Separuh dari Populasi Global Anak Kekurangan Zat Gizi Mikro
›
Separuh dari Populasi Global...
Iklan
Separuh dari Populasi Global Anak Kekurangan Zat Gizi Mikro
Setengah dari populasi global anak mengalami malnutrisi. Persoalan gizi itu bisa dialami siapa pun, termasuk anak-anak dari keluarga dengan ekonomi baik dan terdidik.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
STOCKHOLM, KOMPAS — Malnutrisi merupakan persoalan global yang dihadapi semua negara. Masalah ini bisa dialami siapa pun, termasuk anak-anak dari keluarga dengan ekonomi baik dan terdidik. Konsumsi makanan bergizi seimbang bisa menjadi upaya mencegah malnutrisi.
Luise Marino, dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Universitas Southampton, Inggris, dalam Global Growth Summit Ke-4 di Stockholm, Swedia, Rabu (12/2/2020), mengatakan, zat gizi mikro berperan memproduksi enzim, hormon, dan zat penting lain dalam tumbuh kembang anak. ”Karena jumlahnya kecil, saat tak tercukupi bisa berdampak parah,” katanya.
Saat ini, separuh dari populasi anak di seluruh dunia mengalami kekurangan minimal satu zat gizi mikro. Jenis kekurangan zat gizi mikro yang paling banyak ditemui adalah kekurangan zink atau seng (Zn), besi (Fe), yodium (I), folat, dan vitamin A.
Zink diperlukan untuk memersepsi rasa, mereplikasi sel, penyembuhan luka, dan daya tahan tubuh. Sementara besi berguna untuk mendistribusikan oksigen dalam sel darah merah dan otot. Yodium berfungsi mengatur pertumbuhan dan kecepatan metabolisme tubuh, folat penting untuk pembentukan sel baru, serta vitamin A berperan membantu penglihatan, mendukung daya tahan tubuh, kesehatan kulit, dan kesehatan membran usus.
Malnutrisi zat gizi mikro berdampak sama buruknya dengan berat badan rendah akibat kekurangan energi maupun berat badan berlebih akibat kelebihan energi. Persoalan itu bisa terjadi pada siapa pun tanpa memandang tingkat ekonomi, pendidikan, maupun tempat tinggalnya. Malnutrisi pada ibu hamil dan anak balita bisa memicu terjadinya tengkes (stunting).
Dalam jangka pendek, lanjut Marino, malnutrisi membuat seseorang mudah terkena infeksi, metabolik tubuh buruk, penyembuhan luka dan pemulihan pascaoperasi lambat, hingga meningkatkan lama rawat inap di ruang perawatan intensif rumah sakit.
Sementara dalam jangka panjang, khususnya pada anak dengan tengkes, mereka menjadi lebih mudah gemuk saat dewasa, terganggunya pertumbuhan fisik dan kognitif, kondisi kesehatannya buruk, hingga mengurangi produktivitas.
Malnutrisi membuat 1,9 miliar orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun di dunia mengalami kelebihan berat badan dan 600 juta orang di antaranya mengalami obesitas. Di sisi lain, ada 462 juta orang dewasa dengan berat badan kurang dan 264 juta perempuan usia produktif kekurangan zat besi.
Penderita malnutrisi pada anak tak kalah besar. Ada 156 juta anak balita mengalami tengkes, 42 juta anak balita mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, dan 50 juta anak kurus atau berat badannya tidak sebanding tinggi badannya.
Bisa dicegah
Meski demikian, malnutrisi sebenarnya bisa dicegah. Pemberian makanan dengan gizi seimbang yang memperhatikan kualitas dan kuantitasnya penting. Namun, itu banyak menjadi tantangan orangtua atau pengasuh anak karena banyak anak suka pilih-pilih makanan.
”Anak di mana pun selalu suka pilih-pilih makanan. Itu menuntut orangtua untuk telaten dan tak pernah lelah mengenalkan makanan bergizi kepada anak mereka,” kata Marion Margaret Aw dari Departemen Ilmu Kedokteran Anak, Universitas Nasional Singapura.
Tanpa ada ketekunan dari orangtua atau pengasuh, hal itu akan membuat anak lebih mudah mengalami malnutrisi. Situasi itu umumnya banyak dialami pada anak umur 6 bulan hingga 2 tahun, atau sesaat setelah mereka lepas dari pemberian air susu ibu eksklusif dan baru mengenal makanan padat.
Anak di mana pun selalu suka pilih-pilih makanan. Itu menuntut orangtua untuk telaten dan tak pernah lelah mengenalkan makanan bergizi kepada anak mereka.
Saat anak menolak atau hanya mau makanan jenis tertentu, orangtua perlu terus mengenalkan makanan itu dengan berbagai cara berbeda, termasuk dalam pengolahan maupun penyajian. Makanan yang diperkenalkan juga sebaiknya yang masih memiliki rasa asli. Hal itu harus terus dilakukan berulang-ulang, tidak bisa orangtua menyerah setelah beberapa kali mencoba.
Ketika anak jatuh sakit akibat malnutrisi, mereka membutuhkan perawatan yang tepat. Terapi itu dibutuhkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kesehatan fisik dan kognitif anak meski mutunya tetap akan lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami malnutrisi.
Sebelum terapi, langkah penting yang harus dilakukan, menurut Luise Marino, adalah mengukur berat dan panjang atau tinggi badan anak dengan saksama. Riwayat makan anak juga perlu diketahui. Semua itu diperlukan untuk menentukan status gizi anak secara tepat serta pola dan lama terapi.
Sanja Kolacek dari Departemen Kedokteran Anak, Rumah Sakit Anak Universitas Zagreb, Kroasia, menjelaskan, intervensi nutrisi pada anak penderita masalah malnutrisi amat bergantung pada usia, kondisi kesehatan, pola makan, kemungkinan anak menerima asupan dari mulut, kemampuan tubuhnya menyerap makanan, hingga besaran biaya.
”Setelah terapi, pemantauan terhadap tumbuh kembang anak perlu terus dilakukan,” katanya. Meski semua anjuran terapi dari dokter sudah dilakukan, sering kali anak masih kekurangan zat gizi tertentu. Dengan demikian, saat ditemukan persoalan baru, terapi lanjutan bisa lebih mudah dilakukan hingga menyelamatkan anak dari kondisi yang lebih buruk.