Sutradara Wregas Bhanuteja menceritakan kembali mengenai film pendek ”Tak Ada Yang Gila Di Kota Ini” yang mendapat Piala Citra tahun lalu.
Oleh
Maria Susy Berindra
·2 menit baca
Nama sutradara Wregas Bhanuteja mungkin sudah tidak asing di kancah film pendek Tanah Air. Tahun lalu, filmnya yang berjudul Tak Ada Yang Gila Di KotaIni meraih penghargaan kategori Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2019. Film ini diadaptasi dari antologi cerpen milik Eka Kurniawan dengan judul yang sama. Bercerita tentang fenomena penangkapan orang dengan gangguan jiwa dan penyalahgunaan kekuasaan atas orang-orang tersebut.
”Ada irisan yang sama dalam cerpen milik Eka Kurniawan. Yang sebelumnya, saya sama sekali tidak mengontak Mas Eka, tetapi saat sodorokan ide filmnya ternyata ide yang kita miliki sama. Walaupun harus ada beberapa momen yang tidak ditampilkan di film,” kata Regas pada acara Serasi (Sore Seru Bareng Kognisi) bedah dan diskusi film di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Film berdurasi 20 menit tersebut mengambil latar tempat di salah satu pantai dan hutan di daerah Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Terlibatnya aktor Oka Antara menjadi daya tarik tersendiri bagi film yang sangat minim dialog ini.
Pemilihan lokasi Gunung Kidul pun tidak sembarangan, Wregas dibantu Tomo Hartono dan seorang mahasiswi psikologi Yogyakarta untuk riset film pendeknya. Ternyata di daerah Gunung Kidul banyak terdapat orang yang terkena gangguan jiwa dan tidak mendapat perlakuan yang manusiawi, seperti dipasung di kandang dan diikat di pinggir rumah.
Terlibatnya aktor Oka Antara menjadi daya tarik tersendiri bagi film yang sangat minim dialog ini. ”Di film Sang Penari, Mas Oka tidak banyak berbicara dan hanya berdialog menggunakan mata, itu yang membuat saya memilih Mas Oka untuk bekerja sama. Bahkan waktu itu, Mas Oka berkali-kali bertanya kepada saya tentang maksud beberapa adegan karena film ini sangat sedikit dialongnya,” katanya.
Karakter Marwan yang diperankan Oka Antara berwatak pendiam dan memendam kemarahan tanpa banyak bicara. Sementara karakter orang gila yang diperankan Sekar Sari (wanita nanas), Jamaluddin Latif (pria kolor), Rere Rully Ismada (ibu sapi), dan Gabriel Gradi (pria rapi) yang berlatar belakang dari dunia teater panggung terlalu ekspresif menjadi tantangan tersendiri bagi Wregas. Terutama saat pengambilan gambar dari dekat, jadi harus diulang beberapa kali. Terlebih ia harus memikirkan berulang kali tentang cara berkomunikasi orang yang memiliki gangguan jiwa agar dapat diperankan dalam filmnya. (*)