Terlalu Rumit, Persyaratan Kenaikan Honor Guru Honorer Menuai Kritik
›
Terlalu Rumit, Persyaratan...
Iklan
Terlalu Rumit, Persyaratan Kenaikan Honor Guru Honorer Menuai Kritik
Kerumitan syarat penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah untuk pembayaran gaji guru honorer. Jika ketentuan itu dipaksakan, akan muncul lagi praktik kepala sekolah memungut iuran dari orang tua murid
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kerumitan syarat memperoleh fasilitas pembayaran gaji guru honorer menuai kritik dari berbagai kalangan. Kelompok guru menilai persyaratan yang ditetapkan tidak mempertimbangkan realitas.
Berdasarkan lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 8 Tahun 2020, batas maksimal pembayaran gaji guru honorer menjadi 50 persen dari total dana BOS diberikan dengan tiga persyaratan. Ketiga syarat itu yaitu guru honorer tercatat di sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kemendikbud, memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Pendidikan (NUPTK), dan belum memiliki sertifikat pendidik.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim, Kamis (13/2/2020), di Jakarta, mengatakan, masih banyak guru honorer, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta, belum mempunyai NUPTK. Proses pengurusan NUPTK yang harus melalui kerumitan birokrasi menjadi salah satu penyebab.
Sesuai Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 1 Tahun 2018 pasal 5, syarat guru berstatus non pegawai negeri sipil (PNS) memperoleh NUPTK adalah harus punya status keputusan pengangkatan dari kepala dinas pendidikan. Mereka pun wajib bekerja minimal dua tahun di institusi pendidikan dan pengangkatannya pun dapat dibuktikan dengan ketua yayasan atau badan hukum lainnya.
Guru berstatus non pegawai negeri sipil (PNS) memperoleh NUPTK adalah harus punya status keputusan pengangkatan dari kepala dinas pendidikan
Mengutip dashboard Guru dan Tenaga Pendidik (GTK) di laman Kemendikbud, jumlah guru mempunyai NUPTK mencapai sekitar 3.264 juta orang. Sedangkan, guru yang tidak memiliki NUPTK berkisar 1.127 juta orang.
Jumlah guru berstatus ASN saat ini mencapai sekitar 1.786 juta orang, guru/pendidik tidak tetap yayasan 927.428 orang, guru/pendidik tidak tetap provinsi 20.015 orang, guru/pendidik tidak tetap kabupaten/kota 215.467 orang, guru bantu pusat 3.085 orang, dan guru honor sekolah 1,07 juta orang.
"Sekolah negeri ataupun swasta di wilayah terluar dan pinggiran umumnya banyak memiliki guru honorer belum memiliki NUPTK. Sekolah dengan kondisi seperti itu juga mengandalkan dana BOS untuk operasional," ujar dia.
Substansi persyaratan wajib lain yang dikritik adalah belum mempunyai sertifikat pendidik. Satriwan mengatakan, di lapangan, sejumlah guru honorer telah mengantongi sertifikat pendidik. Jika ketentuan itu dipaksakan, dia memandang akan muncul potensi praktik kepala sekolah memungut iuran dari orangtua murid untuk membayar gaji guru honorer.
Berangkat dari potensi masalah tersebut, dia mengatakan, FSGI menyarankan agar pemerintah meneruskan kebijakan pengangkatan status guru honorer menjadi aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) melalui mekanisme seleksi. Hanya saja, dia berharap agar guru honorer yang lulus seleksi P3K ataupun ASN segera diangkat dan menerima surat keputusan pengangkatan.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim juga mempunyai pandangan senada. Dia mengkhawatirkan potensi kekurangan guru ketika sejumlah sekolah memiliki guru honorer tidak memiliki NUPTK dan tidak terdaftar di Dapodik, lalu mereka dikeluarkan karena tak bisa memenuhi persyaratan sesuai Permendikbud No 8/2020.
"Atau, pilihan lainnya kepala sekolah dengan terpaksa tetap mempekerjakan guru-guru yang tidak memiliki NUPTK, lalu mereka akan dihitung mengajar 40 jam per minggu. Padahal, mereka sesungguhnya mengajar hanya berkisar 8 hingga 24 jam per minggu," ujar dia.
Muhammad mengemukakan, permasalahan implementasi dana BOS selama ini adalah 85 persen digunakan untuk operasional sekolah dan hanya 15 persen yang dipakai membayar guru honorer. Akan tetapi, ketika angka 15 persen tersebut digeser menjadi 50 persen untuk membayar gaji guru honorer, maka kekhawatirannya adalah porsi 85 persen akan bergeser.
Koordinator Wilayah Forum Honorer Kategori 2 (K2) Indonesia DKI Jakarta Nurbaiti berpendapat, persyaratan menerima gaji honorer seperti tertuang dalam Permendikbud No 8/2020 dinilai tidak adil. Forum menyarankan agar dibuat persyaratan yang memungkinkan semua guru honorer bisa mengakses, tetapi dengan besaran bertingkat. Misalnya, guru honorer bekerja di bawah lima tahun memperoleh batas pembayaran 10 persen, bekerja 5 - 10 tahun mendapat 15 persen, dan bekerja di atas 10 tahun memperoleh 25 persen.
Kepala Sekolah SMA Negeri 10 Bandung Ade Suryaman, saat dihubungi terpisah, menyebutkan, jumlah guru dan tenaga administrasi sekolah non ASN mencapai 52 orang. Besaran honor mereka disesuaikan berdasarkan peraturan dan kebijakan dinas pendidikan setempat.
"Keberadaan Permendikbud No 8/2020 diharapkan mengurangi beban anggaran untuk honor," katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Harris Iskandar menegaskan, keputusan pemerintah menaikkan batas maksimal pembayaran gaji guru honorer menjadi 50 persen dari total dana BOS telah dikaji secara cermat. Hingga sekarang, solusi final untuk mengatasi persoalan kesejahteraan guru honorer belum keluar. Sementara saat bersamaan, kegiatan belajar-mengajar terus berjalan.
"Anak-anak tidak mungkin mendapat pembelajaran bagus kalau upah guru belum setara upah minimum regional," ujar dia.
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menekankan bahwa keputusan pemerintah menaikkan batas maksimal pembayaran gaji guru honorer menjadi 50 persen dari total dana BOS bukan kebijakan alokasi. Keputusan itu harus dilihat sebagai kebijakan pemerintah pusat yang memberikan diskresi kepada kepala sekolah untuk mengelola dana BOS sesuai kebutuhan.
Dia meyakini, kepala sekolah lebih mengetahui kondisi nyata guru honorer dibanding dinas pendidikan, apalagi pemerintah pusat. Dia mengakui bahwa ada praktik kecurangan saat pengangkatan guru honorer menjadi PNS atau P3K. Akan tetapi, dia percaya lebih banyak realitas positif yang dijalani oleh guru honorer.
Nadiem mengatakan, dalam 100 hari kepemimpinannya, Kemendikbud dibawa untuk "memerdekakan" ekosistem belajar-mengajar, baru kemudian masuk ke perbaikan ke sumber daya manusia. Alasannya, masuk dan merumuskan kebijakan langsung ke sumber daya manusia membutuhkan waktu lebih panjang.
"Arenanya dulu disehatkan, baru kami memasukkan sumber daya manusia dalam penyusunan kebijakan baru berikutnya. Kami harus benar-benar merumuskan secara matang langkah untuk perbaikan kualitas guru dan penyempurnaan kurikulum. Oleh karena itu, kami tidak bisa memburu-buru mengeluarkan kebijakan," ujar Nadiem.