Terobosan Farah
Ketika harus menuntaskan tesis sebagai tugas akhir, Farah memilih topik seni rupa Indonesia terkini. Mengorek informasi tentang seniman Indonesia melalui internet pada waktu itu tidaklah mudah.
Saat ini data lebih dari empat ribu perupa Indonesia sudah bisa diakses secara digital. Berawal dari kesulitan menemukan data seni rupa terkini di Indonesia pada tahun 2000-an, Farah Pranita Wardani (44) akhirnya membidani digitalisasi pengarsipan seni rupa.
”Sampai tahun 2005, kita masih kesulitan mengakses internet, apalagi untuk menemukan data spesifik seperti para pelaku dunia seni rupa kita. Ketika itu pun Google baru saja mulai,” ujar Farah, Rabu (29/1/2020) di Jakarta.
Farah menuntaskan studi di Jurusan Desain Grafis Universitas Trisakti, Jakarta, pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan studi jenjang S-2 di Department of Historical and Cultural Studies (20th Century), Goldsmiths College, London, Inggris, selesai 2001.
Di Goldsmith, Farah menemui masalah. Ketika harus menuntaskan tesis sebagai tugas akhir, ia memilih topik seni rupa Indonesia terkini. Mengorek informasi tentang seniman Indonesia melalui internet pada waktu itu tidaklah mudah.
Untuk mengetahui informasi nama para senimannya saja sulit. Apalagi ketika harus menghubungi langsung para senimannya. ”Rujukan informasi seni rupa terkini waktu itu, salah satunya Pusat Informasi Kompas,” ujar Farah.
Meski penuh kesulitan, Farah akhirnya menemukan beberapa narasumber seniman langsung seperti Arahmaiani dan Heri Dono serta beberapa seniman asal Bandung. Dari Inggris, Farah menggunakan surat elektronik (surel) untuk menjalin komunikasi dengan para seniman itu dan akhirnya berhasil menuntaskan tesisnya.
Farah pun kembali ke Tanah Air. Ia segera bergabung dengan Yayasan Seni Cemeti di Yogyakarta. Beragam aktivitas seni rupa dijalani, seperti menjadi penulis atau kurator untuk pameran seni rupa di Yogyakarta dan Jakarta.
Pada tahun 2007, ia memperoleh tantangan untuk memudahkan cara memperoleh data terkait seni rupa terkini di Indonesia. Farah turut mendirikan sekaligus menjadi Direktur Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta. Di sinilah digitalisasi pengarsipan seni rupa dimulai.
Farah bersama tim IVAA kemudian memulai pengumpulan data digital mengenai aktivitas dunia seni rupa, termasuk para pelaku seni dan ragam peristiwa dan karya mereka. Data digital untuk IVAA bisa diakses publik secara terbuka.
Situs IVAA akhirnya mampu menyajikan data digital dunia seni rupa yang terbilang tidak sedikit. Misalnya, sekarang ini jumlah pelaku seni rupa yang terdata mencapai 4.384 orang. Dokumentasi karya seniman mencapai 16.828 karya.
Kumpulan foto terkait aktivitas seni rupa di Tanah Air sebanyak 42.674 foto. Data video memiliki 180 seri. Data audio 266 seri. Data dokumen 18.297 seri. Masih banyak lagi data terkait aktivitas seni rupa lainnya yang tersebar di 63 kota di Indonesia.
Farah menjalani tugas di IVAA selama 9 tahun hingga 2015. Setelah itu, ia ”dibajak” Pemerintah Singapura untuk mengerjakan hal serupa membantu pengumpulan data koleksi karya seni rupa milik Galeri Nasional Singapura.
”Meskipun mengerjakan pengarsipan, saya bukan pengarsip seni rupa. Saya tetap seniman yang kebetulan menggunakan media arsip sebagai karya,” ujar Farah, yang juga pernah mengajar seni rupa di Universitas Paramadina Jakarta pada periode 2000-2006.
Selama bekerja di Galeri Nasional Singapura, Farah menempati posisi sebagai Assistant Director Resource Center. Tugasnya hampir sama dengan yang sebelumnya di IVAA, bahkan lebih sempit lagi. Farah sebatas mengelola arsip dan mengumpulkan data koleksi Galeri Nasional Singapura.
Selama lima tahun di Singapura, di tahun-tahun terakhir Farah diserahi tugas membangun perpustakaan Galeri Nasional Singapura. Ia memberi nama proyek ini Rotunda Library & Archive yang bisa diakses melalui situs Galeri Nasional Singapura.
Dari hasil jerih payah Farah, data koleksi Galeri Nasional Singapura juga bisa diakses secara terbuka melalui situs internet. Dengan demikian, Farah selama 13 tahun dalam periode 2007-2019 berhasil melahirkan data digital tentang seni rupa di Indonesia dan Singapura yang bisa diakses publik secara terbuka.
Farah menggeser akses informasi seni rupa dari dunia fisik memasuki dunia siber.
Peran seni
Farah memutuskan masa lima tahun berkarier di Singapura sudah cukup untuk menimba pengetahuan terkait infrastruktur seni. Ia lalu kembali ke Tanah Air untuk terus berkiprah mengedepankan peran seni dalam kehidupan nyata.
Ia menilai, Pemerintah Singapura sudah selesai dalam mengatasi berbagai persoalan ekonomi. Singapura tidak lagi seperti negara-negara berkembang. Pada akhirnya, Singapura mampu membangun infrastruktur seni dengan baik.
”Ini bukan berarti negara berkembang seperti Indonesia tidak memiliki peluang menciptakan infrastruktur seni yang baik,” ujar Farah.
Farah mencontohkan Bangladesh. Negara ini berhasil menciptakan Dhaka Art Summit setiap tahun dan didatangi kalangan elite pencinta seni dunia. Dhaka Art Summit menjadi ajang seni rupa dunia yang kini makin diperhitungkan.
Selama ini Bangladesh dikenal sebagai negara paling sering mengalami musibah bencana. Negara ini juga dikenal sebagai ”pengekspor” imigran gelap ke negara lain. ”Dhaka Art Summit menunjukkan peran seni mampu menciptakan mediasi beragam persoalan yang dihadapi Bangladesh,” ujar Farah.
Persoalan masyarakat
Sekembalinya Farah di Jakarta, beberapa rekan di Yayasan Jakarta Biennale menyambutnya. Farah kemudian diserahi tugas menjadi Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2020. Rekannya, seniman pematung Dolorosa Sinaga, ditunjuk menjadi Direktur Artistik Jakarta Biennale yang direncanakan berlangung November 2020. ”Semestinya, seni muncul dari persoalan-persoalan di tengah masyarakat,” ujar Farah.
Ia teringat persoalan sulitnya akses data dan informasi tentang dunia seni rupa. Itu persoalan nyata di tengah masyarakat yang juga dialaminya. Itu pula yang kemudian membuat dirinya sebagai seniman menggeluti dunia pengarsipan seni rupa.
”Berkaca dari kompleksitas isu di tengah masyarakat kita sekarang ini, seni semestinya tumbuh subur. Situasi atau sesuatu yang berantakan justru akan menjadi inspirasi di dalam seni,” ujar Farah.
Menurut Farah, tantangan aktivitas seni rupa jauh lebih kuat ia rasakan di Jakarta, dibandingkan di Singapura.
”Seni bukan untuk dipenting-pentingkan menjadi sesuatu proyek berbiaya besar, seperti membangun museum. Tetapi, dengan visi budaya yang sesuai semestinya bisa kita capai, seni yang berdampak numerik, misalnya meningkatkan jumlah wisatawan,” kata Farah.
Farah sudah menunjukkan prestasinya. Kita tunggu karya Farah berikutnya.
Farah Pranita Wardani
Lahir: Jakarta, 1 Agustus 1975
Pendidikan:
- 2001: lulus Strata-2 Department of Historical & Cultural Studies (20th Century), Goldsmith College, London, Inggris.
- 1998: lulus Strata-1 Jurusan Desain Grafis Universitas Trisakti Jakarta.
Pekerjaan:
- 2019-saat ini: Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2020
- 2015-2019: Assistant Director of Resource Center di Galeri Nasional Singapura.
- 2007-2015: Direktur Eksekutif Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta.
- 2004-2006: Editor Majalah “Visual Art” Jakarta.
- 2000-2006: pengajar di Universitas Paramadina Jakarta.
Pengalaman:
- 2019: pembicara untuk Indonesian Women Empowerment Conference di Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat.
- 2016: mengikuti International Symposium of Art Archive di Taipei, Taiwan.
- 2015: mengikuti Archival Impulse: Conserving and Collecting Moving Image in Asia, di Museum of Modern Art, New York, Amerika Serikat.