Harapan Itu Masih Ada
Ditangkapnya mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan, menyisakan kemarahan, kekecewaan, bahkan keraguan terhadap KPU. Akan tetapi, jika merujuk data DKPP, tak banyak pelanggaran etik berat dilakukan penyelenggara pemilu.
Adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP yang bertugas memastikan penegakan etik bagi penyelenggara pemilu. Dalam hal ini, etika anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Terkait kasus anggota KPU, Wahyu Setiawan, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 16 Januari lalu, DKPP sudah menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap. Jenis sanksi sejenis yang dikeluarkan DKPP relatif sedikit dibandingkan dengan sanksi teguran tertulis atau peringatan. Anggota DKPP Ida Budhiati, Rabu (29/1/2020), mengatakan, hukuman peringatan merupakan jenis sanksi yang paling banyak diberikan.
”Makna peringatan itu (agar) memberikan edukasi kepada penyelenggara pemilu dan memberi waktu untuk memperbaiki (diri),” kata Ida.
Berdasarkan data DKPP, sejak mulai menangani perkara pada 2012 hingga 20 Januari 2020, sanksi peringatan telah dijatuhkan kepada 1.911 penyelenggara pemilu. Jumlah itu setara dengan 31,62 persen dari total putusan.
Sementara perintah untuk merehabilitasi teradu diberikan kepada 3.177 orang atau sebesar 52,55 persen dari putusan keseluruhan. Demikian pula dengan putusan berupa ketetapan (aduan tak dapat dilanjutkan atau aduan ditarik) sebanyak 4,16 persen atau melibatkan 252 orang.
Adapun putusan lain yang sifatnya sanksi, yakni berhenti sementara tercatat diberikan kepada 64 orang atau sebesar 1,05 persen. Sementara hukuman pemberhentian tetap sebagaimana dialami Wahyu, dijatuhkan kepada 594 orang atau 9,82 persen dari keseluruhan.
KPU mendominasi jumlah teradu dengan 13.183 orang atau 78,86 persen. Sisanya, anggota Bawaslu menempati dengan persentase 19,97 persen atau 3.339 orang. Sementara unsur non-penyelenggara pemilu sejumlah 177 orang atau 1,06 persen. Tercatat hanya 41 persen pengaduan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan. Belum dipahaminya persyaratan formal dan material dalam melakukan pengaduan kepada DKPP menjadi salah satu penyebabnya.
Hukuman peringatan yang mendominasi putusan DKPP diberikan karena para teradu terbukti melanggar prinsip profesionalitas penyelenggara pemilu. Hal itu berhubungan dengan pemahaman terhadap aturan, ketertiban terhadap prosedur, patuh pada prosedur standar operasional, dan ketertiban administrasi.
Baca juga: DKPP di Antara Para Pihak yang Kecewa
Pelanggaran terkait aspek profesionalitas tersebut, sejak 2012, menunjukkan konsistensi. Merujuk data tersebut, menurut Ida, penyelenggara pemilu relatif masih terjaga kemandiriannya.
Hal ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk mengecilkan masalah profesionalitas yang juga berdampak pada kualitas penyelenggaraan pemilu. Ida bahkan menyebutkan bilamana aspek profesionalitas itu menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara, sanksi yang dijatuhkan DKPP dapat berujung pada sanksi terberat, yaitu pemberhentian tetap.
Pelanggaran yang masuk dalam kategori itu, di antaranya ketika seorang peserta pemilu, tidak dapat menjadi peserta pemilu. Jenis lainnya, menguatkan pihak yang tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu. Hal lainnya, imbuh Ida, terkait dengan kemurnian suara. Pelanggaran demikian tidak dapat lagi ditoleransi.
Interaksi medsos
Terkait dengan latar belakang pengaduan ke DKPP, pada 2019 diketahui banyak berkaitan dengan tahapan krusial dalam pemilu. Pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara menjadi tahapan di mana pengaduan paling banyak dilakukan.
Di dalamnya terdapat sub-isu mengenai manipulasi suara, tertib administrasi pemilu, dan validitas data pemilih serta layanan kepada pemilih. Hal ini berkelindan dengan jaminan pelaksanaan hak konstitusional warga negara, baik sebagai pemilih maupun sebagai peserta pemilu.
Interaksi penyelenggara pemilu di media sosial juga menjadi catatan. Akan tetapi, data spesifik mengenai jenis pelanggaran itu tidak dimiliki DKPP.
Namun, ekspresi dan interaksi di media sosial merupakan bagian penegakan prinsip kemandirian dan integritas. Hal-hal itu tidak bisa hanya diniatkan, tetapi juga harus dapat ditunjukkan dan dilihat.
Ida mencontohkan, penyelenggara pemilu yang mengunggah foto dengan sebagian peserta pemilu cenderung dipersepsi negatif. Pada tingkatan selanjutnya, bahkan bisa dicurigai atau tidak dipercaya. Hal ini karena kesan kedekatan dengan peserta pemilu tertentu.
Kasus paling baru muncul terkait dengan unggahan di Facebook yang melibatkan anggota KPU Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, Suherman. Ia diadukan ke DKPP terkait foto bersama salah satu peserta Pemilu 2019 dan membagikan status akun Facebook caleg DPR atas nama Abdul Rahman Parisi. Akan tetapi, belakangan, DKPP menyatakan alasan teradu dapat dibenarkan hukum dan etika sebab itu terjadi sebelum Suherman menjadi anggota KPU.
Namun, dalam putusan itu DKPP juga mengingatkan agar penyelenggara pemilu mengedepankan prinsip profesionalitas dan kemandirian. Jarak yang sama dengan setiap kelompok ataupun individu yang berpotensi memiliki kepentingan harus dijaga.
”Jadi harus bisa menjaga jarak yang sama. Kalau mau dekat, ya, dekat semua. Kalau mau jaga jarak, ya, sekaligus, jaga jarak semua,” sebut Ida.
DKPP juga mengingatkan agar penyelenggara pemilu mengedepankan prinsip profesionalitas dan kemandirian. Jarak yang sama dengan setiap kelompok ataupun individu yang berpotensi memiliki kepentingan harus dijaga.
Menurut Ida, sejauh ini sebagian pengaduan terkait dengan foto-foto di media sosial terjadi sebelum teradu menjadi penyelenggara pemilu. Namun, pengaduan terkait komentar di media sosial, DKPP belum pernah menanganinya.
Penyelenggara pemilu, jelas Ida, mesti menyadari posisinya. Apalagi dengan banyaknya pelantar media sosial. Pemilahan harus dilakukan untuk memilih mana yang perlu diunggah dan mana yang tidak perlu. ”Atau sementara waktu, ya, sudah, puasa (berhenti menggunakan media sosial) saja dulu,” kata Ida.
Perekrutan
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan hukuman terhadap pelanggaran etik yang dijatuhkan DKPP selama ini kurang maksimal. Seharusnya, hal-hal yang terkait dengan kedaulatan rakyat tidak bisa diperlakukan secara main-main.
Akan tetapi, ia juga menambahkan bahwa DKPP hanya mendapatkan efek dari penyelenggaraan pemilu. Menurut dia, proses itu menghasilkan residu berupa hadirnya sebagian anggota KPU daerah yang tak kompeten.
Firman mengatakan, hal ini terjadi karena terkadang proses penyeleksiannya dilakukan secara kompromistis. Ada kepentingan politik atau unsur kedekatan yang diduga turut bermain di dalamnya. Praktik lama yang terkait dengan tidak transparan dan tidak demokratisnya proses tersebut seperti mengembalikan kembali praktik di era sebelumnya.
Hal ini seolah mengonfirmasi temuan Donald L Horowitz tentang praktik rezim sebelumnya yang belum benar-benar hilang setelah reformasi dilakukan. Horowitz (2013), dalam buku ”Constitutional Change and Democracy in Indonesia” menyebutkan bahwa sebagian besar pengamat Indonesia pada saat Pemilu 2009 atau sebelumnya, percaya bahwa demokrasi Indonesia bakal dikonsolidasikan. Pada saat itu terlihat jelas bahwa tidak ada kelompok yang secara signifikan mengancam tatanan demokrasi. Namun, ada harga yang mesti dibayar untuk gradualisme dalam penciptaan demokrasi konstitusional. Horowitz menulis bahwa perubahan setelah 1998 tidak mencabut akar personel ataupun praktik rezim sebelumnya. Dengan demikian ada urusan yang belum selesai dengan angkatan bersenjata, korupsi, aturan hukum, serta toleransi beragama dan etnis.
Firman mengatakan, jika proses perekrutan tidak dilakukan secara ketat, akan selalu muncul pertanyaan tentang penyelenggara pemilu, baik integritas maupun kapasitasnya terkait penyelenggaraan dan teknis kepemiluan.
Firman menduga ada kesulitan dalam mencari penyelenggara pemilu. Ini pula yang membuat sanksi pemberhentian tetap tak banyak dijatuhkan sekalipun sudah layak dilakukan.
Terkait proses seleksi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur mekanisme perekrutan penyelenggara pemilu yang sentralistik. Tim seleksi untuk anggota KPU provinsi/kabupaten/kota dibentuk KPU. Yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan, menetapkan dan juga melantik anggota KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga KPU.
Ada kesulitan dalam mencari penyelenggara pemilu. Ini pula yang membuat sanksi pemberhentian tetap tak banyak dijatuhkan sekalipun sudah layak dilakukan.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pengaturan proses perekrutan penyelenggara pemilu akan dimasukkan dalam revisi UU Pemilu. Selama ini, pelaksanaan perekrutan anggota KPU daerah tidak seragam. Bahkan, sebagian besar dilakukan ketika tahapan pemilu yang penting sedang berjalan.
Beban KPU pun berat. Sebab, pelaksanaan perekrutan terhadap anggota KPU di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi diserahkan ke KPU. Total anggota KPU seluruh Indonesia 2.700 orang. Tim seleksi harus mencari setidaknya dua kali jumlah tersebut untuk mengikuti diuji kelayakan dan kepatutan.
”Maka jumlahnya sekitar lima ribu lebih, bayangkan itu dilakukan di tengah-tengah tahapan pemilihan. Itu luar biasa,” kata Arief.