Menyintas Kanker Bersama Komunitas
Vonis kanker dari dokter bagaikan pengumuman kiamat bagi sebagian penderitanya. Rasa takut menjalar dan memerangkap mereka dalam imaji kematian. Uluran tangan sesama penderita kanker yang kemudian menyelamatkan mereka.
Indra Tutiyati (54) langsung lemas ketika dokter mendiagnosis dirinya menderita kanker payudara pada 2010. Ia langsung teringat saudaranya yang beberapa waktu lalu meninggal karena kanker. Indra sebelumnya kerap menemani saudaranya itu ketika dirawat di rumah sakit.
Ia ingat, usai divonis, ia mengendarai motor dari rumah sakit ke rumah sambil menangis tersedu-sedu. Tatapan heran dari pengendara lain di jalan tidak ia pedulikan. Kala itu, ia tidak bisa berpikir jernih.
”Saya takut mati. Rasanya sedih sekali. Dua minggu setelah divonis kanker, saya menjalani operasi. Salah satu payudara saya diangkat,” kata Indra di Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Saking kalutnya, Indra menuruti semua saran dari orang-orang di sekitarnya untuk sembuh. Salah satu yang dilakukan adalah mengapit telur ayam kampung di ketiak selama beberapa saat. Telur itu harus dari ayam kampung yang baru pertama kali bertelur. Telur juga harus dihangatkan terlebih dahulu dengan daun pisang.
Ia juga sempat meminum air rebusan sarang semut. Selain itu, ia juga meminum air rebusan daun sirsak. Pohon sirsak yang tiap hari ia petik daunnya pun nyaris gundul. Hanya daun-daun muda yang tersisa di rantingnya.
Kini, Indra dapat menertawakan dirinya di masa lampau. Masa ketika ia menangis tersedu-sedu seakan tidak ada hari esok sudah berakhir. ”Pokoknya saya dulu norak banget karena takut mati,” katanya sambil terkekeh.
Semangat hidup kembali ia dapatkan setelah dokter menyarankan ia bergabung dengan komunitas penderita dan penyintas kanker. Cancer Information and Support Center (CISC) namanya. Dukungan dari sesama anggota membuatnya tabah bahkan senang.
CISC merupakan wadah bagi penderita kanker untuk saling mendukung satu sama lain. Selain memberi dorongan moral, CISC juga rutin berbagi informasi tentang kanker yang telah terverifikasi. Hanya informasi medis yang diperkenankan beredar di komunitas itu.
Indra juga bergabung dengan klub tari di CISC. Hobi barunya tersebut membawa Indra menjadi salah satu penari di acara pembuka dan penutup Asian Games 2018.
Pengalaman berharga
Bergabung dengan CISC membuat Dhita (60) menyerap energi positif. Pengalaman berharga ia dapatkan dengan mendukung sesama penderita kanker. Pengetahuannya seputar kanker pun semakin kaya.
Ia pertama kali didiagnosis menderita kanker payudara tahun 1999. Kala itu, pengetahuannya soal kanker sangat minim.
Ia tidak tahu bahwa perempuan harus rajin memeriksa kesehatan, salah satunya payudara. Ia juga mengabaikan sejumlah gejala yang diperlihatkan tubuhnya.
Dari hasil pemeriksaan, Dhita menemukan sejumlah benjolan di payudaranya. Dokter pun menyarankan agar ia melakukan operasi pengangkatan benjolan tersebut. Ada 13 benjolan seukuran biji kedelai yang ditemukan di payudara Dhita.
Rangkaian pengobatan masih harus dijalani setelah operasi usai. Dhita harus menjalani enam sesi kemoterapi. Namun, ia tidak gentar.
”Saya tidak mau terpuruk karena anak-anak saya saat itu masih kecil. Saya sudah berkeluarga, sudah punya anak, dan usia saya 40 tahun saat itu. Kehilangan satu payudara bukan masalah buat saya. Happy saja menjalani ini semua,” kata Dhita, Kamis (6/2/2020).
Walau demikian, kesedihan pernah menghampiri Dhita ketika rambutnya mulai rontok. Namun, kesedihan itu tidak ia rasakan terlalu lama berkat dukungan keluarga. Usai bersedih, ia justru segera memanggil tukang cukur untuk mencukur rambutnya hingga plontos.
Pada 2004, Dhita bergabung dengan CISC. Komunitas itu sedikit banyak mengubah hidupnya. Ia sering menghabiskan waktu dengan sesama anggota dan berbagi cerita. Ia juga menyaksikan banyak anggota yang bangkit dari keterpurukan dengan topangan anggota lain.
”Saya berterima kasih kepada Allah karena diberi penyakit ini. Saya jadi bisa berbagi kasih dengan orang lain dan mendukung pasien lain di rumah sakit. Ini (pengalaman) yang tidak ternilai dengan uang,” kata Dhita.
Kurang informasi
Bermula dari minimnya informasi seputar kanker di awal tahun 2000-an, CISC dibentuk pada 3 April 2003. Komunitas ini didirikan atas gagasan Aryanthi Baramuli Putri dan Yuniko Devita. Keduanya merupakan penyintas kanker yang pernah merasa ”dirugikan” dengan informasi yang terbatas tentang kanker.
”Kami adalah korban ketidaktahuan dan kekurangan informasi akan kanker. Bukan hanya informasi yang dibutuhkan oleh penderita kanker, tapi juga dukungan dari keluarga dan teman,” kata Aryanthi.
Edukasi dan informasi yang benar tentang kanker dinilai krusial bagi kesembuhan penderita kanker. Sebab, ada banyak mitos dan informasi yang tidak tepat tentang kanker beredar di masyarakat. Padahal, begitu seseorang divonis menderita kanker, pengobatan medis harus segera dilakukan. Penanganan dengan segera pun memperbesar peluang untuk sembuh.
CISC perlahan tumbuh secara organik dan eksis hingga sekarang. Ada sekitar 2.000 anggota yang tersebar di 11 provinsi, antara lain Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta.
Pada 2008, CISC membangun rumah singgah pertama di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Rumah itu bisa digunakan para pasien kanker dan satu pendamping yang datang ke Jakarta untuk berobat.
Masing-masing orang membayar iuran Rp 10.000 per malam. Aryanthi mengatakan, iuran itu sifatnya sukarela.
”Dulu, pengobatan memang dibiayai Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Tapi, biaya hidup tidak. Biaya hidup itu tinggi. Itu sebabnya kami membuat rumah yang sederhana, tapi nyaman dan humanis. Sekarang ada tiga rumah singgah di Jakarta. Ada juga di Banjarmasin dan Batam,” kata Aryanthi.
Ia tidak pernah menyangka CISC akan menjadi besar seperti sekarang. Ia ingat betul rapat pertama CISC dihadiri hanya oleh 11 orang. ”Ada yang sudah meninggal. Kami sedih sekali, tapi CISC harus terus berjalan,” katanya.
CISC kini terdaftar sebagai anggota Union for International Cancer Control, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Geneva, Swiss.
Selain itu, CISC juga bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional RI dan Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Kerja sama itu bertujuan untuk memberikan literasi kanker kepada publik melalui laman internet.
”Sekitar 90 persen anggota kami adalah penyintas kanker. Kami rutin bertemu dalam suka dan duka sehingga sudah seperti keluarga sendiri. Kami merasa CISC adalah milik bersama yang harus dikembangkan,” kata Aryanthi.