Efek jera sepertinya belum ada bagi pengguna kendaraan yang melanggar aturan lalu lintas. Sebagian dari mereka melawan aparat meski kedapatan melanggar di jalan raya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam sepekan terakhir, dua pengendara melawan polisi ketika ditilang di Jakarta. Perlawanan pengendara ini diduga terjadi karena yang bersangkutan merasa diperlakukan tidak fair. Sebagian dari mereka merasa aparat melakukan tebang pilih dalam penanganan pelanggaran lalu lintas.
Salah satu pengendara yang nekat melawan petugas itu berinisial AR (26). Lelaki asal Bekasi, Jawa Barat, itu ditangkap di kediamannya pada Selasa (11/2/2020). AR merampas gawai polisi lalu lintas sebelum kabur saat ditilang di lampu pengatur arus lalu lintas Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Aparat menilang dia lantaran menerobos jalur transjakarta.
Saat itu, Ajun Inspektur Satu Suhartono menghentikan laju mobil AR karena menerobos jalur transjakarta. Saat diperiksa untuk ditilang, pelaku merampas gawai Suhartono dan melarikan diri. Kepada polisi dari Kepolisian Sektor Kebon Jeruk, AR mengaku khilaf dan menyesali perbuatannya.
Sebelumnya, Jumat (7/2/2020), seorang pengemudi mobil berinisial TS menantang polisi saat ditilang karena berhenti sembarangan di bahu jalan tol. Padahal, dia tidak dalam keadaan darurat untuk menepi di bahu jalan. Dia diduga menepi untuk menghindari rute ganjil genap yang sedang berlaku hari itu.
TS yang tidak terima ditilang lantas mendorong Brigadir Kepala Rudy Rustam. Dia mengancam dan hampir mencekik Rudy. Kejadian itu viral di media sosial. ”Copot baju lo! Dirlantas mana lo? Entar gue cari lo!” ucap TS saat menantang petugas dalam rekaman video. Seusai ditangkap, TS mengaku emosi dan khilaf saat menantang polisi. ”Saya menyesal dan berjanji tidak melakukan hal semacam ini lagi,” ujarnya.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho mengatakan, pengendara melawan polisi terjadi secara berturut-turut karena dibiarkan dan penyelesaiannya tanpa memberikan efek jera. ”Polisi harus bertindak tegas dalam penegakan pelanggaran lalu lintas kepada siapa pun tanpa pandang bulu,” kata Teguh.
Namun, perilaku buruk di jalanan sering dibirakan begitu saja. Teguh mencontohkan, kasus penodongan senjata oleh pemilik mobil mewah yang melanggar lalu lintas. Kasus tersebut terhenti dan tidak diteruskan dengan penggunaan UU Darurat.
Kemudian, kasus penabrakan yang melibatkan anak orang berpengaruh. Penanganan kasus tidak transparan. Imbasnya orang-orang yang merasa memiliki koneksi dengan kekuasaan menjadi jemawa di jalanan. Sementara warga merasa ada diskriminasi sehingga mulai melawan. ”Tidak boleh lagi ada istilah damai dalam pelanggaran lalu lintas. Itu mala-administrasi,” ujarnya.
Kondisi yang demikian tentu saja tidak baik bagi kepuasan masyarakat terhadap kinerja polisi. Padahal, hasil jajak pendapat Kompas pada tahun 2019 menunjukkan mayoritas responden (70,8 persen) puas dengan kinerja kepolisian saat ini.
Sementara 27,2 persen responden masih merasa belum puas. Tingkat kepuasan itu terhitung tinggi jika dibandingkan hasil jajak pada masa lalu di mana tingkat kepuasan biasanya tak jauh dari angka separuh bagian responden.
Jajak pendapat dilakukan melalui sambungan telepon kepada 545 responden dengan usia minimal 17 tahun. Responden tersebar di 16 kota. Adapun tingkat kepercayaan mencapai 95 persen dengan nirpencuplikan 4,2 persen.
Bahkan, survei nasional pada Maret 2019 atau sebelum pemilu menunjukkan citra positif kepolisian 68,6 persen atau sedikit menurun, tetapi dengan citra negatif yang relatif sama dengan setahun sebelumnya (sekitar 24 persen).
Pekerjaan rumah
Kendati demikian, masih ada pekerjaan rumah untuk menanggalkan citra negatif yang masih melekat. Salah satunya stigma bahwa polisi mudah disuap. Sebanyak 39,6 persen responden menganggap polisi mudah disuap. Pungutan liar, terutama ketika di jalan raya, masih menjadi momok yang sulit dihapus dari ingatan publik.
Catatan lainnya ialah independensi Polri. Masih ada 39,4 persen responden yang menganggap institusi ini tidak netral dan berpihak pada kekuasaan. Polri masih dinilai tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas atau tebang pilih dalam menindak kejahatan. Proporsi yang relatif sama dinyatakan dalam hal ketika berurusan dengan polisi harus mengeluarkan uang. Ada sepertiga responden yang menganggap polisi tak profesional saat menjalankan tugasnya.
RoboCop
Polisi tidak tinggal diam memperbaiki citranya. Ruang gerak pelanggar aturan lalu lintas kendaraan di Ibu Kota semakin terbatas. Mereka semakin sulit menawar pelanggaran agar diampuni petugas di lapangan dengan pemberlakuan tilang elektronik atau ETLE.
Sementara aparat tidak bisa leluasa memberikan toleransi kepada pelanggar sebab kini petugas di lapangan dilengkapi body cam atau kamera tubuh yang dipasang di seragam polisi lalu lintas.
Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono ketika masih menjabat Kepala Polda Metro Jaya mengatakan, pengadaan kamera portabel berteknologi tinggi itu bertujuan untuk mengantisipasi aksi tindak pidana yang biasa terjadi di jalan tol dan memantau aktivitas anggota di lapangan.
Semua kegiatan dan percakapan petugas dan pengemudi yang melanggar lalu lintas juga terekam sehingga bisa mencegah aksi pungutan liar. ”Adanya ETLE, baik yang dipasang statis maupun portabel, akan mendisiplinkan masyarakat, juga mengubah perilaku oknum Polri, misalnya berdamai saat tilang,” kata Gatot yang kini menjadi Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pemerhati transportasi Budiyanto menambahkan, pelanggaran lalu lintas masih tinggi karena penjagaan dan pengawasan belum maksimal serta penegakan hukum masih menggunakan cara-cara konvensional, seperti penegak hukum bersentuhan langsung dengan pelanggar.
”ETLE akan efektif lantaran kamera pengawas yang merekam semua pelanggaran tanpa tebang pilih bekerja 24 jam sehingga pengendara merasa diawasi, bukti pelanggaran tersimpan dan terverifikasi serta valid,” kata Budiyanto.