Ratusan Tentara AS di Irak Alami Gegar Otak akibat Serangan Rudal Iran
›
Ratusan Tentara AS di Irak...
Iklan
Ratusan Tentara AS di Irak Alami Gegar Otak akibat Serangan Rudal Iran
Jumlah tentara yang gegar otak terus meningkat dibandingkan laporan awal.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
WASHINGTON DC, SELASA — Departemen Pertahanan Amerika Serikat memastikan 109 tentara negara itu gegar otak akibat serangan rudal Iran di pangkalan AS di Irak bulan lalu.
Laporan yang disiarkan pada Senin (10/2/2020) siang di Washington DC atau Selasa pagi WIB menunjukkan, jumlah tentara yang gegar otak terus meningkat. Laporan Pentagon pada pertengahan Januari 2020 menyebutkan, 17 tentara gegar otak akibat serangan rudal Iran di Pangkalan Udara Ain al-Asad di Anbar, Irak, 8 Januari 2020.
Iran menembakkan belasan rudal ke pangkalan yang dioperasikan AS itu sebagai pembalasan atas pembunuhan Mayor Jenderal Qassem Soleimani. Komandan Brigade Quds, sayap Garda Revolusi Iran yang mengurusi operasi luar negeri dan intelijen, itu tewas akibat serangan AS di Bandara Internasional Baghdad pada 3 Januari 2020.
Selepas serangan 8 Januari 2020, Pentagon menyebut tidak ada korban jiwa. Sementara korban cedera masih dievaluasi. Belakangan, diumumkan sejumlah tentara AS menderita gegar otak.
Dalam laporan militer AS, gegar otak dinyatakan fenomena wajar bagi prajurit di medan perang. Cedera itu biasanya dipicu ledakan, seperti kala Pangkalan Al Asad ditembaki dengan rudal oleh Iran.
Presiden AS Donald Trump awalnya membantah ada gegar otak. Trump menyebut sejumlah tentara pusing-pusing setelah serangan itu. Persoalan itu dinyatakan akan cepat selesai.
Namun, evaluasi Pentagon menunjukkan masalahnya lebih serius. Sampai sekarang, 109 tentara AS harus dipulangkan dari Irak gara-gara gegar otak. Sebanyak 76 di antaranya sudah kembali bertugas. Sisanya dalam proses evaluasi di Jerman.
Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley mengatakan, mungkin gejala gegar otak tidak terlihat hingga dua tahun sejak pemicunya terjadi. Tentara AS masih di tahap awal pemeriksaan prajurit yang diduga menderita gegar otak akibat serangan Iran.
Sementara Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan, Pentagon sedang mengkaji cara mengurangi risiko gegar otak di medan perang. Kajian tentang perawatan terbaik untuk gegar otak juga sedang dilakukan.
Ketua Dewan Koordinasi Layanan Cedera Otak New York, Michael Kaplen, menyebut, gegar otak jenis cedera yang bisa mengubah kehidupan seseorang. ”Ada dampak fisik, emosi, kognitif, dan perilaku pada setiap penderitanya. Gegar otak menjadi masalah ringan hanya jika terjadi pada otak orang lain, bukan otak Anda sendiri. Tidak ada istilah gegar otak ringan,” ujarnya.
Salah identifikasi
Baku rudal AS-Iran dipicu oleh peluncuran roket ke Pangkalan K-1 di Kirkuk, Irak. AS menuduh rudal-rudal dilancarkan oleh Brigade Hezbollah, salah satu milisi syiah di Irak. Washington beralasan, ada hasil sadapan komunikasi internal milisi itu terkait serangan tersebut.
Karena itu, AS mengebom lima lokasi yang diduga menjadi markas milisi itu. Akibat serangan itu, sejumlah orang tewas. Kematian mereka memicu unjuk rasa berujung pendobrakan Kedutaan Besar AS di Baghdad.
Dalam laporan The New York Times pekan lalu, sejumlah perwira intelijen Irak meragukan informasi Brigade Hezbollah menembakkan roket ke K-1. Sampai sekarang, tidak ada bukti langsung yang bisa mengaitkan kelompok mana pun pada serangan 27 Desember 2019.
Yang jelas, roket-roket dilancarkan dari wilayah yang hampir seluruh penduduknya bermazhab Sunni. Desa di sekitar lokasi peluncuran pun sudah lama dikenal kerap dijadikan tempat persembunyian milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Selain itu, Brigade Hezbollah tidak terdeteksi ada di Kirkuk sejak 2014.
Aparat Irak juga menemukan mobil pengangkut roket tidak jauh dari lokasi pembunuhan 5 orang Syiah oleh NIIS pada September 2019. ”Semua informasi itu mengarah kepada NIIS. Sebelum serangan itu, ada tiga kejadian di sana dan semua mengindikasikan gerakan NIIS,” kata Kepala Badan Intelijen Kepolisian Irak Brigadir Jenderal Ahmed Adnan.
Di daerah lokasi peluncuran roket, milisi Syiah sulit bergerak. ”Kami, aparat Irak, sekalipun tidak bisa ke sana tanpa pasukan besar karena tidak aman. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak tahu daerah itu datang lalu menembakkan rudal?” katanya.
Ia mengatakan, Irak tidak bisa menyelidiki serangan di K-1. Sebab, seluruh bukti sudah diambil AS.
Irak berulang kali meminta AS berbagi informasi soal serangan 27 September 2019. Sayangnya, sampai sekarang permintaan itu tidak dipenuhi.
Direktur Jenderal Intelijen dan Kontrateror Irak Abu Ali al-Basri menyebut AS tidak pernah mengomunikasikan serangan balasan terhadap Brigade Hezbollah.
”Mereka tidak minta analisis saya tentang apa yang terjadi di Kirkuk. Mereka juga tidak berbagi informasi apa pun. Biasanya, mereka melakukan semua itu,” ujarnya. (AP/REUTERS)