Kursi dan Anarki di Kongres PAN
Aksi saling lempar kursi yang terjadi saat Kongres PAN terekam dalam sejumlah video yang kemudian tersebar cepat di ruang maya. PAN harus segera berbenah untuk mengembalikan marwah demokrasi dan amanat konstituen.
Kekisruhan yang terjadi dalam sebuah kongres partai politik besar di Indonesia sebenarnya belum pernah terjadi pasca-Pemilu 2019. Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi satu-satunya partai yang mempertontonkan itu ke ranah publik.
Pasca-Pemilu 2019, sudah ada empat partai politik besar yang mengadakan pemilihan ketua umum. Dalam setiap penyelenggaraan kongres, keempat partai tersebut menyepakati agenda lima tahunan, termasuk melanjutkan kepemimpinannya.
Keempatnya ialah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Nasional Demokrasi (Nasdem).
Di PDI-P, Megawati Soekarnoputri kembali melanjutkan jabatan Ketua Umum yang sudah dijalani sejak 1993. PKB hampir sama, Muhaimin Iskandar melanjutkan periode keempat sejak 2005. Golkar sedikit berbeda, sosok Airlangga Hartanto baru memulai periode keduanya sampai 2024. Sementara Nasdem, belum ada yang menandingi sosok Surya Paloh sebagai nakhoda partai yang didirikannya sejak 2011.
Jika melihat sekilas, para ketua umum yang terpilih adalah sosok yang memiliki peran sangat penting saat ini di partai mereka. Selain itu, keempat partai politik itu menggariskan benang merah yang sama. Semua ketua umum terpilih secara aklamasi.
Proses aklamasi memang lumrah terjadi dalam praktik demokrasi. Prinsip yang dipegang dalam aklamasi haruslah jelas: tidak ada paksaan, baik terhadap peserta maupun utusan, serta terhadap kandidat ketua umum.
Selanjutnya, publik akan melihat dan menilai, apakah aklamasi yang terjadi selama ini bergantung pada pilihan bebas partai dan kader atau didominasi pihak yang berkepentingan dan berpengaruh besar dalam partai tersebut?
Aklamasi vs lempar kursi
Terlepas dari dinamika aklamasi, PAN menjadi partai yang mengubah tren sepakat dalam kongres partai yang terjadi belakangan. Bukannya tidak pernah, dalam catatan Litbang Kompas, PAN pernah menentukan ketua umum secara aklamasi pada Kongres III. Meski demikian, proses aklamasi saat itu berjalan dengan canggung.
Di sanalah sesungguhnya bibit pertikaian internal partai sudah dapat terendus. Kongres III yang diselenggarakan di Batam yang dibuka pada 7 Januari 2010, menampilkan dua calon ketua umum, yakni Hatta Rajasa dan Drajad Wibowo. Harian Kompas merekam peristiwa berjalannya kongres lewat artikel berjudul, ”Kongres III PAN: Masa Krisis PAN Belum Berakhir” (Kompas 11/1/2010).
Dalam artikel tersebut, Kompas mencatat bahwa kedua kandidat ketua umum sempat memaparkan visi-misi dan disambung dengan suasana kompetisi di antara keduanya. Sejurus kemudian, Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN Amien Rais memberikan sambutan dan disusul dengan terpilihnya Hatta sebagai Ketua Umum PAN. Demikianlah, Hatta Rajasa terpilih secara aklamasi dalam sejarah Kongres PAN.
Tindakan anomia dan anarki juga tidak selalu menunjukkan wajahnya yang buruk.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Kongres PAN I, II, IV, maupun V. Semua ketua umum terpilih melalui pemungutan suara. Khususnya di Kongres V ini, Zulkifli Hasan terpilih untuk menjalani periode keduanya setelah menang dengan perolehan 331 suara. Perolehan Zulkifli mengungguli Mulfachri Harahap (225 suara) dan Drajad Wibowo (6 suara).
Perjalanan terpilihnya Zulkifli Hasan pada Kongres IV di Nusa Dua, Bali, pada Maret 2015 juga diwarnai aksi lempar kursi. Jadi aksi lempar kursi pada Kongres kemarin bukan yang pertama. Kericuhan pada 10 Februari 2020 lalu adalah aksi lempar kursi yang kedua kali menyusul Kongres IV pada 2015.
Kala itu kericuhan terjadi dalam kongres, sebanyak 10 kursi melayang karena dilempar oleh para peserta. Salah seorang pengurus DPD PAN Kabupaten Karo, Sumatera Utara, terluka kepalanya karena terkena lemparan kursi saat pembahasan tata tertib Kongres.
Selang lima tahun kemudian, aksi lempar kursi ini terulang. Hanya partai dan para kader yang mengetahui motif sesungguhnya pemicu kejadian ini, sementara publik hanya bisa menduga-duga. Alasan yang mungkin memadai sejauh ini adalah adanya dugaan penyusup dalam kongres dan perbedaan yang terjadi di internal partai terkait kubu pendukung calon ketua umum.
Anarki demokrasi
Kejadian kisruh di dalam dan luar ruang kongres ini tentu menjadi tontonan yang kurang baik di mata publik. Topik tentang ”Partai Matahari” ini pun langsung menjadi pembicaraan hangat warganet di platform Twitter hingga Rabu (12/2/2020) pagi.
Munculnya aksi lempar kursi dalam momen demokrasi tersebut, setidaknya dapat dilihat dalam dua aspek filsafat politik. Pertama dalam kerangka kebebasan demokrasi serta situasi anomia.
Melalui artikel ”Anarki dalam Demokrasi” dalam majalah BASIS (No 03-04/Th 61/2012), Setyo Wibowo menjelaskan demokratis dekat dengan prinsip kebebasan dan dapat berujung pada anarkisme. Lebih lanjut diuraikan, dalam demokrasi ada istilah anomia (A-nomos: tanpa hukum) yang merujuk pada situasi ketidakjelasan hukum.
Dalam situasi itu, masyarakat (sekelompok individu) masuk ke situasi ”tanpa prinsip dan tanpa komandan”. Tepat di situlah muncul anarkis (An-arkhe: tanpa prinsip atau komando) yang berujung kekacauan, chaos.
Konsep anomia dan anarki tergambar dalam aksi saling lempar kursi para peserta kongres PAN. Kendati menjelang kongres situasi sudah memanas, situasi mendidih saat pembahasan tata tertib persidangan di Hotel Claro, Kendari. Merujuk pada konsep anomia, sebagian peserta sudah mulai mengabaikan aturan yang hendak dibacakan dan disepakati bersama.
Aturan rapat pleno saat itu dinegasi oleh sejumlah pihak sehingga hukum konsensus tidak dapat dijalankan. Situasi inilah yang kemudian beralih cepat menjadi anarki. Kejadian ini sejalan dengan kekosongan sosok di tubuh partai yang dapat memberikan komando atau prinsip di tengah kekacauan tengah hari itu.
Berbenah
Dalam konteks demokrasi, sebenarnya paham anarkisme perlu dipahami dan diletakkan sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri. Ia menjadi bagian dari nilai kebebasan.
Artinya, dalam hidup bermasyarakat, baik anomia dan anarki dapat muncul secara halus atau tidak kentara dalam tindakan sehari-hari. Misalnya, pengemudi yang melanggar rambu lalu lintas, penyeberang jalan yang tiba-tiba melintas di jalan raya, pedagang kaki lima di trotoar, dan sebagainya.
Untuk itu, aktor demokrasi juga harus menyadari batasan-batasan kebebasan dalam kerangka etika demokrasi. Tujuannya, agar tindakan tersebut tidak malah melanggar nilai demokrasi, seperti merugikan kepentingan orang lain atau masyarakat luas. Intinya, kebebasan juga menuntut adanya tanggung jawab pelaku demokrasi.
Tindakan anomia dan anarki juga tidak selalu menunjukkan wajahnya yang buruk. Untuk tujuan mengembalikan roh demokrasi rakyat, tindakan anomia dapat menghasilkan perubahan besar dalam sejarah demokrasi. Misalnya aksi demonstrasi pada Mei 1998 yang telah mengubah jalannya pemerintahan Orde Baru ke era Reformasi.
Sebagai partai yang lahir di masa Reformasi, nilai demokrasi sudah selayaknya menjadi bagian dari dinamika PAN. Atas peristiwa yang sudah disaksikan khalayak publik, PAN harus segera berbenah.
Ini perlu dilakukan untuk membuktikan dinamika politik di tubuh partai saat kongres tidak melenceng dari roh demokrasi. Dalam hal ini, segenap jajaran pengurus partai dan para kadernya perlu segera menepikan kepentingan kelompok dan melihat kembali amanat konstituen.
Berakhirnya kongres tidak serta-merta menyelesaikan konflik internal partai dan citra di hadapan pendukungnya. Namun, sebagai partai yang menorehkan sejarah di masa lalu, PAN perlu kembali ke rahim reformasi.
Menyerap semangat demokrasi dan menerapkannya mulai dari dalam menjadi langkah awal untuk memperbaiki diri. Para pendukung tentu menunggu PAN dapat kembali memperjuangkan cita-cita reformasi seperti matahari dalam simbol partai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?