Dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraan yang kian membaik, muncul pertanyaan penting: apakah alokasi anggaran yang besar untuk program penanggulangan kemiskinan masih dibutuhkan?
Oleh
Dharendra Wardhana
·4 menit baca
Data BPS September 2019 yang dilansir awal 2020 kembali menunjukkan tren penurunan angka kemiskinan, menyentuh level terendah sepanjang masa (9,22 persen). Untuk ketiga kali sejak pertama kali survei sosial ekonomi diselenggarakan, kemiskinan dapat ditekan hingga satu digit (di bawah 10 persen).
Laju pendapatan per kapita riil masyarakat Indonesia menurut paritas daya beli internasional juga menunjukkan perkembangan positif. Tak mengherankan Indonesia akan segera mendapatkan status negara berpendapatan menengah-tinggi. Secara perlahan namun pasti, Indonesia terlihat berada di jalur pembangunan yang benar.
Dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraan yang kian membaik, muncul pertanyaan penting: apakah alokasi anggaran yang besar untuk program penanggulangan kemiskinan masih dibutuhkan? Pertanyaan ini sangat valid dan logis. Besaran alokasi anggaran dengan tingkat kemiskinan seharusnya bertolak belakang. Dengan logika ini, sangat masuk akal jika kita mulai mengurangi porsi anggaran penanggulangan kemiskinan ketika persoalan yang dihadapi mulai berkurang intensitasnya.
Secara perlahan namun pasti, Indonesia terlihat berada di jalur pembangunan yang benar.
Namun yang terpenting, apakah logika berpikir tadi sudah benar? Jawabannya mungkin bervariasi. Tulisan ini mengetengahkan alasan masih perlunya perhatian dan anggaran yang memadai.
Alasan pertama, last mile problem (kerak permasalahan). Ringkasnya, serendah apa pun angka kemiskinan dapat diturunkan, persoalan kemiskinan kronis yang tersisa akan sulit ditanggulangi melalui program seperti biasa (business as usual). Persoalan kemiskinan antargenerasi juga hanya dapat dituntaskan melalui pemutusan rantai kemiskinan dalam jangka menengah dan panjang. Pendekatan bersifat karitatif (charity based) dikhawatirkan hanya akan mengobati, tetapi tak menyembuhkan, dan dikhawatirkan berisiko memunculkan ketergantungan masyarakat pada bantuan dari pemerintah.
Alasan kedua, sekalipun isu kemiskinan dapat diatasi, secara normatif kita—pengambil kebijakan, politisi, masyarakat—senantiasa berharap (dan berupaya) meningkatkan kesejahteraan. Kondisi saat ini menunjukkan sebagian besar kelompok kelas menengah kita sebenarnya masih dalam kondisi kerentanan kronis dan belum sepenuhnya dikatakan produktif.
Tantangan terbesar adalah peningkatan kesejahteraan di kawasan Indonesia bagian timur, di wilayah perdesaan, dan di daerah terpencil, terdepan, terluar (3T) yang perlu penanganan dan kebijakan afirmasi khusus.
Segmen masyarakat berpendapatan menengah diproyeksikan meningkat tajam. Pada 2010, kelompok ini 45 juta jiwa (sekitar 19 persen populasi). Pada 2045 diperkirakan 254 juta, sekitar 80 persen penduduk. Keberadaan kelompok menengah menjadi strategis dalam menentukan arah perekonomian.
Laporan Bank Dunia akhir Januari 2020 ”Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class” menunjukkan peranan krusial kelompok kelas menengah untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi. Saat ini, 115 juta penduduk (45 persen) dikategorikan aspiring middle class. Mereka sudah terlepas dari kategori miskin, tetapi belum sepenuhnya terbebas dari kerentanan. Sementara kelompok kelas menengah yang sudah mapan saat ini baru 52 juta jiwa (seperlima populasi).
Kelas menengah rentan
Segmen kelas menengah, khususnya kohor milenial cenderung lebih kritis terhadap kualitas layanan publik (sering disebut professional complainer). Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan menjadi tidak hanya perluasan penjangkauan, melainkan juga pemenuhan kualitas.
Di sisi lain, kelas menengah baru ini sesungguhnya juga rentan terhadap guncangan seperti krisis ekonomi, bencana alam, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi informasi. Kelompok aspiring middle class perlu diperhatikan mengingat potensi yang tinggi untuk turun kelas menjadi kelompok miskin.
Kelompok aspiring middle class perlu diperhatikan mengingat potensi yang tinggi untuk turun kelas menjadi kelompok miskin.
Kerentanan timbul akibat sifat dinamis perubahan standar hidup dan kemampuan adaptasi mereka terhadap perubahan itu. Glewwe dan Hall (2018) membagi dua sumber kerentanan, pertama kebijakan (policy-induced) oleh pemerintah dan kedua pasar (market-induced) yang timbul akibat oleh perubahan sosial ekonomi.
Kebijakan penanggulangan kemiskinan dan upaya pemeliharaan kesejahteraan bagi kelompok rentan (precariat) telah dirintis sejak lama di Indonesia. Namun, desain dan implementasi sistem perlindungan sosial senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman. Ke depan, transformasi kebijakan secara lebih luas mutlak perlu mengingat hubungan kerja akan bersifat lebih cair meninggalkan kontrak alih daya (outsourcing) menuju kemitraan lepas (gig economy) yang cenderung berkarakter informal.
Antisipasi atas fenomena disrupsi teknologi meniscayakan adanya sebagian pekerjaan tergantikan akibat otomasi. Pada saat yang sama, Indonesia juga tengah menyambut era bonus demografi ditandai meningkatnya segmen usia produktif. Hasil SUPAS 2015 menunjukkan ”bonus demografi” akan selesai lebih cepat dari prakiraan dan beberapa wilayah tak akan menikmati periode ini.
Antisipasi atas fenomena disrupsi teknologi meniscayakan adanya sebagian pekerjaan tergantikan akibat otomasi.
Kendala klasik seperti keterbatasan anggaran seharusnya dapat diatasi, salah satunya melalui inovasi pembiayaan dan sinkronisasi sumber dana filantrofi. Perlu dikenalkan dan dicoba mekanisme baru seperti konsep pengelolaan dana abadi semacam sovereign welfare fund dengan hasil pengembangan yang pemanfaatannya difokuskan ke program-program yang mendukung sistem perlindungan sosial. Dengan demikian, pembangunan kesejahteraan tak lagi bergantung penganggaran rutin pemerintah.
(Dharendra Wardhana Perencana di Bappenas, Jakarta)