Pemerintah Putuskan Tak Pulangkan Teroris Lintas Batas
›
Pemerintah Putuskan Tak...
Iklan
Pemerintah Putuskan Tak Pulangkan Teroris Lintas Batas
Pemerintah akan menghimpun data yang lebih valid mengenai jumlah dan identitas orang-orang yang dianggap terlibat bergabung dengan NIIS. Namun, pemerintah tak akan memulangkan teroris lintas batas dari Indonesia.
Oleh
NINA SUSILO dan DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah memutuskan tidak memulangkan teroris lintas batas dari Indonesia sebagai upaya memberikan rasa aman kepada seluruh rakyat Indonesia. Namun, pemerintah masih akan mempertimbangkan kemungkinan memulangkan anak-anak berusia di bawah 10 tahun yang dibawa orangtuanya atau menjadi yatim piatu.
Keputusan tersebut diambil dalam rapat tertutup yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Dalam rapat yang berlangsung dari pukul 15.30 hingga jelang pukul 17.00 itu hadir, antara lain, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius, dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.
Saat memberi keterangan pers seusai rapat, Mahfud menggunakan istilah teroris lintas batas (foreign terrorist fighters/FTF) asal Indonesia untuk warga negara Indonesia yang sudah memilih berperang dalam naungan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Saat ini terdapat 689 teroris lintas batas asal Indonesia yang berada di Suriah, Turki, dan beberapa negara lain.
Untuk mengantisipasi kemungkinan para teroris lintas batas ini memberi ancaman terorisme baru di Indonesia dan menularkan pemikiran terorisme kepada warga, pemerintah memilih tidak memulangkan mereka. Hal ini dikhawatirkan akan merusak rasa aman bagi 267 juta warga Indonesia.
”Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris, bahkan tidak akan memulangkan FTF ke Indonesia. Meskipun begitu, pemerintah akan menghimpun data yang lebih valid mengenai jumlah dan identitas orang-orang yang dianggap terlibat bergabung dengan ISIS (NIIS),” tutur Mahfud seusai rapat tertutup itu.
Terkait anak-anak di bawah usia 10 tahun yang dibawa orangtuanya atau menjadi yatim piatu, pemerintah masih akan mempertimbangkan. Namun, semua kasus akan dilihat satu per satu. Sebab, dikhawatirkan ada anak-anak yang sudah pernah terlibat tembak-menembak dan terpapar terorisme.
Sejauh ini, berdasarkan informasi, dari 689 teroris lintas batas, terdapat 228 orang yang sudah teridentifikasi. Pemerintah, menurut Mahfud, memiliki data sendiri. Mahfud menghindari berkomentar mengenai masih diakui atau tidaknya mereka sebagai warga negara Indonesia.
”Kami enggak bicara itu. Pokoknya, tidak pulang untuk menjamin rasa aman kepada seluruh rakyat yang di sini. Kan, tidak aman kalau ada teroris. Tetapi, bersamaan dengan itu, (pemerintah) akan mencari data lebih valid tentang jumlah dan identitas orang-orang itu,” tuturnya.
Secara terpisah, Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, anak-anak yang mengikuti latihan militer NIIS di usia muda dan menjadi tentara atau bersumpah setia kepada NIIS juga sudah kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya. Jika mereka terpaksa melakukannya, bisa saja kewarganegaraan Indonesia mereka tidak hilang.
Namun, kalaupun mereka kembali ke Indonesia, Hikmahanto mengingatkan supaya pemerintah menyeleksi secara ketat berdasarkan empat kriteria utama. Hal ini diperlukan untuk memastikan tidak ada yang berpura-pura insaf dan berpotensi membangunkan sel-sel terorisme di Indonesia dan negara sekitar.
Pertama, terkait kemungkinan mereka terdoktrin ideologi NIIS menjadi pertimbangan pertama sebab doktrinasi di usia muda membekas secara mendalam. Kedua, perlu dipertimbangkan apakah anak tersebut bersedia dipisahkan dari orangtuanya dan memiliki keluarga di Indonesia. Sebab, orangtua mereka tak mungkin kembali dan mereka perlu memahami hal ini.
”Jangan sampai mereka menaruh dendam kepada Pemerintah Indonesia yang seolah memisahkan dengan orangtua mereka. Apabila ini terjadi, bukan tidak mungkin saat dewasa justru mereka akan memerangi pemerintah yang sah,” tambah Hikmahanto.
Pemerintah juga perlu memastikan anak-anak ini tidak dianggap oleh Pemerintah Suriah atau Irak telah melakukan kejahatan, termasuk kejahatan terorisme berdasarkan hukum setempat. Kriteria terakhir adalah keinginan mereka kembali ke Indonesia betul-betul ketulusan untuk meninggalkan NIIS. Oleh karena itu, tambah Hikmahanto, pemerintah tidak perlu menjemput mereka secara khusus untuk melakukan evakuasi.
Sementara itu, Direktur Imparsial Al Araf meminta pemerintah berhati-hati dan bersikap proporsional dalam mengambil sikap tentang WNI eks NIIS. Sesuai amanat konstitusi UUD 1945, negara tidak boleh lepas tanggung jawab terhadap persoalan warga negara Indonesia di luar negeri.
Al Araf mengatakan, Imparsial melihat permasalahan ini dari aspek konstitusional dan hukum. Wacana pemulangan WNI eks NIIS ini harus ditempatkan dalam aspek bahwa dalam konstitusi diatur negara memiliki tanggung jawab terhadap warga negaranya. Menurut dia, jika pemerintah memilih opsi tidak memperbolehkan WNI eks NIIS pulang dan mencabut kewarganegaraannya, itu artinya pemerintah lari dari masalah.
Langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mengidentifikasi WNI eks NIIS. Sebab, Imparsial memercayai tidak semuanya aktif terlibat sebagai foreign terrorist fighter (FTF). Ada beberapa pihak yang datang ke sana karena alasan keluarga.
”Pemerintah seharusnya bisa mengecek siapa yang terlibat menjadi FTF, siapa yang simpatisan, dan siapa yang jadi pengikut NIIS. Profiling ini akan menentukan langkah apa yang harus dilakukan pemerintah selanjutnya,” ujarnya.
Al Araf menambahkan, bagi WNI yang teridentifikasi terlibat sebagai FTF aktif dan sedang diproses hukum, pemerintah perlu menghargai proses hukum di negara tersebut. Pemerintah juga bisa memberikan pendampingan hukum kepada WNI tersebut. Namun, bagi mereka yang tidak dalam proses hukum, misalnya berada di kamp pengungsian, dan mereka ingin pulang, sebaiknya diambil opsi memulangkan mereka.
”Pemerintah dapat menggunakan opsi paling berat hingga paling lunak. Opsi paling keras sudah diatur dalam revisi Undang-Undang Antiterorisme. Mereka yang terlibat dalam pelatihan paramiliter atau menyerang negara lain yang masuk dalam kategori tindak pidana terorisme bisa dikenai pidana minimal 4 tahun dan maksimal 15 tahun penjara,” papar Al Araf.
Imparsial bersikap, tidak hanya perempuan dan anak-anak yang harus dipulangkan dan mendapatkan program deradikalisasi. Namun, mereka yang terlibat sebagai FTF juga bisa mengikuti proses hukum di Indonesia dan dijerat Pasal 12 b revisi UU Antiterorisme. Tak hanya yang terlibat FTF, pasal ini juga bisa menjerat siapa pun yang ikut dalam pelatihan militer di Suriah.
Namun, revisi UU Antiterorisme itu masih perlu peraturan pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis implementasinya. Peraturan pemerintah inilah, katanya, nanti yang juga akan mengatur formula deradikalisasi komprehensif oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pekerjaan rumah yang dihadapi BNPT tidak sederhana. Menurut Al Araf, BNPT harus memiliki program institusional dan memastikan berjalannya program pendidikan bela bangsa seperti nilai-nilai Pancasila. Selain itu, pemerintah juga mesti memastikan bagaimana WNI eks NIIS ini harus hidup kembali atau melewati proses reintegrasi dalam masyarakat.
”Selama ini BNPT sudah melakukan program deradikalisasi. Meski catatannya tidak hanya di Indonesia, program deradikalisasi memang belum optimal. Itu pekerjaan rumah untuk memastikan formulasi yang efektif dalam program deradikalisasi,” terang Al Araf.
Di Indonesia sudah ada preseden buruk, yaitu seorang anak usia 13 tahun yang pernah terafiliasi dengan NIIS, setelah dipulangkan, diam-diam pergi dan melakukan aksi bom bunuh diri di Filipina. Hal ini membuktikan proses deradikalisasi yang dilakukan saat ini masih kerap gagal.
Sementara itu, peneliti International Association for Counter Terrorism and Security Studies, Rakyan Adi Brata, berpendapat, apabila WNI eks NIIS ini dipulangkan, pemerintah harus memastikan program deradikalisasi berjalan dengan baik, baik dari sisi lokasi penampungan maupun prosedur standar operasi.
Data dari IACSP selama 2017-2018 sudah ada sekitar 255 WNI eks NIIS yang dideportasi. Mereka terdiri dari 35 persen perempuan, 23 persen laki-laki, dan 42 persen anak-anak. ”Kuncinya, program deradikalisasi harus jalan, kuat, dan mumpuni. Selain itu, untuk upaya pencegahan terorisme, Indonesia juga sudah punya instrumen hukum revisi UU Antiterorisme,” terang Rakyan.