yang dimintai keterangan selama 4,5 jam membantah terlibat dalam kasus tersebut.
Sementara Aziz Syamsuddin, pada 6 Januari lalu, dilaporkan ke KPK oleh sekelompok masyarakat atas dugaan keterlibatan dalam korupsi dana alokasi khusus Lampung Tengah. Aziz dituduh meminta jatah 8 persen dari pengesahan DAK perubahan 2017 dalam kapasitasnya sebagai Ketua Badan Anggaran DPR saat itu.
Pengaduan itu dilakukan berdasarkan pengakuan mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa yang mengatakan pernah diminta uang fee oleh Aziz. Terkait laporan ini, Aziz sudah berulang kali membantah. Politisi Golkar lainnya, Doli Ahmad Kurnia, mempertanyakan alat bukti terkait laporan tersebut.
Firli mengatakan, kunjungannya ke DPR dalam rangka perkenalan sekaligus memaparkan rencana dan program kerja KPK ke depan. Pertemuan itu juga disebutnya masih dalam koridor tugas pencegahan korupsi.
Ia menegaskan tak ada pembahasan mengenai perkara dalam pertemuan itu. ”Jangan curiga. Banyak hal yang perlu dibicarakan, tidak bahas tentang perkara, siapa pun statusnya. Kalau memang berproses hukum, kami akan proses hukum,” katanya.
Ini adalah kali ketiga dalam sebulan terakhir pimpinan KPK mengunjungi Gedung Parlemen dan mengadakan pertemuan tertutup dengan pimpinan di gedung wakil rakyat itu. Pada 14 Januari 2020, pimpinan KPK bertemu pimpinan MPR. Selang satu minggu kemudian, pimpinan KPK bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR. Agenda pertemuan ini juga tidak ada dalam jadwal resmi DPR. Saat sampai di Gedung Nusantara III yang ramai dengan wartawan, Firli yang sudah bersiap keluar dari mobil masuk lagi ke dalam mobil dan memilih untuk turun di Gedung Nusantara II.
Selain bersilaturahmi, menurut Firli, pertemuan juga untuk mengevaluasi kerja KPK periode sebelumnya. KPK juga menyampaikan kendala yang masih dihadapi terkait peraturan turunan yang belum dibuat dari UU terbaru.
Tak bahas perkara
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, tidak masalah jika pimpinan KPK kerap bersilaturahmi dengan DPR. ”Justru bagus. Ini bentuk komunikasi yang baik, toh bukan hanya ke DPR, tapi ke semua lembaga. Apalagi mengingat program utama mereka itu pencegahan,” katanya.
Saat ditanyakan mengenai persoalan etika, ia mengatakan, pertemuan tersebut tidak membahas perkara meskipun dihadiri juga oleh pimpinan DPR yang pernah dimintai keterangan sebagai saksi di KPK. ”Datangnya ke lembaga, bukan orangnya. Lagi pula, kami, kan, tidak membahas perkara,” kata Dasco terkait pertemuan yang berlangsung tertutup itu.
Pertemuan tersebut tidak membahas perkara meskipun dihadiri juga oleh pimpinan DPR yang pernah dimintai keterangan sebagai saksi di KPK.
Keakraban yang terjalin antara DPR dan pimpinan KPK periode ini tampak juga pada rapat dengar pendapat pertama kali di Komisi III, 27 Januari 2020. Saat itu, tidak ada sedikit pun kritik dan interupsi meskipun tidak ada hal baru yang dipaparkan Firli karena sebagian bahan yang disampaikan sama dengan program yang diusung pimpinan KPK sebelumnya.
Saat sesi tanya jawab, tiap perwakilan fraksi, kecuali Benny K Harman dari Partai Demokrat, mengawali dengan mengucapkan selamat dan menyampaikan pujian serta harapan kepada pimpinan KPK.
Nuansa itu berbeda saat anggota Komisi III berinteraksi dengan Dewan Pengawas KPK yang juga hadir di rapat. Komisi III DPR langsung menuding Syamsuddin Haris yang disebut-sebut memberi pernyataan tak pantas mengenai revisi UU KPK dan upaya pelemahan KPK yang tak bisa dilepaskan dari partai politik.
Dalam kesempatan itu, Firli juga membuka diri untuk berkomunikasi secara personal jika anggota DPR, khususnya Komisi III, membutuhkan. Padahal, dalam UU KPK hasil revisi, aturan untuk tidak bertemu dengan pihak yang berpotensi konflik kepentingan tetap ada. Peraturan KPK No 5/2019 tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan memperkuat hal itu.
Demikian juga Peraturan KPK No 7/2013 tentang Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK, terkait poin integritas. Di sana, dijelaskan kalau mereka yang bekerja untuk KPK dilarang mengadakan hubungan langsung dengan tersangka/terdakwa/terpidana atau pihak lain yang masih ada relasi dengan perkara yang berlangsung, kecuali dalam rangka menjalankan tugas dan sepengetahuan pimpinan/atasan langsung.
Kunjungan tidak hanya dilakukan pimpinan KPK ke Gedung DPR, tetapi juga ke berbagai lembaga. Setidaknya ada 17 lembaga yang dikunjungi, seperti Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian BUMN, Kementerian Agama, Kementerian PUPR, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI, MPR, dan DPR.
Dari berbagai kunjungan itu, kontennya serupa, yakni bersilaturahmi, memperkenalkan pimpinan KPK yang baru, mengapresiasi komitmen pencegahan, serta berniat memperkuat upaya pencegahan korupsi di setiap lembaga.
Berbeda
Budaya bersafari dan bersilaturahmi ini berbeda dengan yang dilakukan pimpinan sebelumnya. Sebelumnya, tak banyak kunjungan yang dilakukan, baik terbuka maupun tertutup. Pada era Agus Rahardjo, misalnya, dari catatan Kompas, pertemuan hanya dilakukan pada pekan awal untuk perkenalan atau upaya menjalin nota kesepahaman bidang pencegahan. Selebihnya, pimpinan KPK langsung fokus merampungkan pekerjaan rumah internal dan menuntaskan perkara.
Pada era kepemimpinan Abraham Samad, sikap keras langsung ditunjukkan dengan bekerja merampungkan perkara dan sedikit safari. Begitu pula pada masa kepemimpinan Antasari Azhar dan Taufiequrachman Ruki, sinergi diupayakan tanpa berulang kali keliling ke berbagai instansi.
Menurut Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad, kunjungan dilakukan sebatas diperlukan dan sesuai aturan kode etik hanya pada awal menjabat. Fokus kerja saat itu adalah menyelesaikan perkara besar yang ada.
Oleh karena itu, ini menjadi babak baru hubungan yang cair antara KPK dan lembaga lain, khususnya DPR. Selama ini, hubungan kedua institusi kerap dipandang buruk dan berjarak.
Saat ditanyakan mengenai kebiasaan baru bersilaturahmi yang berbeda dari pimpinan KPK sebelumnya, Firli meminta tak dibandingkan-dibandingkan.
”Mohon maaf, saya tidak ingin membandingkan yang sebelumnya dengan sekarang,” ujarnya.
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyampaikan ada aturan yang dapat diikuti pimpinan terkait dengan pertemuan dengan pejabat negara lainnya.
”Jika memang teragenda secara resmi dan diketahui banyak pihak, sebenarnya tidak ada masalah. Tapi ada batasan untuk pertemuan dengan tersangka atau pihak beperkara,” ujar Tumpak.
Ia mengatakan, terkadang pertemuan tidak sengaja dapat terjadi. ”Misalkan datang ke sebuah acara yang tidak sengaja bertemu dengan pihak beperkara, tentu beda karena tidak direncanakan dan hanya sekadar berpapasan,” kata Tumpak.
Dalam Peraturan KPK No 7/2013, ada sejumlah koridor yang harus diikuti pimpinan, antara lain memberitahukan pada pimpinan lain jika ada potensi benturan kepentingan. Kemudian, menghindari/bersikap hati-hati dalam menjalin hubungan dengan instansi/lembaga atau dengan kelompok lain yang patut diduga dapat mempengaruhi kemandirian KPK.
Pertemuan dan jalinan relasi dalam rangka sinergi memang dibutuhkan bagi pemberantasan korupsi karena sejatinya perlawanan terhadap korupsi perlu dilakukan bersama. Namun, di antara pekerjaan rumah penuntasan perkara dan penguatan kelembagaan, perlukah safari tanpa henti yang bila tidak hati-hati dipandang bisa memengaruhi independensi?