Hari-hari ini rasionalitas menjadi panglima. Logika menjadi alat validasi, termasuk urusan jatuh cinta yang sebenarnya tak perlu logika. Perupa Putu Bonuz Sudiana mencoba menafikan itu. Dia berkarya tanpa berpikir.
Oleh
Mohammad Hilmi Faiq
·4 menit baca
Frasa ”tanpa berpikir” tentu tidak bisa dimaknai secara apa adanya karena sejatinya tidak ada manusia bertindak tanpa sama sekali berpikir. Sekalipun orang itu terganggu pikirannya. Terkait proses kreasi Bonuz, berpikir itu bisa dimaknai sebagai upaya dia berpikir keras agar dapat berkarya tanpa berpikir.
Bingung? Begini, Bonuz mengedepankan emosi dan rasa dalam mencoret, menumpahkan, maupun menimpa cat akrilik pada kanvas. Perasaan itu jangan sampai terganggu oleh rasionalitas atau pikiran logis. Caranya, dia melukis sambil mengobrol, mendengarkan radio, atau menyalakan televisi. Pikirannya dia letakkan di sana, pada tema pembicaraan atau pada isu yang diributkan radio dan televisi.
Dengan cara itu, Bonuz meyakini karyanya lebih mengandung emosi. ”Pikiran tidak boleh hadir saat saya melukis,” kata Bonuz di sela-sela pembukaan pameran tunggalnya bertajuk Samasisi di Orbital Dago, Bandung, Rabu (22/1/2020).
Pameran yang menampilkan 16 karyanya ini berlangsung hingga 15 Februari mendatang. Tajuk Samasisi merujuk pada ukuran kanvas yang dia gunakan yakni 70 cm x 70 dan 100 cm x 100 cm.
Setiap karya dia selesaikan dalam hitungan menit. Maka dapat dipahami jika goresan maupun jejak gerak pada kanvas karya Bonuz terkesan spontan, bertenaga, dan kadang memunculkan kejutan.
Gambaran tersebut misalnya dapat dilihat dalam karya ”Samasisi #A4”. Bonuz melumuri kanvas dengan bubuk gergaji yang dicampur lem kayu dan cat hitam. Dia lalu menumpahkan cat warna emas di salah satu pojok kanvas sebelum menimpanya dengan warna hitam dan biru. Ia lalu mengakhiri dengan cipratan warna merah dan putih.
Pikiran tidak boleh hadir saat saya melukis.
Cipratan warna putih pada cat-cat warna tua itu menyebar lewat titik-titik tak beraturan membentuk semacam lengkungan: sebuah imaji yang sulit terukur. Itulah kejutan sekaligus spontanitasnya.
Kesan serupa muncul pada karya ”Samasisi #A2”. Bedanya, karya ini terkesan lebih terang daripada ”Samasisi #A4”. Bonuz menjelaskan, dua karya tersebut bersama dua karya lainnya masih satu seri yang dikerjakan secara paralel sehingga wajar jika memunculkan kesan serupa.
Tentang paralelisme ini, juga terjadi dalam praktik pameran. Pada saat yang bersamaan, Bonuz menggelar pameran bertajuk Soundsibilitydi Ubud Bali pada 28 Desember 2019 sampai 28 Januari 2020. Artinya, terdapat irisan waktu pameran antara Soundsibility dan Samasisi.
Keseimbangan
Pengertian ”tanpa berpikir” sebagaimana disebut Bonuz di atas sebenarnya hanya ada dalam wilayah prakonsepsi. Ketika Bonuz berhenti pada satu titik untuk mengakhiri sebuah karya, pelan-pelan dia menafsir karyanya itu sehingga muncul sebuah gagasan, ide, emosi, maupun narasi.
Dengan kata lain, Bonuz tidak menanggalkan pikiran atau rasionalitas secara penuh. Apalagi, Bonuz adalah perupa yang artikulatif dalam menjelaskan karyanya lewat kata-kata.
Tentang Samasisi, ia menganalogikan itu sebagai keseimbangan. Sebuah gambaran tentang persamaan derajat dan kedudukan dari mana pun asalnya. Apakah itu dari barat, timur, utara, maupun selatan. Dari atas, bawah, kanan, maupun kiri. Dalam skala kanvas, semua sama.
Tentang keseimbangan itu, juga merujuk pada warna yang digunakan Bonuz. Di setiap karyanya, selalu ada warna hitam, merah, dan putih. Warna hitam secara khusus dia maknai sebagai warna yang kuat, pemberi aksen, sekaligus pelebur. Warna apa pun jika sudah dicampur warna hitam, warna aslinya hilang. Begitu besar pengaruh warna hitam.
Kadang kita juga tak perlu berpikir menikmati karya-karya yang katanya diciptakan tanpa berpikir ini.
Dalam Hindu, warna merah, hitam, dan putih merujuk pada konsep Tri Datu. Malam itu, Bonuz memakai gelang benang merah, hitam, dan putih yang merujuk pada konsep tersebut. Warna-warna itu melambangkan tiga dewa, yakni merah untuk Dewa Brahma Sang Pencipta, hitam untuk Dewa Wisnu Sang Pemelihara, dan putih untuk Dewa Siwa Sang Perusak. Tiga dewa tersebut bekerja secara terkait, berkelindan sehingga menghasilkan keseimbangan dalam kehidupan alam.
Nilai-nilai Tri Datu merasuk ke dalam alam bawah sadar Bonuz yang kemudian termanifestasi dalam karya-karyanya. Dengan kata lain, warna hitam, merah, dan putih memberi keseimbangan dalam setiap karya Bonuz.
Menyimak karya-karya Bonuz kadang kala tidak perlu terbawa arus berpikir serumit itu. Cukup amati dan biarkan emosi terhubung dengan setiap panel. Sebab, pada setiap karya Bonuz tak ubahnya seperti bejana yang menghubungkan emosi pencipta dan penikmatnya.
Dengan kata lain, kadang kita juga tak perlu berpikir menikmati karya-karya yang katanya diciptakan tanpa berpikir ini.