PPh Badan Direlaksasi, Pendapatan Negara Berpotensi Tergerus Rp 80 Triliun
›
PPh Badan Direlaksasi,...
Iklan
PPh Badan Direlaksasi, Pendapatan Negara Berpotensi Tergerus Rp 80 Triliun
Kebijakan penurunan, penghapusan, dan penyesuaian PPh badan ditempuh untuk menggerakkan ekonomi. Dengan kebijakan itu, uang pajak yang seharusnya dibayar perusahaan bisa digunakan untuk investasi atau ekspansi bisnis.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan merelaksasi Pajak Penghasilan badan baru untuk meningkatkan daya tarik investasi. Relaksasi Pajak Penghasilan badan ini berpotensi menggerus pendapatan negara sekitar Rp 80 triliun.
Relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) badan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau omnibus law perpajakan. Relaksasi itu berupa penurunan PPh badan secara bertahap, dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2021-2022 hingga 20 persen mulai tahun 2023.
Penurunan tarif PPh badan tambahan diberikan untuk perusahaan terbuka atau go public sebesar 3 persen. Selain itu, ada penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri serta penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga. Besaran penyesuaian tarif PPh atas bunga terkait investasi itu belum ditetapkan.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, Selasa (11/2/2020), mengatakan, kebijakan penurunan, penghapusan, dan penyesuaian PPh badan ditempuh untuk menggerakkan roda ekonomi. Dengan kebijakan itu, uang pajak yang seharusnya dibayar perusahaan bisa digunakan untuk investasi atau ekspansi bisnis.
”Harapannya, pajak yang tidak jadi ditarik bisa membuat dampak ekonomi baru. Konsumsi meningkat dan karyawan bertambah sehingga penerimaan pajak yang hilang akan pulih bertahap,” kata Suryo dalam jumpa media di Jakarta.
Kebijakan penurunan, penghapusan, dan penyesuaian PPh badan ditempuh untuk menggerakkan roda ekonomi. Dengan kebijakan itu, uang pajak yang seharusnya dibayar perusahaan bisa digunakan untuk investasi atau ekspansi bisnis.
Pengurangan PPh badan untuk perusahaan terbuka lebih besar dibandingkan dengan perusahaan tertutup. Setelah dikenai penurunan tarif PPh badan sebesar 20 persen, perusahaan terbuka mendapat tambahan penurunan tarif sebesar 3 persen. Dengan demikian, pada 2023, PPh badan yang mesti dibayar sebesar 17 persen.
Menurut Suryo, tambahan penurunan PPh badan untuk menstimulasi agar lebih banyak perusahaan terbuka dan perusahaan melantai di Bursa Efek Indonesia. Semakin banyak perusahaan terbuka akan mendorong pertumbuhan investasi dan meningkatkan likuiditas pasar modal.
”Penurunan PPh badan membuat daya saing Indonesia lebih kompetitif. Penurunan tarif PPh badan menjadi 20 persen tergolong kompetitif dibandingkan negara-negara kawasan ASEAN,” katanya.
Kompas mencatat, tarif PPh badan Indonesia saat ini, yakni 25 persen, memang lebih tinggi dibandingkan dengan mayoritas negara-negara Asia Tenggara. Misalnya, PPh badan di Malaysia 24 persen, Vietnam 20 persen, Thailand 20 persen, dan Singapura 17 persen. PPh badan Indonesia baru lebih rendah dari Filipina yang sebesar 30 persen.
Suryo menambahkan, relaksasi PPh badan akan berdampak pada pendapatan negara. Potensi penerimaan yang hilang diperkirakan mencapai Rp 80 triliun setiap tahun. Untuk mengompensasi kondisi itu, Direktorat Jenderal Pajak akan memperluas basis pajak, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Perluasan basis pajak akan ditempuh melalui pembentukan kantor pelayanan pajak (KPP) madya baru. Tujuannya, meningkatkan layanan dan edukasi perpajakan. Sementara KPP pratama akan fokus dalam pengawasan wajib pajak atau ekstensifikasi berbasis kewilayahan. Langkah ini diharapkan dapat mengidentifikasi warga yang belum memiliki NPWP.
Timbal balik
Secara terpisah, Managing Partner Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) Indonesia Darussalam berpendapat, relaksasi pajak harus menimbulkan efek timbal balik, bukan sekadar menggerus potensi penerimaan pajak. Relaksasi bersyarat ini dapat digunakan pemerintah untuk mengumpulkan data wajib pajak.
”Relaksasi dapat dipertukarkan dengan ’memaksa’ wajib pajak untuk memberikan data dan informasi keuangan,” ujar Darussalam.
Selain pertukaran data, otoritas pajak dapat memberlakukan relaksasi partisipasi bersyarat. Relaksasi tarif pajak hanya diberikan kepada wajib pajak patuh atau wajib pajak yang berpartisipasi menggerakkan ekonomi. Uang pajak yang tidak dipungut mesti digunakan perusahaan untuk investasi atau ekspansi bisnis.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah perlu merevisi target penerimaan pajak 2020 untuk mengantisipasi dampak kehilangan penerimaan akibat relaksasi pajak. Moderasi target dan melonggarkan penerimaan pajak justru diperlukan.
”Jika omnibus law perpajakan diterapkan, tetapi target penerimaan pajak agresif, hasilnya jadi zero sum game,” ujar Prastowo.
Pemerintah perlu merevisi target penerimaan pajak 2020 untuk mengantisipasi dampak kehilangan penerimaan akibat relaksasi pajak.
Di sisi lain, Prastowo mengingatkan, penurunan tarif pajak jangan sampai menggerus penerimaan semakin dalam, apalagi rasio pajak masih terbilang rendah. Unsur-unsur politis sebaiknya dikurangi agar investasi tumbuh positif seiring dengan penerapan omnibus law perpajakan ini. Pertumbuhan investasi turut meningkatkan penerimaan pajak.
Ada enam substansi dalam omnibus law perpajakan, yakni pendanaan investasi, sistem teritori terkait ekonomi digital, subyek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak, keadilan iklim berusaha, dan fasilitas perpajakan.
Omnibus law perpajakan akan mengakomodasi enam undang-undang yang terdiri dari UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU PPh, UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Kepabeanan, UU Cukai, serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Kementerian Keuangan telah menyerahkan draf RUU Perpajakan dan naskah akademik kepada DPR pada Rabu (5/2/2020) malam. Targetnya, omnibus law perpajakan ini dapat diundangkan pada akhir 2020 atau paling lambat pada 2021.