Hak warga negara untuk memiliki senjata menjadi pusat perdebatan, diperlukan pemeriksaan psikologi berkala dan pengawasan dilakukan sebaik mungkin. Jika tidak, keselamatan publik menjadi korbannya.
Oleh
·2 menit baca
Penembakan massal yang terjadi di Thailand mengejutkan kita. Insiden tersebut bisa terjadi di mana pun, dengan korban meninggal tak pandang bulu. Pelaku penembakan yang menewaskan 26 orang itu adalah anggota angkatan bersenjata Thailand, Sersan Jakrapanth Thomma.
Aksinya dimulai pada Sabtu pekan lalu saat ia mendatangi komandannya, membunuhnya, kemudian mengambil senjata dari kamp militer. Tersangka melanjutkan serangannya di jalan-jalan dan akhirnya di sebuah pusat perbelanjaan di Nakhon Ratchasima, sekitar 150 kilometer dari Bangkok.
Petugas keamanan lalu menembak pelaku hingga tewas setelah mengepungnya di pusat perbelanjaan tersebut semalaman hingga Minggu dini hari. Kita berdukacita atas kepergian korban tak berdosa dalam kejadian tersebut. Penyelidikan belum tuntas dilakukan, tetapi untuk sementara pelaku diduga sedang marah karena merasa ditipu dalam bisnis properti. Kemarahannya menjadi pemicu penembakan yang mengejutkan itu.
Mirip dengan insiden penembakan sebelumnya di negara lain, Jakrapanth mengunggah materi di Facebook dan media sosial lainnya sebelum melakukan serangan. Perusahaan raksasa media sosial itu menyatakan segera mencabut unggahan Jakrapanth dari internet. Mereka menegaskan, tidak ada tempat di Facebook bagi bentuk dukungan terhadap kekejaman seperti dilakukan Jakrapanth.
Beberapa waktu lalu, dalam insiden penembakan di sebuah tempat ibadah di Selandia Baru, si pelaku mengunggah aksinya secara langsung (live) di Facebook. Sempat muncul di laman media sosial tersebut, video aksi kejam penembakan di Selandia Baru itu akhirnya dicabut. Insiden teranyar penembakan massal di Thailand mengingatkan betapa sesungguhnya tak mudah untuk menjaga keselamatan publik.
Seorang anggota militer yang terlatih menggunakan senjata, dan rasanya telah melewati serangkaian uji psikologi, ternyata mendapat peluang untuk bertindak kejam di tempat umum. Maka, wajar kiranya orang mempertanyakan pengawasan yang selama ini dilakukan oleh organisasi tempat Jakrapanth mengabdikan diri.
Hal yang perlu menjadi perhatian kita, insiden di Nakhon Ratchasima dapat terjadi di mana pun. Penembakan massal beberapa kali terjadi di Amerika Serikat, dengan sebagian besar di antaranya dilakukan warga sipil. Hak warga negara untuk memiliki senjata menjadi pusat perdebatan, yang kerap kali berujung pada perdebatan politis di antara pendukung dua partai di AS.
Namun, insiden penembakan massal juga pernah terjadi di pangkalan militer AS, yang dilakukan anggota militer asing peserta pelatihan. Penembakan di Nakhon Ratchasima dapat terulang di mana pun, dan tak ada hubungannya sama sekali dengan gerakan berideologi ekstrem. Hal ini menunjukkan pemeriksaan psikologi berkala dan pengawasan perlu dilakukan sebaik mungkin. Jika tidak, keselamatan publik menjadi korbannya.