Selasa, 11 Februari lalu, Iran memperingati 41 tahun revolusi 1979. Peristiwa 41 tahun silam itu dicatat sebagai salah satu peristiwa yang memengaruhi jalannya sejarah dan konflik dunia hari ini.
Oleh
·3 menit baca
Selasa, 11 Februari lalu, Iran memperingati 41 tahun revolusi 1979. Peristiwa 41 tahun silam itu dicatat sebagai salah satu peristiwa yang memengaruhi jalannya sejarah dan konflik dunia hari ini. Pada 11 Februari 1979, sejarah mencatat tumbangnya pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi, digantikan republik Islam berhaluan Syiah dengan arsitek revolusi, Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Kala itu mahasiswa Iran mengambil alih dan menduduki Kedutaan Besar AS, serta menyandera sejumlah diplomatnya sebagai luapan kemarahan atas langkah AS menerima suaka Pahlavi. Peristiwa itu memantik permusuhan abadi Iran-AS hingga hari ini.
Peringatan revolusi Iran tahun ini berlangsung di tengah makin sengitnya permusuhan Teheran-Washington. Diawali pada Mei 2018, saat Presiden AS Donald Trump menarik AS mundur dari kesepakatan nuklir 2015 dan menjatuhkan serangkaian sanksi pada Iran. Permusuhan itu memuncak saat Qassem Soleimani, Komandan Brigade Al-Quds Garda Revolusi Iran, tewas akibat serangan pesawat nirawak AS.
Dalam rangka memperingati revolusi 1979, Selasa lalu, di Iran ratusan ribu warga turun ke jalan-jalan di seantero wilayah negeri itu. Presiden Iran Hassan Rouhani hadir dan berpidato di Lapangan Azadi, Teheran. Pidato berisi, antara lain, kecaman pada AS dan imbauan pada warga Iran untuk menyukseskan pemilu parlemen dalam waktu dekat.
”Tak bisa dibendung lagi, AS harus menerima kemenangan sebuah bangsa besar dan sebuah negara superpower diusir dari tanah ini,” kata Rouhani.
Peringatan di Jakarta
Di Jakarta, peringatan 41 tahun revolusi Iran dirayakan Kedutaan Besar Iran di kediaman Dubes Iran untuk Indonesia Mohammad Azad di Jakarta, Selasa malam. Acara itu dihadiri, antara lain, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, anggota DPR Arsul Sani, dan putri Proklamator RI, Rahmawati Soekarnoputri.
Azad mengatakan, 41 tahun setelah revolusi Iran, harapan agar negaranya diperlakukan sebagai sebuah negara yang berdaulat dan bermartabat masih harus terus diupayakan. ”Saya kira, semua negara di dunia, termasuk Indonesia, menuntut agar kedaulatannya dihargai, supaya keutuhannya dihargai, dan martabatnya dijaga oleh negara lain. Jika ada persoalan, seharusnya bisa diselesaikan dengan cara negosiasi dengan mekanisme win-win solution,” katanya.
Peran Indonesia sebagai negara sahabat menjadi penting bagi Iran. Menurut Azad, melihat posisi Indonesia yang penting di ASEAN, gerakan nonblok, dan di kawasan Asia, Iran berharap Indonesia memainkan perannya sebagai jembatan hubungan diplomatik yang lebih setara.
Keinginan kami adalah untuk bisa mengimpor komoditas dari Indonesia secara langsung
Terkait hubungan bilateral dengan Indonesia, Azad mengatakan, kedua negara terus mengupayakan peniadaan hambatan perdagangan langsung. Hubungan dagang melalui pihak ketiga dinilai tidak memberikan keuntungan lebih bagi kedua negara. Perjanjian perdagangan tersebut masih dalam tahap finalisasi oleh Pemerintah Indonesia.
”Keinginan kami adalah untuk bisa mengimpor komoditas dari Indonesia secara langsung dan sebaliknya Indonesia bisa melakukan hal yang sama tanpa melalui negara ketiga. Dengan hal itu, masyarakat bisa mengambil keuntungan langsung dari hubungan yang baik ini,” katanya.
Iran dan Indonesia, lanjut Azad, adalah dua negara penting di dua kawasan penting. Keduanya memiliki potensi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain.