Kelebat Putih di Rumah Tua Peninggalan Belanda
Sekelebat penampakan sudah cukup membuat tubuh gemetar dan berkeringat. Jantung serasa anjlok ke lutut. Tiba-tiba, saya berubah jirih (penakut). “Aku turu karo kowe yo," kata saya disambut tawa renyah Timbul.
Waktu telah jauh meninggalkan pukul 01.00, Jumat (26/7/2019), ketika mobil tim Ekspedisi Teh Nusantara dari harian Kompas tiba di kompleks penginapan peninggalan zaman Hindia Belanda di Kebun Kendenglembu, Karangharjo, Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur.
Kami berempat oleh penjaga kebun dipersilakan menempati satu rumah atau vila yang terdiri dari tiga kamar besar. Entah bagaimana kemudian kami bersepakat menempati seluruh kamar itu.
Saya yang dikenal dengan inisial BRO memilih kamar nomor 1. Rekan saya, jurnalis Laksana Agung Saputra yang berinisial LAS di kamar nomor 2. Jurnalis foto Wawan Hadi Prabowo dan staf Litbang, Dedy Afrianto, di kamar nomor 3.
Dasar pekerja media massa, meski telah lewat tengah malam, kami tidak bisa segera tidur. Saya kemudian merasa kebelet dan bergegas ke tandas di kamar nomor 1 yang ternyata ukurannya cukup luas, 5 meter x 2 meter.
Pintu bilik mandi berada di posisi tengah. Saat masuk, saya lihat bak mandi menempel di dinding sisi kiri, sedangkan kakus buang hajat di dinding sisi kanan.
Dalam keheningan pagi buta itu, saya coba mengatasi rasa kebelet ingin buang air. Saat itulah kemudian terjadi pengalaman yang sulit dilupakan. Tiba-tiba, terlihat sekelebat penampakan putih, samar-samar, menembus dinding kamar mandi dan lewat di depan saya yang sedang duduk buang air. Sesuatu yang putih itu kemudian menembus pintu kamar mandi dan hilang.
Baca juga: Di Bawah Bayang-bayang Teror Penembakan di Papua
Cuma itu? Ya. Namun, sekelebat penampakan yang saya tak bisa pastikan wujudnya itu sudah cukup mengguncang diri. Jantung serasa anjlok ke dengkul. Hampir satu menit saya terpaku dan kosong, tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika kesadaran datang, bergegas saya membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk.
Dari kamar mandi, saya berjalan melewati tempat tidur ke teras vila di mana LAS yang akrab disapa Timbul duduk sambil menikmati teh hangat. ”Kenapa BRO?” ujarnya terheran-heran melihat saya yang mendekat dengan mimik tegang dan pucat.
Tak perlu lama, rekan saya itu paham lalu terkekeh pelan ketika saya mulai mengumpat. Serta-merta saya bercerita soal kelebat putih yang melintas saat sedang buang hajat tadi. Tiba-tiba, saya berubah jirih (penakut).
”Aku turu karo kowe yo (Aku tidur denganmu ya),” kata saya disambut tawa renyah Timbul yang juga senior semasa SMA dan kuliah di Yogyakarta.
Lupa
Saya melewati dini hari dengan tidur di kamar nomor 2 bersama LAS. Untunglah, pengalaman menyeramkan di kamar mandi segera terlewati dan tak sampai terbawa dalam mimpi.
Saat sarapan, pengalaman melihat penampakan saya ceritakan juga kepada Wawan dan Dedy, serta kepada Supriadi, Asisten Kepala Perkebunan Wonosari.
Supriadi mendapat tugas dari pimpinan PT Perkebunan Nusantara XII untuk mendampingi perjalanan tim ke beberapa lokasi, yakni Kebun Jatirono di Banyuwangi, Kebun Kertowono di Lumajang, Kebun Bantaran di Blitar, dan Kebun Wonosari di Malang.
”Setahu saya jarang sekali ada yang mau tidur di kamar itu, Mas,” kata Supriadi.
Baca juga: Nyaris Karam di Kapuas Saat Meliput Daun Ajaib
Saya bertanya, apakah yang dimaksud adalah kamar nomor 1 karena mungkin ada ”penunggunya”. Supriadi hanya tersenyum, lalu meneruskan sarapan dengan menu soto ayam dan tahu telur yang terasa lezat itu.
Saya pun teringat, sehari sebelumnya, tim mewawancarai petinggi PTPN XII di Surabaya. Kami menjelaskan rencana perjalanan untuk mengunjungi kebun-kebun teh yang dikelola perusahaan pelat merah ini.
Kami menerima saran untuk menginap di Kebun Kendenglembu yang berjarak lebih kurang 10 kilometer dari Kebun Jatirono yang akan kami kunjungi pertama kali.
Saat itu, Direktur Operasional PTPN XII Anis Febriantomo sempat bercerita, bangunan tua peninggalan Hindia Belanda di kebun-kebun punya ceritanya masing-masing, termasuk soal penunggu.
Jadi, bagi yang kebetulan bisa melihat atau peka terhadap keberadaan makhluk halus, ya, akan menjadi pengalaman tiada duanya. ”Boleh percaya boleh tidak,” katanya waktu itu.
Cerita
Akhirnya, selama perjalanan mengunjungi kebun-kebun yang dikelola PTPN XII di Jatirono, Kertowono, Bantaran, dan Wonosari selalu muncul hasrat untuk mencari dan mendengarkan kisah-kisah lain. Mungkin remeh temeh, diragukan kebenarannya, tetapi tetap diperbincangkan dalam keseharian.
Monasip atau Nuriyad (70), bekas pegawai Kebun Jatirono, sempat berbagi cerita. Di salah satu bagian rumah yang pernah ditempati sinder atau asisten kebun, ketika larut malam kerap terdengar suara perempuan terisak atau berbicara dalam bahasa Belanda.
Baca juga: Kota Wuhan yang Saya Kenal
Bangunan dimaksud ialah rumah tua di Afdeling Gunung Raung yang sudah teramat rusak, bau, lembab, dan tak lagi difungsikan. Jujur, saya memilih minggat daripada berdiam lama-lama di dekat bangunan yang terasa singup (angker) itu.
Kisah-kisah tentang keberadaan serindai juga saya dapat dari Nari (109), pensiunan Kebun Kertowono, di rumah tua Afdeling Kamar Tengah. Menurut dia, para pegawai memercayai sebuah cerita di masa silam.
Ada seorang pejabat kebun dari Belanda yang tega membunuh istrinya di rumah itu sebagai tumbal kesuksesan karier. ”Dengar-dengar, kepalanya dikubur di bawah perapian ini,” katanya.
Tambari (104) menambahkan, pernah ada tamu, seorang pejabat militer yang menginap di rumah tua itu. Kebetulan sang tamu tidur di kamar bagian depan, tempat yang diduga menjadi kubur kepala istri pejabat kebun masa silam.
Baca juga: Mental Ditempa di SEA Games Filipina
Tamu itu diganggu sehingga tak bisa tidur. Dua bawahan sang tamu sempat dipanggil dan berjaga di dalam kamar. Namun, ternyata juga diganggu. Akhirnya, mereka tidur di luar.
”Cerita-cerita begitu banyak dan hidup di kalangan pekerja. Entah apakah generasi sekarang masih mendengarnya,” kata Manajer Kebun Kertowono Santika Permana.
Saat kami kemudian berkunjung ke Kebun Bantaran atau Sirah Kencong, cerita aneh-aneh juga kami temukan. Di rumah pejabat kebun, yang juga difungsikan sebagai kamar inap tamu, di terasnya terdapat arca batu. Arca ini didapat dari reruntuhan Candi Sirah Kencong di perbukitan kebun teh.
Asisten Kepala Perkebunan Bantaran Bramantia Admaja mengatakan, hampir semua pegawai kebun mengetahui bahwa arca berwujud raksasa yang tengah memegang pemukul itu, sudah ada di teras rumah sejak era Hindia Belanda.
Suatu ketika, arca dengan candrasengkala pada bagian bawah kanan itu pernah dibawa pulang oleh sang manajer kebun. ”Peristiwanya kemungkinan sebelum tahun 1970,” katanya.
Nah, menurut cerita, hidup keseharian sang manajer kebun itu kemudian diwarnai kegelisahan. Setiap hari, tidurnya tak nyenyak alias kerap dihampiri mimpi buruk. Yang aneh, pesan dalam bunga tidur yang dirasakan oleh sang manajer selalu sama. Sosok arca menjadi hidup dan minta dikembalikan ke teras rumah di Kebun Bantaran.
Tidak tahan dengan gangguan itu, sang manajer lalu membayar tukang untuk mengangkut dan memindahkan arca ke tempat semula. Anehnya, dalam perjalanan menuju Sirah Kencong, kendaraan mogok dan rusak sehingga terpaksa kembali ke rumah pribadi sang manajer.
Hidup si manajer terus dihantui oleh sosok raksasa yang hadir dalam mimpi dan meminta sang manajer mengembalikan arca itu. ”Setelah si manajer sendiri yang mengembalikan arca itu, hidupnya tidak lagi dihantui,” ujar Bramantia.
Selama perjalanan, selain menggali dan menemukan bahan-bahan tentang pengelolaan kebun teh peninggalan Hindia Belanda, saya juga mendapat kisah-kisah seram tentang keberadaan makhluk-makhluk dimensi lain yang ternyata menarik.
Berbagai cerita horor memang boleh jadi diragukan kebenarannya. Namun, toh, berbagai kisah seram itu tetap lestari dan digemari. Jika legenda urban wong samar (makhluk tak kasatmata) tidak digemari, bagaimana mungkin komik, novel, dan film horor tetap laris dan menghiasi hidup kita?