Misteri Penarikan Tugas Aparat di KPK yang Memburu Harun Masiku
›
Misteri Penarikan Tugas Aparat...
Iklan
Misteri Penarikan Tugas Aparat di KPK yang Memburu Harun Masiku
Penarikan tugas aparat kejaksaan hingga kepolisian di KPK masih menyisakan tanya. Mereka adalah aparat yang terlihat dalam proses penyelidikan dan penyidikan politisi PDI-P, Harun Masiku.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
Satu per satu mereka yang terlibat dalam penyelidikan dan penyidikan operasi tangkap tangan kasus dugaan suap terhadap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang juga melibatkan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku, dikembalikan ke instansi asalnya. Sejak OTT pada awal Januari, hingga Minggu (9/2/2020), seorang jaksa dan seorang polisi diberhentikan dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Yadyn Palebangan, jaksa yang semestinya bertugas di KPK hingga Maret 2022, dan dapat diperpanjang sampai 2024, kembali bertugas di Kejaksaan Agung pada 3 Februari. Yadyn mengaku, ia menjadi bagian tim analis dalam OTT kasus dugaan suap proses pergantian antarwaktu anggota (PAW) DPR periode 2019-2024, pada awal Januari.
”Pada prinsipnya saya mengetahui dan memahami kasus itu (dugaan suap proses PAW DPR periode 2019-2024). Saya mengikuti dari awal dan alhamdulillah hampir semua proses penyelidikan tertutup itu surat keputusan dari kami,” ujar Yadyn pada 31 Januari.
Pengakuan ini disampaikan Yadyn seusai sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa Edy Sofyan dan terdakwa Budy Hartono dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Sidang terkait izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut serta proyek reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kepulauan Riau tahun 2018-2019.
”Kami menyadari bahwa upaya penegakan hukum yang sedang dilaksanakan ini adalah tugas yang tidak ringan karena dalam suasana gejolak di masyarakat yang menuntut adanya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik,” tutur Yadyn saat membacakan tuntutan.
Maka, kata Yadyn, pemberantasan tindak pidana korupsi seperti yang dihadapi sekarang tidak hanya ditujukan semata-mata untuk menghukum para pelakunya, tetapi diharapkan akan lebih memberikan dampak pencegahan meluasnya praktik-praktik korupsi di kemudian hari.
Meski belum sampai pada putusan, sidang tuntutan dalam perkara ini menjadi sidang terakhir bagi Yadyn di Pengadilan Tipikor. Sebagai bentuk tanggung jawab, Yadyn berharap agar dirinya dapat terlebih dahulu menyelesaikan perkara ini.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2012 dalam Pasal 5A Ayat (2b) dikatakan, penarikan oleh instansi asal dapat dilakukan dengan ketentuan, semua tugas dan tanggung jawab pekerjaannya telah diselesaikan. Namun, Jaksa Agung ST Burhanuddin menarik Yadyn dan menempatkannya pada jabatan fungsional dengan alasan kebutuhan organisasi.
Dengan mata berkaca-kaca, Yadyn menegaskan, suatu saat dirinya akan kembali ke KPK. ”Teman-teman harus tetap menjaga integritas secara independen, yaitu bersikap adil tanpa tebang pilih. KPK itu bekerja bukan kepentingan orang per orang, bukan kepentingan politik, melainkan kepentingan Merah Putih,” tegasnya kepada para jurnalis.
Adapun penyidik KPK, Komisaris Rossa Purba Bekti, ditarik oleh Kepolisian Negara RI (Polri) pada 13 Januari dan disepakati kelima unsur pimpinan KPK pada 15 Januari. Sebagai tindak lanjut, pada 21 Januari, pimpinan KPK menandatangani surat kepada Kepala Polri. Surat terkait penghadapan kembali Rossa kepada Polri diserahkan pada 24 Januari.
Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap, menyampaikan, dengan begitu, Rossa kembali bertugas di Polri per 1 Februari. Namun, pada 21 Januari, ada pula surat pembatalan penarikan terhadap Rossa yang ditandatangani oleh Wakil Kepala Polri. Atas surat ini, Polri berkomitmen, Rossa tetap di KPK.
Sementara itu, pimpinan KPK baru mendisposisi surat tersebut pada 28 Januari. Kemudian, pada 29 Januari, Polri kembali menyurati KPK yang intinya, Rossa tetap melaksanakan tugas di KPK karena masa penugasannya baru berakhir pada 23 September 2020. Rossa bertugas di KPK sejak September 2016, artinya masih dapat diperpanjang hingga 2024, bahkan 2026.
Rossa, kata Yudi, merupakan salah satu penyidik sekaligus penyelidik yang mendapatkan surat tugas untuk ikut dalam OTT Salah satu targetnya, yakni Harun Masiku, yang saat itu berada di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun, Harun Masiku tidak berhasil ditangkap karena penyidik kehilangan Harun.
Potensi menghalangi penyidikan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mempertanyakan, mengapa mereka yang terlibat langsung dalam penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan suap proses PAW anggota DPR periode 2019-2024 malah ditarik di tengah jalan. ”Itu sudah pasti patut dicurigai,” ujarnya.
Feri menyampaikan, upaya menghalangi proses hukum atau obstruction of justice tentu memiliki konsekuensi hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.
Pimpinan KPK, kata Feri, patut menjelaskan kepada publik ada hal ihwal apa yang mendasari pemberhentian Yadyn dan Rossa. Jika tidak bisa menjelaskan, jelas ada kepentingan lain di balik itu.
Dalam membuktikan adanya potensi pelanggaran administrasi, bahkan adanya upaya menghalangi penyidikan, kata Feri, ada banyak ruang yang bisa dilakukan, misalnya Ombudsman bisa menelaah apakah telah terjadi pelanggaran prosedur.
Selain itu, bisa ada yang mengajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran kebijakan dan tindakan pelanggaran administrasi dari pimpinan KPK, apakah betul terjadi tindak pidana.
”Jadi banyak yang bisa dilakukan, termasuk Dewan Pengawas yang bertugas mengawasi kewenangan dari KPK, apakah telah terjadi pelanggaran etik atau penyimpangan kewenangan. Jika Dewas tidak melakukannya, artinya keberadaan Dewas dalam Undang-Undang KPK No 19/2019 menjadi tidak berfungsi,” tegas Feri.
Pemberhentian penyidik dan penuntut KPK tanpa adanya alasan yang jelas dari pimpinan KPK tentu akan terus menjadi pertanyaan publik, apakah kasus ini dapat dibongkar secara jelas tanpa menimbulkan kecurigaan-kecurigaan adanya kepentingan lain dari pimpinan KPK, selain memberantas korupsi. Umur panjang perjuangan!