Menjadi ibu dan tetap berkarier sebagai penyanyi atau musisi bukan perkara mudah. Dunia musik, pada beberapa hal, berasosiasi dengan dunia yang tak ramah anak.
Oleh
DWI AS SETIANINGSIH
·5 menit baca
Para perempuan penyanyi dan musisi yang juga melakoni peran sebagai ibu harus berjuang menyeimbangkan diri agar kedua peran itu bisa berjalan beriringan. Sepak terjang mereka mungkin sedikit melambat. Tetapi, mimpi mereka tetap hidup dan menyala. Apabila saatnya tiba, mereka kembali melesat.
Menjadi ibu dan tetap berkarier sebagai penyanyi atau musisi bukan perkara mudah. Dunia musik, pada beberapa hal, berasosiasi dengan dunia yang tak ramah anak. Suara musik keras, panggung-panggung yang digelar malam hari, minuman keras, dan serbuan asap rokok sampai detik ini tak benar-benar hilang dari panggung musik. Itu menjadikan dunia musik kerap tak ramah anak. Belum lagi soal kompetisi yang ketat di kancah musik.
Sejumlah penyanyi dan musisi yang kini juga berstatus sebagai ibu berupaya menyiasati agar peran menjadi ibu dan profesi sebagai penyanyi/musisi itu dapat berjalan beriringan. Tentu dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan yang menyertai.
Fitria Anggraeni alias Fia yang bersama sang suami, Daniel Samarkand, mengasuh putri semata wayang mereka, Ichelle (7), tanpa bantuan pengasuh merasakan betul perubahan itu.
”Dulu, sebelum punya anak, waktu lebih banyak. Fleksibel. Di musik bisa full-time. Mau tampil di depan layar atau di belakang layar, bebas. Mau bikin lagu anytime, begitu ada mood langsung ngalir. Setelah punya anak harus bagi waktu, semua harus dijadwalin, termasuk bikin lagu. Enggak bisa lagi andalkan mood. Apalagi, kami ngurus semuanya sendiri. Jadi, benar-benar harus andalkan team work dengan suami,” papar Fia, Kamis (6/2/2020), di Jakarta.
Fia mengenang, saat usia Ichelle belum genap setahun dan dia harus manggung, Daniel yang berperan sebagai soundman menggendong Ichelle menggunakan gendongan bayi di bagian depan. Telinganya ditutup headset agar tak terpapar suara musik yang keras.
”Gitu juga kalau Mas Daniel yang lagi manggung. Tetapi, kami lihat-lihat venue juga. Kalau enggak memungkinkan, kami titip di tempat mama atau kakak,” kata Fia.
Pada beberapa kesempatan, saat Fia dan Daniel harus manggung bersama, Ichelle dititipkan kepada teman-teman sesama musisi yang juga sudah sangat akrab dengan Ichelle. Menjadi bagian dari ”anak band” membuat Ichelle pun tidur larut.
Seiring waktu, Fia dan Daniel lebih banyak memilih bekerja di belakang layar. Mereka juga berupaya mengatur waktu sebaik mungkin, selektif memilih proyek, dan sebisa mungkin mengerjakannya di studio di rumah mereka. Jika harus ke luar kota, mereka memilih bermobil agar Ichelle yang ikut serta bisa istirahat lebih nyaman.
Semua berjalan baik-baik saja, termasuk proyek yang terus mengalir, meski semua tetap diatur sedemikian rupa dengan ketat. Hingga akhir tahun lalu, Ichelle terpaksa masuk rumah sakit. Peristiwa itu menjadi alarm bagi Fia untuk memilih prioritas lebih serius lagi.
”Masuk tahun 2020, aku sudah ngobrol banyak dengan suami. Ibarat mimpi, kalau dikejar enggak ada habisnya. Sejauh ini, aku sudah cukup puas dengan pencapaianku. Sekarang, prioritas benar-benar ke anak karena masterpiece kami, ya, Ichelle. Sekarang aku agak membatasi, enggak mau ngoyo. Tinggal jalani aja. Tetapi, kalau mimpi, sih, tetap menyala,” kata Fia. Tawanya berderai.
Harus berjuang
Penyanyi Radhini Aprilya yang kini menjadi ibu bagi Imani Soleil (6 bulan) malah belum aktif kembali di dunia musik sejak ia hamil. Ia merasa kini hampir tak punya me time. Semuanya masih terfokus pada Imani yang jadi prioritas Radhini.
”Sampai saat ini, aku belum aktif nyanyi lagi. Untuk berkarya lagi so far juga belum karena tenaga dan waktunya belum ada. Karena emang kebetulan aku ngurus anak sendiri. Ada helper, tetapi cuma pergi-pulang dan enggak setiap hari. Jadi, kesulitannya ya itu, manajemen waktu,” ujarnya.
Tahun ini, Radhini sebenarnya sudah berniat untuk berkarya lagi. Namun, selain keterbatasan waktu untuk diri sendiri, hingga kini Radhini masih mengalami writer’s block sehingga belum ada inspirasi lagi untuk menulis.
”Tenaganya juga enggak ada. Waktu kosongku paling dimulai dari pukul 10 malam yang anakku udah benar-benar tidur. Nah, di pukul 10 malam itu pun banyak yang harus dilakuin. Jadi, kadang-kadang pengin mulai nulis lagu lagi di jam segituudah kecapekan, akhirnya ketiduran. Masih rada sulit, sih, tetapi sangat berniat untuk kembali aktif nyanyi lagi segera. Emang harus bisa nyolong-nyolong waktu,” katanya.
Menurut Radhini, karena ia belum berkarya lagi, wajar jika permintaan pasar pun berkurang. Akibatnya, orang mungkin mulai sedikit ”lupa”. ”Yah, enggak apa-apa, dijalani aja. Malah sekarang jadi lebih santai menjalani karier. Imani, menurut aku, juga rezeki yang sangat luar biasa. Aku yakin, kok, tertutup pintu rezeki yang satu, akan terbuka pintu rezeki yang lain. Tetap dipersiapkan, cuma ambisinya lebih realistis aja,” kata Radhini. Dia berharap bisa segera kembali menulis lagu dan berkarya lagi.
Urusan waktu juga menjadi persoalan bagi Puti Chitara, solois dan vokalis Barasuara yang kini menjadi ibu bagi Carma (2). Waktu 24 jam
dia manfaatkan baik-baik. ”Kalau misalnya anak udah tidur pukul 10, ya, memanfaatkan sisa waktu malam itu,” kata Puti.
Meski waktu yang tersisa sangat sempit, bagi Puti yang pada dasarnya adalah seorang penulis lagu, ide harus tetap ditumpahkan. Jika tidak, dia takut justru stres. ”Sesibuk apa pun harus ditumpahin, dikeluarin. Karena kalau enggak, misalnya tampungannya udah penuh, susah masukin ide baru. Jadi stuck dan enggak bisa relevan dengan saat ini,” katanya.
Puti yang telah merilis empat singel calon-calon lagu di album solo ketiganya memanfaatkan transisinya menjadi ibu sebagai inspirasi lagu-lagu itu. ”Ada yang bilang lagu-laguku tentang rumah, tentang keluarga. Itu aku tambah sadar karena memang inspirasiku itu,” katanya.
Ini bukti, menjadi ibu tidak menghentikan Puti untuk tetap berkarya. Satu hal yang menjadi catatan Puti adalah soal kompetisi di antara sesama musisi. Hal itu karena saat ini venue tidak banyak, sementara festival banyak didominasi oleh perusahaan rokok yang masing-masing punya ambassador dan target sendiri.
Puti menceritakan pengalamannya, dia pernah disponsori perusahaan rokok. Namun, begitu ia punya anak, kerja sama langsung diputus.
”Terus gimana nasib kami ibu-ibu yang main musik? Festival sedikit, venue juga sedikit. Jadi, kami harus fight. Karena kami, kan, juga pengin orang dengar karya kami. Bukan cuma karena pengin kaya,” ungkap Puti.