Kamar Yeshika cukup luas untuk ditempati sendirian. Jika mau, ia bisa berlarian di dalamnya hingga kakinya lelah. Sesungguhnya, ia tak pernah benar-benar merasa sendirian. Deretan boneka di rak-rak tinggi seukuran dinding adalah sahabat-sahabatnya. Boneka-boneka itu memiliki beragam ekspresi: murung, riang, sedih, marah, juga jenaka. Ia tinggal memilih satu atau beberapa yang ia sukai untuk menemaninya. Boneka-boneka itu sering bercerita tentang negeri asal mereka. Cerita-cerita itulah yang membuatnya berkhayal, seolah-olah ia telah mengunjungi negeri-negeri itu.
Suatu kali, ibunya masuk ke dalam kamarnya dan bertanya apa yang ia inginkan. Perempuan anggun itu tampak terburu-buru, seperti biasanya. Saat melihat seekor kupu-kupu yang sedang melintasi jendela kamarnya, Yeshika menjawab, ”Aku ingin berdansa dengan kupu-kupu.”
Sepasang alis runcing ibunya mencuat ke atas. Hening. Hingga ibunya tersadar, suara mesin yang berdesis di pekarangan sudah menunggunya. Ibunya memang tak pernah bisa berlama-lama.
”Aku akan mendatangkan guru balet untukmu. Rajin-rajinlah berlatih. Oke?” Sepasang kaki lampai ibunya yang ditopang sepatu hak runcing merah mengilap segera berbalik dan menghilang di balik pintu. Suara menderu di pekarangan membawa ibunya menuju bandara sebelum menuju belahan dunia lain yang tidak ia ketahui.
Sehari setelah kepergian ibunya, pintu Yeshika diketuk. Seorang perempuan muncul dan berbicara bak seorang tuan putri. Ia menduga, perempuan itu adalah guru balet yang dikatakan ibu. Perempuan itu membawa rok dan sepatu indah untuk menari. Ia diminta untuk mengenakannya. Perempuan itu lalu mengajarkannya beberapa gerakan dan memintanya tersenyum saat menari. Ia menatap perempuan itu dengan kesal. Ia benar-benar tidak menyukainya dan berpura-pura sakit kepala, agar perempuan itu segera keluar dari kamarnya.
Sepeninggal perempuan itu, Yeshika mengamati rok dan sepatu yang dikenakannya. Ia memang tidak menyukai sang guru balet, tetapi ia menyukai sepatu dan rok indah itu. Yeshika berputar-putar di depan cermin, seolah-olah sedang berdansa dengan seseorang dan teringat pada kupu-kupu yang pernah terbang melintasi kamarnya. Yeshika lalu mendapatkan gagasan untuk berdansa dengan kupu-kupu. Ia menanyai boneka-boneka miliknya. Adakah di antara kalian yang tahu bagaimana caranya agar aku bisa berdansa dengan kupu-kupu?
Sayang sekali, boneka-boneka itu tidak mengetahuinya. Ia merasa gelisah. Seharian, ia menanti kupu-kupu kembali melintasi jendela kamarnya agar bisa berdansa dengan kupu-kupu itu. Sayangnya, hal itu tak kunjung terjadi.
Hari-hari berikutnya, Yeshika terus memikirkan cara agar bisa berdansa dengan kupu-kupu. Guru baletnya beranggapan bahwa Yeshika senang menari dengannya karena para pelayan bercerita bahwa Yeshika sering mengenakan sepatu dan rok yang dibawakannya. Padahal, Yeshika mengenakannya agar selalu siap jika kupu-kupu datang sewaktu-waktu. Tentu saja perempuan itu tidak mengetahuinya. Karena itu adalah rahasia Yeshika bersama boneka-boneka miliknya.
Minggu-minggu berlalu. Ibunya pulang dan memberikannya sebuah boneka baru. Hal ini seperti siklus yang tak pernah berhenti: ibu masuk ke kamarnya, pergi entah ke mana, lalu pulang dan membawakannya sebuah boneka. Kali ini, ibu memberikannya sebuah boneka cantik yang mengenakan kimono bercorak bunga sakura. Sepasang pipi boneka itu dihiasi bulatan merah. Rambutnya digelung dan dihiasi tusuk konde berwarna menyala.
”Kau suka?” tanya ibunya.
”Cantik,” sahut Yeshika singkat. Ia menatap ibunya. Sepasang mata ibunya tampak lesu. Ia pernah mendengar para pelayan bergunjing, bahwa sepasang mata ibu telah kehilangan cahaya sejak ayahnya meninggalkan rumah mereka demi perempuan yang tak lain adalah sahabat ibunya.
Orang-orang mengatakan bahwa parasnya mirip dengan ayahnya. Keberadaannya pasti mengingatkan ibunya pada ayahnya. Mungkin itu pula alasan mengapa ibu sering pergi meninggalkannya.
Ibunya mengangguk puas. ”Bagaimana latihan baletmu?”
”Baik.” Lagi-lagi Yeshika menjawab singkat. Ia hanya ingin ibunya segera meninggalkannya. Ia tak sabar untuk menanyai boneka berkimono dalam pelukannya. Berada berlama-lama di dekat ibunya membuatnya merasa tidak nyaman. Ibunya tak pernah memeluk atau mencium pipinya. Mereka lebih mirip dua orang asing yang bersikap kaku satu sama lain.
Ibunya tidak bicara lagi dan melangkah menuju ke pintu. Namun, ketika jemari ibunya menyentuh gagang pintu, ibunya berbalik dan bertanya, ”Kau masih ingin berdansa dengan kupu-kupu?”
Yeshika terdiam sesaat lalu berkata, ”Cuma bualanku. Aku tahu itu tak mungkin, Bu.”
Kelegaan menjalari paras ibunya. Ibunya mengangguk-angguk lalu meninggalkannya sendirian. Ia menatap boneka dalam pelukannya. Deretan boneka di lemari mulai riuh. Boneka-boneka itu ingin berkenalan dengan boneka berkimono yang sedang bersamanya. Selalu begitu setiap kali ada penghuni baru. Kali ini, Yeshika tak menghiraukan mereka. Ia hanya berharap semoga boneka berkimono akan memberikan jawaban yang ia inginkan.
”Dari mana asalmu?”
Boneka berkimono diam saja. Yeshika mengulangi pertanyaannya. Tapi boneka berkimono bergeming. Berkali-kali Yeshika mencobanya, namun boneka itu tak kunjung bicara. Yeshika merasa putus asa dan meletakkan boneka berkimono bersama boneka lainnya di rak lemari. Ketika boneka lain mencoba bercakap-cakap dengan boneka berkimono, mereka sama kecewanya dengan Yeshika. Boneka berkimono itu tetap diam. Yeshika lalu mengenakan rok dan sepatu menari miliknya dan duduk di bingkai jendela. Ia melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang melintas lalu berseru, ”Adakah yang tahu di mana aku bisa berdansa dengan kupu-kupu?”
Orang-orang berhenti. Mereka lalu tertawa. Ada yang mengatakan bahwa ia mungkin hanya sedang iseng karena bosan. Seseorang lalu melemparkan setangkai permen warna-warni. Yeshika menangkapnya dengan tangkas dan mengucapkan terima kasih. Saat Yeshika sedang menikmati permen yang meleleh dalam mulutnya, seekor kupu-kupu melayang masuk. Kupu-kupu itu hinggap di boneka berkimono. Ia tercengang. Untuk pertama kalinya, seekor kupu-kupu masuk ke dalam kamarnya.
Keesokan harinya, hal itu kembali terjadi. Seekor kupu-kupu kembali hinggap pada boneka berkimono. Yeshika memohon agar kupu-kupu itu menunggu, karena ia ingin berdansa dengan kupu-kupu itu. Namun, kupu-kupu itu pergi begitu saja. Boneka berkimono juga tetap bungkam meski ia terus bertanya bagaimana caranya agar bisa berdansa dengan kupu-kupu. Hatinya sedih bukan kepalang.
Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Yeshika telah menjelma menjadi seorang gadis jelita. Ia masih duduk di bingkai jendela kamar hingga senja tiba untuk menanti kupu-kupu. Perempuan yang pernah mengajarinya menari balet tidak pernah lagi datang mengunjunginya. Suatu kali, guru balet itu memergokinya sedang memarahi boneka-bonekanya. Perempuan itu tampak terkejut dan memutuskan berhenti untuk selamanya.
Sekarang, orang-orang tak lagi melemparkan permen pada Yeshika. Kini mereka melemparkan senyum saat melintas. Para pemuda menitipkan surat pada pelayan karena tak berani mendekati jendela kamarnya. Ibu Yeshika menyuruh orang untuk menambatkan seekor anjing pemburu di bawah jendela kamar putrinya. Aroma surat-surat itu membuat Yeshika mual. Ia tak pernah membaca surat-surat itu sampai selesai.
Ibu nyaris tak pernah lagi mengetuk pintu kamar Yeshika sejak seorang lelaki tinggal bersama mereka dan ia harus memanggil lelaki itu ayah. Ibunya dan lelaki itu sering bepergian dan meninggalkan Yeshika bersama para pelayan. Sekarang, ibu tidak lagi membawakannya boneka. Ibu mengatakan bahwa Yeshika sudah terlalu besar untuk menimang boneka. Ibu juga melarang Yeshika untuk duduk di bingkai jendela. Tapi Yeshika tak memedulikannya. Ia masih menanti kedatangan kupu-kupu yang bisa diajaknya untuk berdansa.
Suatu hari, ibu pergi bersama lelaki itu dan tak pernah kembali. Yeshika mendapat kabar bahwa mereka telah tiada. Tetapi, Yeshika tak dapat menitikkan air mata. Para pelayan mengetuk pintu kamarnya untuk mengucapkan turut berduka. Tetapi, ia tak ingin membukakan pintu untuk siapa pun. Ketika ia duduk termenung di bingkai jendela kamarnya, orang-orang melambaikan tangan sebagai tanda belasungkawa. Saat itulah, ia berucap, ”Kupu-kupu!”
Sejak itu pula, orang-orang memanggilnya kupu-kupu, karena hanya kata itulah yang bisa ia ucapkan. Orang-orang mengira, Yeshika sangat terguncang atas kepergian ibunya. Tak ada yang tahu, ia hanya ingin menyimpan sebuah rahasia. Sejak ibunya tiada, seekor kupu-kupu selalu mendatangi jendela kamarnya saat purnama tiba. Ia berdansa dengan kupu-kupu itu di bawah cahaya rembulan.
____________________________
Fitri Manalu, tinggal di Medan Amplas, Sumatera Utara. Ia menulis kumpulan cerpen Sebut Aku Iblis (2015) dan novel Minaudiere (2016). Cerpennya termuat di sejumlah antologi bersama, media daring, dan media cetak. Bergiat di komunitas Rumah Pena Inspirasi Sahabat.