Hidup tanpa penghasilan tetap membuat sejumlah lansia di Jakarta menggantungkan hidup kepada keluarga. Bantuan sosial dari pemerintah juga diandalkan, terutama oleh mereka yang secara fisik tidak bisa bekerja lagi.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
Selasa (11/2/2020) siang, pasangan Tutik (61) dan Karto (65) berbaring lemah di ruang tamu rumahnya. Ruangan berukuran 4 x 5 meter tersebut juga sekaligus menjadi kamar, ruang tamu, bahkan dapur bagi mereka. Keduanya tinggal di RT 002 RW 006 Kampung Kalimati, Kelurahan Kedaung Kali Angke, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.
Siang itu Tutik memamerkan bekas jarum suntik di lengan kanannya. Ia baru pulang dari Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat, untuk mengecek kadar gula dan ginjal. Hal itu rutin ia lakukan setiap bulan karena penyakit diabetes yang dideritanya sejak lima tahun ini.
Suaminya, Karto, juga membatasi aktivitas fisiknya karena menderita penyakit jantung koroner. Dulunya ia bekerja sebagai sopir di salah satu perusahaan di Jakarta Barat, tetapi memutuskan pensiun saat menginjak usia 55 tahun lantaran mulai sakit-sakitan. Selain menderita sakit jantung, ia juga terkena penyakit wasir.
”Dia (Karto) sudah tidak boleh aktivitas yang berat-berat. Jantungnya sudah melemah dan harus periksa sebulan sekali,” kata Tutik.
Praktis, sejak 10 tahun belakangan setelah Karto pensiun, pasangan lansia ini tidak lagi memiliki penghasilan tetap. Mereka hanya mengandalkan sisa-sisa uang tabungan dari gaji Karto saat masih bekerja. Terkadang, mereka dibantu anaknya yang tinggal di lantai atas rumah mereka.
Beruntung, untuk makan sehari-hari, keduanya masih mendapatkan bantuan pangan dari pemerintah. Setiap bulan mereka mendapatkan 8 kilogram beras dari pemerintah. Demi menghemat beras bantuan itu untuk sebulan, mereka menjatah dua gelas teh beras per hari.
”Enggak ada penghasilan, ya kadang dibantu anak yang jadi tukang ojek (daring) sedikit-sedikit,” ujar Tutik.
Saat Kompas mengetuk pintu rumah mereka yang sedikit terbuka, Karto terkejut. Ia langsung beranjak dari kasur dan membukakan pintu. Ia menganggap tamu yang datang siang itu adalah petugas Kelurahan Kedaung Kali Angke atau petugas Dinas Sosial Jakarta Barat.
Hal ini bukan tanpa alasan karena sejak berbulan-bulan mereka menunggu kabar baik dari petugas tersebut terkait dengan kepesertaan program Kartu Lansia Jakarta. Mereka mengaku, petugas dari pemerintah sudah menyurvei mereka berkali-kali, tetapi hingga kini belum ada kepastian.
Berdasarkan keterangan dari laman Dinas Sosial DKI Jakarta, Kartu Lansia Jakarta merupakan program pemenuhan kebutuhan dasar bagi lansia dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Program ini ditujukan kepada para lansia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri sehingga amat bergantung kepada orang lain.
Kelompok yang disasar Dinas Sosial DKI Jakarta adalah lansia umur 60 tahun ke atas dengan status ekonomi sosial terendah dan terdaftar dalam basis data terpadu (BDT). Selain itu, mereka juga tidak memiliki penghasilan tetap, sakit selama menahun, hingga telantar secara psikis dan sosial. Bantuan yang diberikan adalah uang tunai sebesar Rp 600.000 yang ditransfer melalui Bank DKI.
Sejak 10 tahun belakangan setelah Karto pensiun, pasangan lansia ini tidak lagi memiliki penghasilan tetap. Mereka hanya mengandalkan sisa-sisa uang tabungan dari gaji Karto saat masih bekerja. Terkadang, mereka dibantu anaknya yang tinggal di lantai atas rumah mereka.
Inen Saputra (50) sejak tahun lalu juga sudah memperjuangkan status ayahnya, Susanto (70), agar terdaftar sebagai penerima program Kartu Lansia Jakarta. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada kejelasan status ayahnya tersebut. Mereka kini masih berdomisili di RT 012 RW 002 Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
”Sejak 2019 belum ada kejelasan. Pengajuan saya dan ayah untuk Bantuan Pangan Non-Tunai juga belum ada hasilnya,” ungkapnya di Jakarta, Rabu (12/2).
Saputra bekerja sebagai pengemudi ojek daring. Saban hari, penghasilannya yang tak menentu harus ia sisihkan untuk menghidupi orangtuanya yang tidak lagi memiliki penghasilan apa pun sejak berhenti menjadi hansip belasan tahun silam.
Tak berharap
Hal yang sama dialami oleh Eti (69). Pedagang kue di Pasar Kebon Melati, Jakarta Pusat, ini belum pernah mendapatkan bantuan dalam bentuk apa pun dari pemerintah. Padahal, setahun lalu ia sudah didata oleh petugas Kelurahan Karet Tengsin, Jakarta Pusat.
”Saya enggak berharap lagi, lha bagaimana lagi, sudah setahun juga gak ada kabar,” katanya.
Sejak 1982, Eti merantau dari Padang, Sumatera Barat, ke DKI Jakarta bersama suaminya. Pada 1998, suaminya meninggal. Ia terpaksa menghidupi dua anaknya seorang diri. Kini ia tinggal bersama anak dan menantunya di sebuah rumah kontrakan di Karet Tengsin.
Biaya sewa per bulan Rp 1,1 juta dibayar oleh anaknya. Sadar tak ingin membebani anaknya lebih banyak, setiap hari Eti berdagang kue. Ia bangun pukul 01.00 dini hari dan membuat aneka macam kue hingga pukul 05.00. Setelah shalat Subuh, ia berangkat ke Pasar Kebon Melati. Paling lama, Eti pulang dari pasar sekitar pukul 10.30.
”Ya, penghasilan bersih rata-rata sekitar Rp 100.000 per hari,” ujarnya.
Sering kali kue dagangannya tak habis terjual. Ia mengungkapkan, pernah dalam satu hari kuenya tersisa hingga 30 buah. Lalu, ia membagikan kue-kue tersebut kepada jemaah di masjid dekat rumahnya.
Eti bersyukur hingga saat ini masih diberikan kesehatan sehingga bisa berjualan di pasar. Menurut di, hal itu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, bahkan membelikan makanan ringan untuk cucu-cucunya.
Kepala Seksi Jaminan Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Ahmad Taufiq Hidayatullah menyebutkan, pada 2019 jumlah penerima manfaat program Kartu Lansia Jakarta se-DKI Jakarta mencapai 40.419 orang, dari total 112.417 lansia di Jakarta.
Tahun ini jumlahnya diproyeksikan meningkat menjadi 77.524 orang.
Bagi masyarakat yang merasa berhak mendapatkan bantuan tersebut bisa mendaftarkan diri melalui kelurahan setempat. Di sana ada petugas pendataan dan pendampingan sosial yang siap membantu. Selama setahun, proses pendataan akan dilakukan selama dua kali.
”Tidak semua akan mendapatkan bantuan. Pendataan tersebut bertujuan memetakan tingkat kemiskinan para lansia. Yang paling membutuhkan akan mendapatkan prioritas terlebih dulu,” katanya.
Menurut Taufiq, pengurus RT atau pengurus RW yang akan menentukan lansia mana saja yang layak mendapatkan bantuan.
Nama-nama yang diajukan tersebut kemudian diteruskan ke tingkat kelurahan, kota, provinsi, hingga nasional untuk dijadikan basis data pemberian bantuan.