Indonesia, Terperangkap pada Peringkat Ke-8 Eksportir Tekstil Dunia
›
Indonesia, Terperangkap pada...
Iklan
Indonesia, Terperangkap pada Peringkat Ke-8 Eksportir Tekstil Dunia
Dipilih sebagai salah satu industri prioritas, industri tekstil dan pakaian jadi menunjukkan pencapaian yang patut diapresiasi. Sayangnya, prestasi itu akan semu jika persoalan faktor produksi tidak mendapat solusi.
Oleh
Agustina Purwanti
·5 menit baca
Industri tekstil dan pakaian jadi atau disebut industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengalami pertumbuhan yang kian meningkat sepanjang lima tahun terakhir. Data BPS menunjukkan, pada triwulan III 2015, pertumbuhan industri TPT masih pada angka -6,24 persen. Sementara triwulan III 2019 sudah melonjak hingga menembus angka 15,08 persen.
Penyerapan tenaga kerja pada industri TPT juga tinggi. Data terkini oleh BPS menunjukkan, tahun 2017 subsektor industri tekstil dan industri pakaian jadi mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1,5 juta orang. Jumlah tersebut lebih tinggi 1,5 kali lipat dari penyerapan tenaga kerja di industri makanan.
Hal lain yang cukup mengagumkan dari kinerja industri TPT Indonesia adalah masuknya Indonesia ke dalam 10 besar negara eksportir (khusus) pakaian jadi pada tahun 2018. Uniknya, selama lima tahun berturut-turut sejak 2014 hingga 2018, Indonesia selalu ”konsisten” menempati peringkat ke-8.
Meski masuk dalam 10 besar eksportir pakaian jadi, Indonesia masih kalah bersaing dengan Vietnam. Vietnam lebih unggul dengan menduduki peringkat ke-4 selama empat tahun terakhir.
Berdasarkan Tinjauan Statistik Perdagangan Dunia yang dipublikasikan Organisasi Perdagangan Dunia, nilai ekspor pakaian jadi Indonesia tahun 2018 sebesar 9 miliar dollar AS. Nilai tersebut membawa Indonesia berkontribusi 1,8 persen pada ekspor pakaian jadi secara global.
Nilai ekspor pada tahun 2015 pernah turun, tetapi konsisten naik hingga tahun 2018. Dalam hal ini, Indonesia mampu mengalahkan Amerika Serikat. Sepanjang 2014 hingga 2018, nilai ekspor pakaian jadi AS stagnan 6 miliar dollar AS per tahun yang menyebabkan AS ”hanya” menempati peringkat ke-10 eksportir pakaian jadi.
Impor
Kendati demikian, patut diingat bahwa industri TPT merupakan industri yang kompleks. Idealnya, memiliki keterkaitan dari hulu hingga ke hilir. Faktanya, banyak persoalan menghambat industri TPT dalam negeri.
Akhir bulan lalu, Kementerian Perindustrian telah memetakan tujuh persoalan yang dihadapi sektor industri di Tanah Air. Hal itu disampaikan dalam evaluasi kinerja industri 2019 dan tinjauan pembangunan sektor industri tahun 2020. Setidaknya, ada tiga persoalan mendasar yang masih menjadi tantangan bagi industri TPT.
Pertama, tekanan impor. Prestasi masuk dalam 10 besar negara eksportir pakaian jadi, agaknya menjadi semu. Sebab, berdasarkan sumber data yang sama, selama tahun 2014 hingga 2018, Indonesia juga masuk 10 besar negara importir tekstil. Lagi-lagi menjadi peringkat kedelapan, di tahun 2018. Bahkan, nilai impornya meningkat di tahun 2018.
Tahun 2014 hingga 2017 nilai impornya masih 6 miliar dollar AS. Selama periode tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke-10 negara importir tekstil di dunia. Namun, tahun 2018 nilai impor tekstil sudah merambat naik mencapai 7 miliar dollar AS.
Salah satu penyebab tingginya impor tekstil di Tanah Air adalah menurunnya produksi kapas di Indonesia sebagai bahan baku tekstil. Serat kapas adalah bahan baku terbaik untuk tekstil karena lebih mampu menyerap keringat. Direktorat Jenderal (Dirjen) Perkebunan Indonesia mencatat, sejak tahun 2007, terjadi penurunan yang sangat drastis dalam produksi kapas dalam negeri.
Tingginya impor tekstil di Tanah Air disebabkan menurunnya produksi kapas di Indonesia.
Tahun 2007, Indonesia masih mampu memproduksi kapas 12.768 ton. Saat itu, Indonesia tidak masuk dalam kelompok 15 besar importir tekstil. Malah, Indonesia bisa menduduki peringkat ke-12 eksportir tekstil di dunia. Mengalahkan Vietnam yang kini mengudara.
Namun, tahun 2008 produksi kapas dalam negeri hanya 3.858 ton. Sejak saat itulah Indonesia masuk ke dalam kategori leading importer of textile menurut catatan WTO tahun 2009 dan menduduki peringkat ke-13.
Hingga data terkini oleh Dirjen Perkebunan, produksi kapas Indonesia tahun 2017 hanya tersisa 519 ton. Artinya, jumlah produksi tersebut turun hampir 50 persen dari produksi tahun sebelumnya.
Pola penurunan produksi kapas ini senada dengan makin berkurangnya luas lahan perkebunan kapas dalam negeri. Masih mengacu pada catatan Dirjen Perkebunan, sepanjang 10 tahun terakhir, terjadi penurunan luas lahan perkebunan kapas 5.896 hektar alias turun 50 persen.
Mesin industri
Bukan hanya bahan baku, melainkan soal mesin dan teknologi juga menjadi persoalan produksi tekstil. Kini, mesin dan teknologi menjadi penggerak utama bagi industri, termasuk tekstil. Teknologi mesin tekstil berkembang dalam lima tahun sekali.
Sayangnya, mesin-mesin yang dimiliki industri tekstil adalah mesin-mesin tua, khususnya di jenis industri antara. Menjadi tidak efisien karena berusia lebih dari 20 tahun (Kompas, 18 September 2019).
Sayangnya, mesin-mesin yang dimiliki industri tekstil adalah mesin-mesin tua.
Terdapat 1.540 perusahaan industri besar dan sedang, dengan tingkat utilitas kapasitas (rasio kapasitas produksi) hanya 41,95 persen di industri antara TPT. Hal ini juga yang menyebabkan impor tekstil dalam negeri menjadi tinggi.
Peneliti senior Indef, Enny Sri Hartati, dalam sebuah diskusi ekonomi yang diadakan Kompas 24 Januari 2019, mengatakan bahwa tidak ada sinergi dari hulu ke hilir dalam industri TPT di Tanah Air.
Menjadi tidak sinergis karena bahan baku yang masih bisa diproduksi di dalam negeri tidak dapat diakomodasi hingga ke bagian hilir karena terhalang produksi di industri antara. Artinya, perlu restrukturisasi peralatan dan mesin di industri besar sedang, untuk menaikkan rasio produksi (utilitas) dari setiap perusahaan.
Ketiga, pengusaha industri tekstil mempersoalkan tarif listrik. Publikasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, tarif listrik untuk industri di Indonesia masih lebih tinggi dari Vietnam. Pada tahun 2018, tarif listrik untuk industri besar di Vietnam 7,41 sen dollar AS per kilowatt (988,64 rupiah). Sementara Indonesia masih lebih mahal, yaitu 7,47 sen dollar AS per kilowatt (996,64 rupiah).
Otomatisasi yang gencar terjadi saat ini menuntut penggunaan teknologi yang lebih masif. Jika energi penggerak tidak disesuaikan, akan membuat biaya produksi menjadi lebih tinggi dan akan lebih sulit bersaing.
Data BPS menunjukkan, biaya input industri tekstil dan industri pakaian jadi terus mengalami peningkatan. Peningkatan drastis terjadi pada tahun 2016. Meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya pada industri tekstil. Bahkan, pada industri pakaian jadi, peningkatan biaya input hampir empat kali lipat dari tahun sebelumnya.
Sebenarnya Indonesia punya potensi untuk bisa mengisi pasar global. Namun, beberapa faktor tersebut membuat Indonesia belum mampu bersaing secara optimal. Persoalan-persoalan mendasar semacam ini harus segera diatasi. Persoalan yang mengguncang raksasa ekonomi dunia juga bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengisi celah tersebut. (LITBANG KOMPAS)