Penyintas Mencoba Bertahan Hidup, di Tengah Jerat Kemiskinan
›
Penyintas Mencoba Bertahan...
Iklan
Penyintas Mencoba Bertahan Hidup, di Tengah Jerat Kemiskinan
Alat dan fasilitas pendukung yang tidak memadai ditambah persoalan pendataan warga miskin yang belum optimal membuat Dion tidak mampu tertangani maksimal. Meski mengalami komplikasi penyakit.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·4 menit baca
Perut membesar. Tulang-tulang menonjol di balik kulit yang kendur. Dion Saputra, anak balita yang sebentar lagi berulang tahun keempat, berbaring di pangkuan Lisdayanti (26), ibunya. Kanker darah, tumor, dan pembesaran limpa merenggut bahagianya. Keluarganya berjuang keras untuk kesembuhan Dion, di tengah jerat kemiskinan.
Helaan napas pendek-pendek terdengar dari mulut Dion, Rabu (5/2/2020). Matanya tampak setengah terbuka. ”Sejak sakit napasnya lewat mulut. Kalau tidur harus pakai kipas. Mungkin dia merasa panas badannya, padahal cuaca masih dingin,” kata Lisdayanti. Perlahan, Lisdayanti mengangkat tubuh Dion. Tulang belakang menonjol keluar sekitar 2 sentimeter. Tulang ekor lebih keluar lagi.
Berhati-hati, ia meletakkan Dion ke sofa beralas selimut tipis. Tangan kanan Lisdayanti mengusap-usap kaki dan badan bocah ini. Tangan kirinya memegang cotton bud untuk diusap ke telinga. Mengusap dan mengorek telinga adalah kesukaan Dion sebelum tidur.
Lengan Dion yang sebesar kurang dari ruas jari orang dewasa menjuntai ke bawah, jemarinya hampir menyentuh lantai semen di kediamannya, di Desa Lamomea, Konda, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Rumah itu berjarak 15 kilometer dari pusat Kota Kendari. Tubuh telanjang Dion sesekali ditutup menggunakan jilbab lebar sang ibu.
Tangan Dion tetiba bergerak, memegang kepalanya yang bengkak sebelah. Napasnya memburu. ”Kuat-kuat,” katanya sambil mengerang lirih. Lisdayanti lantas menepuk-nepuk jidat anaknya. Mata Dion tertutup, erangan di mulutnya hilang. Ia kembali merengek ketika sang ibu menghentikan tepukannya. Lebih dari 20 menit Lisdayanti menepuk jidat anaknya. Meski lelah, tidak ada raut kesal atau marah.
”Biasa sampai biru tangan ini,” kata Lisdayanti. ”Sudah naik di kepala sakitnya. Dari leukimia atau mungkin dari tumornya. Kata dokter ada tumor juga, tapi tidak tahu di mana,” ceritanya. Dion diketahui mengidap leukimia stadium IV pada akhir 2019. Setelah berobat ke sana-kemari, seorang dokter di rumah sakit swasta memvonis Dion dengan penyakit ini. Lisdayanti dan sang suami, Asdin (33), tersentak. Selama ini, mereka mengira anak bungsunya itu hanya mengalami pembengkakan limpa.
Diare berkepanjangan
Saat terlahir pada 23 Februari 2016, Dion tergolong sehat, sama dengan bayi pada umumnya. Beratnya mencapai 3 kilogram, dengan panjang 50 sentimeter. Kebahagiaan hadir di keluarga ini. Semakin hari, Dion semakin pandai dan tubuhnya semakin gempal. Bahkan mencapai berat 11 kg.
Namun, saat menginjak usia 1 tahun 7 bulan, Dion terserang diare parah. Seminggu diare, kondisi kesehatan Dion terus turun. Perutnya membesar. Dion dibawa ke rumah sakit dan ternyata divonis mengalami pembengkakan limpa. Ukuran limpanya mencapai 10,8 cm atau setara limpa orang dewasa. Bahkan sel darah merahnya pernah turun hingga setengah dari batas normal. Ia pun harus transfusi darah beberapa kantong.
Seiring waktu, tubuh Dion kian kurus. Diare berkepanjangan mendera. ”Kadang sembuh seminggu, diare lagi. Buang air besar bisa sampai delapan kali sehari. Sampai kotorannya warna hijau atau merah campur darah,” kata Lisdayanti. Meski mengalami komplikasi penyakit, Dion tidak mampu tertangani maksimal.
Berkali-kali dibawa ke rumah sakit, penanganan Dion hanya transfusi darah dan infus. Dokter menyarankan agar Dion dirujuk ke Makassar, Sulawesi Selatan, agar mendapatkan perawatan maksimal. Alat dan fasilitas pendukung di Kendari tidak memadai. Akan tetapi, karena keterbatasan biaya, usul itu tak bisa dipenuhi. Ayah Dion, Asdin, hanya buruh bangunan, dengan pendapatan Rp 100.000 per hari.
Pengobatan terakhir pada Desember lalu, keluarga ini harus menjual televisi mereka. Sebuah motor juga digadaikan. Utang mereka mencapai jutaan rupiah. Setiap bulan mereka harus membayar iuran BPJS Mandiri untuk tiga orang. Dua bulan ini, mereka menunggak karena keterbatasan. Asdin pun tak tahu harus meminta bantuan siapa untuk pengobatan anaknya itu.
Syukri, Kepala Desa Lamomea menuturkan, pihak puskesmas telah mengurus administrasi agar Dion dan keluarga mendapat jaminan kesehatan. Akan tetapi, untuk jaminan sosial memang tidak terdaftar. Hal tersebut terjadi karena data masyarakat miskin masih memakai data lama.
Sementara Asdin mengaku mendaftarkan keluarganya sebagai peserta BPJS Mandiri karena tidak terdaftar sebagai penerima Kartu Indonesia Sehat (KIS). Mereka juga tidak terdaftar sebagai penerima jaminan sosial. Dion dan keluarganya merupakan bagian dari 299.000 warga miskin di Sultra. Jerat kemiskinan akut, persoalan pendataan warga miskin yang belum optimal, memperparah nestapa yang mereka alami.