Anehnya di Ibu Kota, pelanggar lalu lintas bisa lebih galak dibandingkan aparat penegak hukum. Kejadian ini kembali berulang.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Ada fenomena aneh pada sejumlah kasus pelanggaran lalu lintas di Jakarta. Apabila Anda mengamati, ada saja sebagian pengendara yang berani menentang polisi ketika diatur. Tidak jarang, pelanggar justru lebih galak daripada polisi yang bertugas di lapangan.
Fenomena serupa terjadi pada Jumat (7/2/2020) saat petugas Patroli Jalan Raya (PJR) Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menertibkan kendaraan yang diparkir di sekitar Gerbang Tol Angke 2, Tambora, Jakarta Barat. Seorang pengendara berinisial TS berani menentang polisi saat ditanyai kelengkapan surat kendaraannya.
TS kemudian ditilang karena berhenti sembarangan di bahu jalan tol. Polisi menilai TS tidak dalam keadaan darurat untuk menepi di bahu jalan. Selain itu, TS diduga sedang menepi untuk menghindari aturan ganjil genap yang sedang berlaku hingga pukul 10.00 pada hari itu.
TS yang tidak terima ditilang kemudian mendorong Satgas PJR Brigadir Kepala (Bripka) Rudy Rustam. Ia mengancam dan hampir mencekik Bripka Rudy. Kejadian ini pun menyebar secara viral di media sosial. ”Copot baju lo! Dirlantas mana lo? Entar gue cari lo!” ucap TS saat menantang petugas dalam rekaman video.
Atas aksi perlawanan tersebut, TS ditangkap polisi pada Jumat malam. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, TS terancam pasal 212 dan Pasal 335 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Adapun hukuman penjara yang dapat dikenakan maksimal lima tahun.
”TS ditangkap di wilayah Jakarta Selatan pada Jumat malam. Saat ditangkap, tersangka membawa senjata tajam berupa alat setrum dan sebilah pisau,” kata Yusri saat konferensi pers di Markas Polres Metro Jakarta Barat, Sabtu (8/2/2020).
Dalam konferensi pers, TS mengaku emosi dan khilaf saat menantang polisi. Setelah berhadapan dengan aparat, TS menenangkan diri di sebuah kedai kopi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. ”Saya menyesal dan berjanji tidak melakukan hal semacam ini lagi,” ucap TS.
Pelanggaran serupa kerap terjadi dan berujung pada sebuah penyesalan. Kita pun mengingat kasus seorang pelanggar yang nekat melawan polisi pada September 2019. Akibat hal itu, Brigadir Kepala Eka Setiawan terseret sejauh 200 meter di atas kap mobil saat menghentikan kendaraan di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Praktisi Keamanan Berkendara dan Pendiri Jakarta Defensive Driving Consultant, Jusri Pulubuhu, menilai, fenomena ini sebagai anomali dalam pelanggaran lalu lintas. ”Sepertinya hanya terjadi di Indonesia, pelanggar aturan justru berani berkilah dan menantang polisi. Saat dikenai hukuman berat, ujung-ujungnya menyesal dan minta maaf,” ujar Jusri.
Jusri berpendapat, kemarahan sejumlah pelanggar kerap kali timbul karena sejumlah operasi penertiban lalu lintas dilakukan secara menjebak. Pada saat seperti ini, pengendara yang melanggar aturan kerap berkilah sebagai mekanisme pertahanan terakhir.
Meski begitu, Jusri mengingatkan, pelanggaran sekecil apa pun pasti memiliki konsekuensi hukum. Ia mencontohkan, pengendara yang menerobos jalur bus Transjakarta saja ada hukuman tilang, apalagi apabila berhenti sembarangan di bahu jalan.
”Aturan lalu lintas pada mulanya diterapkan demi keselamatan pengendara. Sayang sekali kalau pengendara justru lalai terhadap hal ini. Artinya, mereka abai terhadap keselamatan mereka sendiri,” kata Jusri.
Terkait hal tersebut, Kepala Subdirektorat Manajemen Operasional dan Rekayasa Lalu Lintas Direktorat Keamanan dan Keselamatan Korps Lalu Lintas Polri Komisaris Besar Indra Jafar selalu menekankan pentingnya menaati peraturan lalu lintas di jalan. Hal ini lantaran jumlah total kecelakaan lalu lintas cenderung naik setiap tahun.
Indra mencontohkan, jumlah total kecelakaan nasional pada 2019 mencapai 107.500 kasus. Angka ini meningkat dibandingkan pada 2018 yang hanya 103.672 kasus.
”Sementara itu, jumlah pelanggaran dalam setahun bisa mencapai jutaan. Masyarakat perlu terus dididik sehingga taat pada peraturan lalu lintas. Rambu dan marka di jalan itu perlu dipatuhi, dan bukan hiasan,” kata Indra.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, menjelaskan, maraknya pelanggaran menandakan kurangnya empati yang tumbuh dalam budaya berlalu lintas. Kurangnya empati ini juga diiringi lemahnya sanksi sosial dan sanksi hukum. Selama ini, ada stigma bahwa penegakan hukum lalu lintas kerap pilih-pilih dan terkesan berpihak.
”Kasus pelanggaran lalu lintas semestinya diganjar dengan dua sanksi, yakni sanksi hukum dan sanksi sosial. Sanksi hukum dari kepolisian harus tegas. Di lain sisi, juga harus ada sanksi sosial, misalnya, si pelanggar diberi stigma secara sosial sehingga merasa jera,” ujar Imam.
Jurnal ”Transportation Research: Traffic Psychology and Behaviour” menjelaskan sebuah teori bernama ”windshield perspective” yang berkaitan dengan rendahnya empati warga saat berkendara. Birgitta Gatersleben, Niamh Murtagh, dan Emma White, peneliti dalam jurnal tersebut, menjelaskan, seseorang yang berada di dalam kendaraan, maka seseorang tersebut akan memiliki perspektif yang lebih sempit, yakni sebatas penglihatan di dalam kendaraan saja.
Apabila rendahnya empati ialah sikap yang tidak manusiawi, tentu kita tidak ingin jadi seperti itu, bukan?