Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, melihat kasus pembuktian pencabulan sering kali mandek karena korban takut atau malu jadi saksi di persidangan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Selvi (35) tak tahu lagi harus mengadu ke mana. Segala jalan telah ditempuhnya demi keadilan anak-anak korban pencabulan di kampungnya. Namun, bukan keadilan yang didapat, pelakunya malah divonis bebas. Pelaku, AL (45), kembali melenggang di wilayah Simpang Tiga Sipin, Kotabaru, Jambi, yang juga tempat tinggal para korban. Anak-anak itu, termasuk kedua putrinya, didera ketakutan. Anak-anaknya semakin trauma.
Sulungnya, L (9), kerap menangis dalam pelukan Selvi. Ia tak berani keluar rumah setelah tahu AL, bekas guru agama di kampungnya melintas. Ia sempat membolos sekolah karena takut bertemu sang guru di jalan. L dan A (7), adiknya, tadinya selalu ceria. Masalah muncul tak lama setelah mereka les di rumah AL. Aparatur sipil negara di Dinas Pendidikan Provinsi Jambi itu membuka les Agama dan sejumlah mata pelajaran bagi anak-anak usia SD.
Beberapa waktu lamanya semua tampak normal. Belakangan, menakutkan. Dalam sesi membaca ayat-ayat suci, murid laki-laki didahulukan. Setelah selesai, giliran murid perempuan. Pintu ruangan itu ditutup rapat. Menurut Selvi, dalam ruangan tertutup itulah, AL melancarkan pencabulan, termasuk pada kedua putrinya. Selvi baru tahu perbuatan AL setelah pengakuan seorang murid yang meminta berhenti les. Ditanya penyebabnya, si anak menolak cerita.
Setelah didesak, barulah anak itu menceritakan seluruh perbuatan sang guru. Keterangan itu bikin geger. L dan A menyatakan bahwa pencabulan juga mereka alami. ”Baru saya tahu selama ini mereka bingung, malu, dan takut bercerita,” kata Selvi, Senin (3/2/2020).
Para orangtua tidak terima. Seusai rapat dengan sejumlah ketua RT, mereka mengadu ke Unit Pelaksana Terpadu Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jambi. Psikolog PPA yang bertemu dan berdialog langsung dengan para korban, mendapati anak-anak telah dalam kondisi trauma. Bahkan, beberapa trauma berat.
Demi menuntut keadilan, mereka melapor ke polisi. Ironisnya, seluruh upaya para orangtua berakhir sia-sia. Di meja hijau, majelis hakim Pengadilan Negeri Jambi membebaskan AL dari jerat hukum. “Jaksa penuntut umum tak memberi bukti-bukti kuat di persidangan,” kata Yandri Roni, ketua majelis hakim yang menangani kasus tersebut.
Ketua UPTD PPA Provinsi Jambi Asi Noprini, yang sejak awal mendampingi korban, menyatakan, bukti-bukti sudah kuat. Pemeriksaan psikologis mengungkap trauma. Seluruh berkas sudah disampaikan saat diminta penyidik Polda Jambi. Namun, berkas-berkas itu malah tak dijadikan alat bukti di persidangan. Hingga sidang putusan, dirinya sebagai saksi ahli tak pernah dihadirkan.
Menurut dosen hukum Universitas Jambi, Sri Rahayu, berkas-berkas itu mestinya bisa jadi alat bukti penguat. Ia mempertanyakan jaksa tak menyertakan. ”Mengapa hasil pemeriksaan psikologi tidak digunakan? Mengapa saksi ahlinya tidak dimintai keterangan dalam sidang, padahal ini bisa jadi penguat?” ucapnya.
Menanggapi itu, Kepala Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi Jambi Lexy Fatharani beralasan, pendapat saksi ahli ataupun bukti pemeriksaan psikologis para korban tidak harus ada. Terkait vonis bebas, pihaknya langsung menyatakan kasasi. Memori kasasinya masih disiapkan.
Juru Bicara Save Our Sister, Zubaidah, melihat kejanggalan selama proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Akibatnya, hak anak sebagai korban untuk mendapat keadilan hukum dilanggar. Penegak hukum dinilai mengabaikan kondisi psikologis korban. ”Jika aspek psikologis ini tidak menjadi pertimbangan, berarti aturan tentang Perlindungan Anak telah dilanggar,” katanya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, melihat kasus pembuktian pencabulan sering kali mandek karena korban takut atau malu jadi saksi di persidangan. Di Jambi, keberanian anak-anak dan orangtua mengungkap pencabulan itu patut diapresiasi.
”Negara seharusnya berperan lebih demi mendukung mereka yang berani melapor,” ujar Jasra. Para korban masih berharap mendapatkan keadilan, termasuk Selvi, ibu dua anak yang kini tak lagi ceria.