Belum Ada Satupun Daerah yang Sabet Peringkat Paripurna sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak
›
Belum Ada Satupun Daerah yang ...
Iklan
Belum Ada Satupun Daerah yang Sabet Peringkat Paripurna sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak
Delapan tahun terakhir terdapat 435 kabupaten/kota yang telah menginisiasi diri sebagai kabupaten/kota layak anak. Rokok menjadi salah satu indikator yang ikut disertakan dalam penilaian kabupaten/kota layak.
Oleh
Caecilia Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga saat ini belum ada satu pun kabupaten/kota di Indonesia yang mencapai peringkat paripurna sebagai kabupaten/kota layak anak. Pada 2019, memang sudah ada tiga kota yang berhasil meraih peringkat utama. Hanya saja ketiganya belum bisa terbebas dari iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Kesejahteraan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Hendra Jamal dalam diskusi ”Kilas Balik Satu Dekade Perokok Anak”, Rabu (12/2/2020), di Jakarta, menyampaikan hal tersebut. Kategori kabupaten/kota layak anak memiliki lima peringkat, yaitu pratama, madya, nindya, utama, dan paripurna.
Selama kurun waktu 2011 sampai 2019 terdapat 435 kabupaten/kota yang telah menginisiasi diri sebagai kabupaten/kota layak anak. Rokok menjadi salah satu indikator yang ikut disertakan dalam penilaian kabupaten/kota layak anak.
Konsistensi menjadi tantangan utama bagi pemerintah kabupaten/kota yang telah mengeluarkan peraturan daerah (perda) terkait kawasan tanpa rokok, lalu disertakan substansi pelarangan iklan ataupun kegiatan promosi yang dilakukan perusahaan rokok dalam kegiatan-kegiatan anak. Pasalnya, di lapangan terdapat kontrak pemasangan iklan di media luar ruang yang masa kontraknya mencapai puluhan tahun.
Pengasuhan orangtua memegang peranan tidak kalah penting dalam mencegah anak-anak merokok. Sebab, anak adalah peniru ulung kebiasaan orangtua.
”Tantangan lainnya adalah ketegasan untuk memberikan sanksi kepada perusahaan rokok yang melanggar ketentuan itu,” ujar Hendra.
Ia mengatakan, pengasuhan orangtua memegang peranan tidak kalah penting dalam mencegah anak-anak merokok. Sebab, anak adalah peniru ulung kebiasaan orangtua. Apabila orangtua merokok, kemungkinan besar anak mereka akan ikut merokok.
”Ketika anak mendapat pola asuh yang tepat, mereka akan merasa enggan merokok walaupun rutin terpapar iklan rokok. Kementerian kami terus mendorong orangtua ambil bagian utama mencegah anak-anaknya merokok,” tutur Hendra.
Ketua Lentera Anak Lisda Sundari berpendapat, sepuluh tahun pasca-viral berita Aldi Rizal Suganda, anak balita asal Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang merokok sejak usia 18 bulan, pencegahan perokok anak tidak mengalami kemajuan. Saat ini, di masyarakat bahkan muncul fenomena anak-anak yang merokok menggunakan rokok elektrik.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2018, perokok anak usia 10-18 tahun meningkat mencapai 9,1 persen atau sama dengan 7,8 juta anak. Padahal, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan, prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada 2019.
Dia menyebutkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan pencegahan perokok anak muncul tidak mengalami kemajuan. Misalnya, tidak efektifnya pengawasan implementasi iklan rokok sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Pasal 27 PP No 109/2012 antara lain menyebutkan, tidak mencantumkan nama produk bersangkutan adalah rokok, tidak menggunakan kata atau kalimat menyesatkan, dan tidak menggambarkan atau menyarankan merokok memberikan manfaat bagi kesehatan.
Hasil monitor Lentera Anak pada 2015 atau tiga tahun setelah PP diundangkan menunjukkan 85 persen sekolah dikelilingi iklan rokok dari 30 merek. Hasil riset Badan Pengawas Obat dan Makanan mengungkapkan, ada kenaikan iklan rokok di media dari 69.244 pada 2015 menjadi 85.815 tahun 2016.
Lisda mengakui, sudah banyak lahir perda terkait kawasan tanpa rokok. Dia memperkirakan ada 200-an perda. Akan tetapi, hal terpenting adalah sejauh mana pengawasan pelaksanaan perda tersebut.
”Kalaupun ada perda yang mengatur pengendalian iklan rokok, penekanan kami tetap sama, yaitu mekanisme pengawasan. Kami menuntut agar ada revisi PP No 109/2012 karena terbukti tidak efektif. Misalnya, adanya substansi sanksi pidana ringan kepada orang yang merokok sembarangan,” tuturnya.
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Widyastuti Soerojo mengatakan, masyarakat umumnya melihat merokok sebagai kegiatan yang normal. Padahal, dia menilai, rokok adalah jaring bisnis adiktif.
”Industri apa pun sektornya pasti mempunyai strategi memperluas pangsa pasarnya, termasuk melalui cara beriklan. Oleh karena itu, masyarakat semestinya jangan hanya mendorong perda terkait pengendalian rokok ataupun kawasan tanpa rokok. Kementerian/lembaga harus duduk bersama untuk menyamakan persepsi rokok tidak baik untuk anak-anak,” ujarnya.
Widyastuti menilai, sejauh ini, persoalan maraknya perokok usia anak masih dibahas serius oleh kementerian terkait, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Kementerian Kesehatan. Dia berharap, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian turut serta diajak mencegah lebih banyak anak jadi perokok.