Bom bunuh diri yang dilakukan franchise "Islamic State of Iraq and Syria" atau SI, di Indonesia, bukan tidak mungkin meningkat jika veteran IS asal Indonesia kembali. Kewaspadaan pada aksi terorisme perlu ditingkatkan.
Oleh
Azyumardi Azra
·4 menit baca
Mungkin juga, tidak terlalu tepat istilah ”eks IS” atau ”eks ISIS” atau ”Islamic State of Iraq and Syria”, yang sering disingkat sebagai ”IS” atau ”Da’Is” (bahasa Arab Dawlah Islamiyah) untuk menyebut orang asal Indonesia yang pernah bergabung dengan IS. Mereka tengah ramai dibicarakan apakah diterima untuk kembali ke Indonesia atau ditolak, dibiarkan saja di tempat mereka ”terdampar” di wilayah yang pernah dikuasai IS, di penampungan, atau di tahanan negara lain, seperti Suriah, Jordania, dan Turki.
Alasannya sederhana, bisa saja ada orang, termasuk yang sebelum ikut IS, ialah warga negara Indonesia, yang ”meninggalkan” IS karena prospeknya makin tak menentu. Mereka mungkin saja berkeinginan meninggalkan wilayah yang pernah dikuasai IS, tetapi belum tentu meninggalkan ideologi ”khilafah” atau ”Dawlah Islamiyah” versi Abu Bakr al-Baghdadi yang tewas dalam sergapan pasukan Amerika Serikat, Oktober 2019. Di sini mereka sebetulnya belum menjadi ”eks IS”.
Orang-orang dari sejumlah negara yang pernah bergabung dengan IS ingin kembali ke negara asal masing-masing. Banyak negara menolak dengan alasan, eks IS itu bisa menjadi masalah sekuriti dengan melakukan kekerasan, termasuk terorisme.
Apalagi, dengan lepasnya wilayah Irak dan Suriah dari kekuasaannya, IS mempercepat transformasi menjadi gerakan transnasional global. Untuk itu, IS menjadikan diri sebagai kumpulan ”waralaba” (franchise) yang masing-masing mandiri dengan wilayah operasi, dari Libya, Mesir, Afrika barat, Burkina Faso, Pakistan, Kashmir, Sri Lanka, sampai Indonesia dan Filipina.
Aktivitas sel-sel terorisme IS di Indonesia sudah banyak diketahui. Sejauh ini ada 11 pengebom bunuh diri yang beraksi di Tanah Air, yang kebanyakan terkait IS. Sesuai investigasi Polri, para pelaku itu berafiliasi dengan Jama’ah Ansharut Daulah yang merupakan salah satu franchise IS di Indonesia.
Bom bunuh diri yang dilakukan franchise IS Indonesia bukan tidak mungkin meningkat jika veteran IS asal Indonesia kembali. Belum menempuh deradikalisasi sebelum masuk Indonesia, dengan ideologi yang sudah tertanam begitu kuat dalam diri mereka, negeri ini bisa langsung menjadi tempat pas bagi eks IS untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
Di tengah masih maraknya bom bunuh diri, Indonesia sebenarnya punya pengalaman menerima kepulangan eks IS. Pada 2017, dua rombongan eks IS, yakni 18 dan 75 orang, kembali ke Tanah Air. Menurut sumber Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dua orang di antaranya kemudian jadi pelaku bom bunuh diri di Solo (3/6/2019).
Banyak di antara eks IS yang kembali mengklaim pergi ke Suriah karena tertipu berbagai janji manis. Salah satu di antaranya Dwi Djoko Wiwoho yang pergi ke Suriah dengan meninggalkan jabatan sebagai salah seorang direktur di Otorita Batam.
Djoko insaf dan dengan berbagai kesulitan berhasil kembali ke Tanah Air. Dia dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara (Juli 2018) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena terbukti melakukan permufakatan jahat dan pendanaan keberangkatan sejumlah orang ke IS.
Kini diperkirakan ada 639 orang Indonesia eks IS. Dari jumlah itu, sekitar 200 orang ialah perempuan dan anak-anak. Tidak diketahui pasti berapa sebenarnya yang mau kembali ke Tanah Air walau ada asumsi, sebagian besar ingin pulang.
Jika sekarang ini muncul kontroversi luas mengenai rencana kepulangan eks IS, itu tak lain juga karena adanya pernyataan dari beberapa pejabat tinggi yang nadanya bertolak belakang. Ada yang cenderung dapat menerima kepulangan eks IS, tetapi ada pula yang menolak.
Penting dicatat di antara pejabat tinggi yang menolak adalah Presiden Joko Widodo yang menyatakan secara pribadi tidak setuju dengan kepulangan mereka. Meski demikian, dia menyatakan keputusan akhir tentang apakah menerima atau menolak kepulangan eks IS akan diambil melalui rapat terbatas (ratas) Presiden dan Kabinet.
Di tengah kehebohan dan kontroversi yang masih hangat, Menko Polhukam Mahfud MD, Selasa (11/2/2020), mengumumkan, pemerintah telah memutuskan tidak akan memulangkan orang asal Indonesia eks IS dari Suriah dan Turki atau tempat lain. Anak-anak yang orangtua eks IS ada kemungkinan dipertimbangkan untuk dipulangkan. Keputusan ini diambil lewat ratas yang dihadiri Presiden Jokowi.
Menko Polhukam tidak menjelaskan rinci latar belakang keputusan itu. Dia hanya menyatakan, pemerintah tidak ingin eks IS menjadi ”virus” bagi warga Indonesia lainnya. ”Keputusan rapat tadi, pemerintah dan negara harus memberi rasa aman dari teroris dan virus-virus baru, terhadap 267 juta rakyat Indonesia. Kalau terrorist foreign fighter pulang, itu bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat yang 267 juta itu merasa tidak aman,” ujarnya.
Keputusan pemerintah ini patut diapresiasi. Pada saat yang sama, ketahanan dan kewaspadaan pada aksi terorisme perlu ditingkatkan. Bukan tidak mungkin ada aksi pembalasan dari franchise IS Indonesia atas keputusan pemerintah yang membuat orang-orang eks IS jaringan mereka tidak bisa kembali menjadi WNI.