Sembilan Anak Jadi Korban Perdagangan Manusia di Jakarta Utara
›
Sembilan Anak Jadi Korban...
Iklan
Sembilan Anak Jadi Korban Perdagangan Manusia di Jakarta Utara
Kasus eksploitasi seksual melibatkan anak di bawah umur terus terjadi di Jakarta. Sembilan anak kembali dieksploitasi dan dipaksa bekerja sebagai pekerja seks komersial di Jakarta Utara.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara kembali membongkar praktik perdagangan manusia terhadap sembilan anak di salah satu apartemen di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selain dieksploitasi secara seksual, anak-anak itu juga dijerat utang dan denda jutaan rupiah jika tidak memenuhi target yang ditetapkan mucikari.
Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi mengatakan, sembilan anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) rata-rata berusia 14 tahun sampai 16 tahun. Mereka selama enam bulan terakhir dipaksa melayani tamu di salah satu tempat hiburan malam di wilayah Jakarta Pusat.
”Para korban direkrut dari kampung (Indramayu, Jawa Barat) dengan dijanjikan bekerja sebagai pendamping di tempat karaoke. Orangtua korban diiming-imingi uang dengan nilai yang cukup tinggi, bisa sampai Rp 20 juta,” katanya di Jakarta Utara, Senin (10/2/2020).
Dalam praktiknya, uang mucikari untuk orangtua korban tersebut ternyata dihitung sebagai utang, yang akan lunas setelah anaknya bekerja. Alih-alih bekerja sebagai pendamping di tempat karaoke, anak-anak tersebut dipaksa menjadi PSK untuk melunasi utang tersebut.
Sistem voucer
Anak-anak itu diekspolitasi secara seksual dengan cara dijual menggunakan sistem voucer. Satu voucer dihargai Rp 380.000 dengan pembagian untuk korban sebesar Rp 105.000, pemilik tempat Rp 200.000, dan mucikari (Rp 75.000).
”Target yang diberikan mucikari terhadap PSK dalam satu bulan harus bisa menjual 50 voucer. Jika tidak terpenuhi, mereka didenda Rp 1 juta setiap bulan,” ujar Budhi.
Anak-anak itu dalam satu bulan bahkan sering kali tidak mendapat penghasilan. Misalnya, dalam satu bulan korban berhasil menjual 20 voucer, maka akan dipotong biaya administrasi sebesar Rp 1,5 juta. Sementara itu, mucikari juga mendapatkan lagi Rp 15.000 untuk setiap voucer.
”Efeknya, selama satu bulan bekerja, korban tidak dapat uang, tetapi malah minus. Jadi, setiap bulan itu kasbon korban terus bertambah,” ucap Budhi.
Dikurung di apartemen
Budhi menambahkan, polisi berhasil membongkar kejahatan ini setelah mendapat laporan dari masyarakat terkait ada tempat penampungan PSK di salah satu apartemen di Kelapa Gading, 6 Februari 2020. Kepolisian Sektor Metro Kelapa Gading kemudian bergerak cepat sehingga berhasil menangkap lima tersangka berinisial MC (35) dan SR (33), yang berperan sebagai perekrut dan mucikari; RT (30) dan SP (36) sebagai pengawas; dan ND (21) sebagai pengawas penari.
”Mereka punya peran berbeda-beda. Ada yang bertindak sebagai mucikari, penjaga, dan pengawas,” katanya.
Anak yang dipekerjakan sebagai PSK awalnya direkrut dari kampung, kemudian disekap di apartemen. Mereka diawasi dan dijaga ketat oleh para pelaku. Anak-anak yang masih di bawah umur itu juga dipalsukan identitasnya dan diubah usianya dengan mencetak kartu tanda penduduk (KTP) palsu.
”Tujuannya untuk mengelabui petugas jika sewaktu-waktu ada pemeriksaan. Jadi, kalau dilihat KTP mereka, mereka seolah-olah sudah berusia dewasa,” kata Budhi.
Para korban dipertemukan dengan pelanggan melalui sistem agensi. Agensi bertugas mencari tempat dan mempertemukan dengan konsumen. Selain melayani konsumen, para korban sering kali dieksploitasi dan dipekerjakan sebagai penari striptis.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia Arist Merdeka Sirait mengatakan, sesuai Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, kejahatan yang dilakukan para pelaku termasuk perbudakan seks. Sebab, anak-anak itu tidak hanya dieksploitasi secara seksual, tetapi juga dieksploitasi secara ekonomi.
”Defenisi perbudakan seks terpenuhi karena ada perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain, ada transaksi, ada agen, ada uang, ada utang. Itu bagian dari defenisi secara internasional dan sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Perempuan dan Anak sudah termasuk perdagangan manusia untuk tujuan komersial,” ujarnya.
Arist menambahkan, kasus ini termasuk praktik perdagangan manusia yang dilakukan secara sistematis. Kasus ini harus dibongkar hingga ke akar-akarnya agar tidak kembali terjadi di masa depan. Untuk memutus mata rantai perdagangan manusia ini, para pelanggan khususnya yang menggunakan jasa anak-anak, juga harus dijerat pidana.
Sudah berulang
Praktik prostitusi melibatkan anak di bawah umur di Jakarta selama kurun waktu satu bulan sedikitnya sudah tiga kali terjadi. Kasus pertama melibatkan sepuluh anak perempuan berusia 14-18 tahun di salah satu kafe di Kampung Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara. Para pelaku memaksa anak-anak itu memuaskan hasrat seksual pelanggan dengan omzet mencapai Rp 2 miliar per bulan.
Praktik itu sudah berlangsung dua tahun dan akhirnya digerebek aparat Polda Metro Jaya pada 13 Januari 2020. Dalam penggerebekan itu, polisi menangkap enam tersangka dengan peran berbeda-beda, mulai dari perekrut, muncikari, hingga pemilik kafe.
Sepuluh hari setelah itu, atau pada 23 Januari 2020, Polres Metro Jakarta Selatan kembali menggerebek apartemen Kalibata City, tepatnya di Tower Jasmine. Di tempat itu, polisi menangkap enam pelaku dan mengamankan tiga korban.
Kepala Bidang Perlindungan Anak Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Anak dan Perempuan Atwirlany Ritonga mengatakan, prostitusi melibatkan anak di bawah umur sudah terjadi berulang. Untuk menyelesaikan masalah berulang ini, penanganannya harus dilakukan secara komprehensif dari hulu sampai hilir.
”Pemerintah sedang berupaya melakukan fungsi edukasi kepada orangtua, termasuk peran orangtua dalam pengasuhan. Sebab, peran orangtua dalam pengasuhan masih sangat tipis,” ucapnya.