Monas dan Kisah Kegagalan Arsitek Memenangi Sayembara
›
Monas dan Kisah Kegagalan...
Iklan
Monas dan Kisah Kegagalan Arsitek Memenangi Sayembara
Sejak perencanaan pembangunannya, Monumen Nasional dibuat dengan pengawasan ketat. Panitia gagal mencari perancang desain terbaik meski menggelar sayembara dua kali. Semua ini demi mewujudkan gagasan tentang Indonesia.
Oleh
Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
Karya agung Monumen Nasional di Jakarta ternyata tidak mudah diwujudkan. Ratusan arsitek berlomba menawarkan rancangannya, tetapi kandas karena tidak memenuhi standar panitia yang dipimpin langsung oleh Presiden Ke-1 RI Soekarno. Panitia proyek gagal menemukan desain terbaik meski pemerintah dua kali menggelar sayembara.
Sayembara pertama digelar pada Mei 1956 dan diikuti 51 peserta. Saat itu panitia hanya berhasil memilih pemenang kedua, yaitu arsitek F Silaban. Tidak ada rancangan terbaik yang dipilih panitia.
Panitia kemudian menggelar sayembara ulangan pada Mei 1960 dan diikuti 222 peserta. Pada sayembara ulangan ini, panitia justru hanya mendapatkan pemenang ketiga, tim arsitek Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kesulitan peserta sayembara adalah menggambarkan hal yang bergerak meskipun tersusun dari benda yang mati. Kesulitan ini tertuang dalam buku Tugu Nasional, Laporan Pembangunan 1961-1978 (Pelaksana Pembina Tugu Nasional, 1978). Dalam sumber yang sama, peserta sayembara kesulitan mewujudkan gagasan sebuah tugu yang dinamis, yang mencerminkan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia.
”Ja, memang apa jang kita hadapi dalam sajembara ini adalah satu tugas jang amat sukar dan djangan mengira bahwa kesukaran inipun dirasakan oleh peserta-peserta sajembara sadja, tetapi kami anggota djuri pun menghadapi kesukaran-kesukaran,” kata Soekarno mengenai rancangan Tugu Monas yang sulit diputuskan meski melalui sayembara.
Pernyataan ini diulas Yuke Ardhiati dalam bukunya, Bung Karno Sang Arsitek 1926-1965; Kajian Artistika Karya Arseitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks Pidato (Komunitas Bambu, 2005).
Akhirnya Bung Karno meminta arsitek Soedarsono dan F Silaban untuk membuat gambar rencana Tugu Nasional. Kedua arsitek ini bekerja sendiri-sendiri, menawarkan konsepnya kepada Bung Karno. Pada awal 1961, Bung Karno menyetujui gagasan arsitek Soedarsono yang diminta untuk mengembangkan idenya agar lebih mendekati gagasan yang diinginkan Bung Karno.
Tugu Nasional karya Silaban dirancang dalam dalam bentuk balok tegak yang diartikulasikan dalam lima lempeng simbol Pancasila. Tugu Nasional rancangan Silaban tidak lebih besar dari Tugu Nasional yang sekarang ada. Namun, apabila ditambah dengan delapan galeri di sekitarnya, usulan ini terasa lebih masif, sebagaimana diulas dalam buku Friedrich Silaban karya Setiadi Sopandi (Gramedia, 2017).
Silaban bersikeras menawarkan konsepnya seusai sayembara kedua. Tugu rancangan kedua Silaban menjulang dengan ketinggian 233 meter di atas permukaan tanah, hampir dua kali lipat ketinggian Monas. Namun, Bung Karno meminta Silaban agar membuat rancangan lebih kecil supaya ekonomis. Tawaran ini tidak disanggupi Silaban menurut sumber buku yang sama.
Sementara itu, Soedarsono mengembangkan gagasan rancangan tim arsitek ITB sebagai juara ketiga sayembara kedua. Rancangan tersebut berwujud obelisk segi empat yang menjulang pada cawan. Obelisk adalah istilah dari bahasa Yunani, yaitu obeliskos, bentuk kecil dari obelos, yang berarti paku, tiang runcing.
Keterlibatan Bung Karno yang aktif memantau pembangunan Monas cukup beralasan. Soekarno ingin menjadikan Monas sebagai kebanggaan nasional.
Desain ini terilhami karya Oscar Niemeyer, arsitek Brasil yang populer di masa itu. Gagasan ini sebenarnya berbeda dengan idealisasi Soekarno tentang ide linggam dan yoni. Soedarsono menghaluskannya menjadi konsep alu dan lumpang, layaknya sepasang penumbuk padi di Jawa.
Penerimaan konsep obelisk oleh Soekarno karena sifat universalitas kedua artefak itu sebagai tengaran peradaban di mancanegara. Sikap ini ditangkap Yuke Ardhiati dalam bukunya, Bung Karno dalam Panggung Indonesia, (Wastu Adicita, 2013).
Sayembara kekinian
Hampir enam dekade setelah sayembara kedua Monas digelar, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka sayembara revitalisasi Monas. Sayembara desain dimulai pada 2018, sementara pemenang sayembara diumumkan pada 2019. Adapun pemenang sayembara adalah arsitek dari ITB, Deddy Wahjudi, dengan desain bernama ”Labuan Nusantara”, sebagaimana dikutip Kompas.com pada 6 Februari 2020.
Dari sumber yang sama, diketahui bahwa arsitek tidak dilibatkan langsung selama pelaksanaan revitalisasi. Ini di luar kebiasaan seorang arsitek di mana proyek selaras dengan pengembangan desain karya pemenang sayembara. Karena itu, Deddy dan tim tidak bisa mempertahankan konsep dan filosofi desain yang dia buat.
”Memang ada tahapan pengembangan desain, pengawasan, dan sebagainya. Sayangnya, kami tidak berada di sana untuk bisa memberi masukan yang baik, yang tepat,” ujar Deddy.
Ia berharap dapat terlibat dalam proses revitalisasi kawasan Monas selanjutnya. Tujuannya, agar dia bisa mempertahankan konsep desain mereka saat Pemprov DKI mengembangkan desain revitalisasi Monas.
Situasi ini berbeda dengan pelaksanaan pembangunan Monas 1961-1978. Tim arsitek pimpinan Soedarsono aktif mengikuti proses pembangunan. Begitu pun Ketua Umum Proyek Tugu Nasional Soekarno berkali-kali melihat langsung pelaksanaan pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan Monas saat itu dilakukan dalam pengawasan yang ketat demi mewujudkan gagasan tentang Indonesia.
Keterlibatan Soekarno
Keterlibatan Bung Karno yang aktif memantau pembangunan Monas cukup beralasan. Soekarno ingin menjadikan Monas sebagai kebanggaan nasional.
Menurut Yuke Ardhiati dalam bukunya, Bung Karno Sang Arsitek (Komunitas Bambu, 2005), Monas adalah puncak nasionalisme Soekarno dalam bentuk arsitektur. Seluruh aspek rancangan berupa idealisme, estetika, teknologi, serta kontroversi masyarakat akibat konflik kepentingan memperkuat Bung Karno untuk mewujudkannya.
Pembangunan yang digagas sejak 1955 itu baru dapat dimulai pengerjaannya 17 Agustus 1961. Tugu monolit dengan tinggi 132 meter dengan puncak berupa bara api dari bahan perunggu dengan berat 14,5 ton dilapisi emas murni seberat 32 kilogram. Tugu ini merupakan ekspresi semangat dian nan tak kunjung padam.
Adapun lokasi Monas dipilih bukan tanpa maksud. Monas didirikan di sini sebagai simbol pemutusan mata rantai kolonialisme.
Lapangan ini menjadi saksi sejarah peristiwa 19 September 1945 saat rapat raksasa digelar menyambut proklamasi kemerdekaan. Gelora semangat ini memberanikan rakyat menghadapi ancaman senapan dan sangkur yang terhunus saat itu.
Mengingat pentingnya pesan yang ingin disampaikan melalui Monas, tidak heran jika banyak pihak terlibat dalam pengawasan pembangunan. Hal serupa mestinya dilakukan saat penataan kawasan itu. Sebaiknya panitia melakukan sosialisasi ide, penjelasan mengenai relokasi pohon, hingga keikutsertaan perwakilan warga Jakarta.