Perempuan Masih Rentan Jadi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
›
Perempuan Masih Rentan Jadi...
Iklan
Perempuan Masih Rentan Jadi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Perempuan korban kekerasan berjuang sendiri untuk keluar dari lingkaran kekerasan hingga proses pemulihan. Dari sisi regulasi memang ada undang-undang, tapi ternyata itu tidak cukup.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati sejak 15 tahun lalu Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, hingga kini situasi perempuan tidak banyak berubah. Kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi momok bagi perempuan, termasuk perempuan pekerja/buruh. Selain karena masih kuatnya budaya patriarki, kehadiran undang-undang tersebut belum banyak diketahui masyarakat.
Kendati bekerja, sejumlah perempuan buruh yang bekerja di pabrik garmen dan sejenisnya mengalami berbagai kekerasan, mulai dari penganiayaan dan siksaan dalam bentuk fisik, psikologis/emosional, verbal, seksual, hingga penganiayaan, penelantaran ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Selain itu, tindakan pembatasan dan pelarangan (pengekangan, ancaman, dan isolasi) untuk melakukan interaksi dan kegiatan sosial.
Tidak hanya di ruang domestik, perempuan buruh juga mengalami kekerasan di ruang publik dan tempat kerja, terutama ketika pasangan suami-istri bekerja di tempat yang sama. Di tempat bekerja, perempuan buruh sering mengalami kekerasan verbal dan fisik. Bahkan, ketika sudah bercerai, perempuan pekerja masih mendapati kekerasan dari mantan suaminya.
Hasil penelitian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ”Kekerasan Sistemik yang Melanggengkan Penaklukan Perempuan” Refleksi 15 Tahun UU Penghapusan KDRT oleh Perempuan Mahardhika diluncurkan, Kamis (13/2/2020), di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Penelitian yang bertujuan meningkatkan perlindungan bagi perempuan pekerja (perempuan buruh) dilaksanakan atas dukungan Mondiaal FNV, Belanda.
Jadi, kelihatan sekali dari penelitian ini, kekerasan di rumah erat kaitannya dengan pekerjaan di luar rumah.
Vivi Widyawati, Koordinator Program Penelitian Perempuan Mahardika, dan Karolina L Dalimunthe, Peneliti Perempuan Mahardika, memaparkan penelitian berdasarkan pengalaman KDRT yang dialami 26 narasumber perempuan buruh.
Karolina mencontohkan penganiayaan dan siksaan fisik yang dialami perempuan buruh dari pasanganya, seperti dipukul, ditonjok, ditampar, dicekik, diseret, ditendang, dibanting, dibentur-benturkan kepala, diinjak, dijambak, bahkan dipukul dengan menggunakan berbagai benda, bahkan sampai disiram dengan zat cair, seperti air atau minyak panas, dibekap bantal hingga tidak bisa bernapas.
”Selain berbagai kekerasan yang dialami, ada juga tambahan, yakni sabotase atau dilarang bekerja dan sebagainya. Ini dilakukan suami, bahkan yang sudah bukan suami, melalui bentuk teror,” kata Karolina.
Adapun dampak KDRT yang dirasakan tidaklah melulu dampak personal, tetapi terbawa di lingkungan rumah dan kerja. Di tempat kerja, perempuan pekerja tidak hadir bekerja, terlambat, hadir tetapi kurang mampu bekerja, lambat, dan produktivitas menurun, kehilangan pekerjaan, dan berhenti bekerja.
Penyebab KDRT karena beberapa faktor, intraindividual, yaitu faktor karakteristik, tipologi, dan kebiasaan suami yang khas, juga kekerasan muncul sebagai bentuk penyelesaian konflik dalam keluarga. ”Kekerasan pada perempuan juga terkait dengan masih kuatnya patriarki di masyarakat dengan adanya budaya yang menyetujui, menginternalisasikan, dan menyosialisasikan nilai-nilai yang bersifat subordinat dari peran dan status perempuan,” kata Karolina.
Vivi dan Karolina mengungkapkan, dari penelitian tersebut, tergambar jelas betapa korban KDRT berjuang sendiri untuk keluar dari lingkaran kekerasan yang dialami hingga proses pemulihan. Dari sisi regulasi memang sudah ada, seperti UU PKDRT, tapi hal itu tidak cukup karena pengetahuan masyarakat sangat minim, bukan hanya soal UU, melainkan pengertian KDRT sendiri belum dipahami.
”Jadi kelihatan sekali dari penelitian ini, kekerasan di rumah erat kaitannya dengan pekerjaan di luar rumah, seperti di pabrik. Karena korban bekerja dalam keadaan luka, tidak sehat fisik dan psikologi, tidak bisa kerja, dampaknya di pekerjaan. Cengkeraman KDRT sangat kuat, pendidikan yang tinggi, ataupun mandiri secara ekonomi, tidak menjamin perempuan lepas dari KDRT. Para korban merasa keutuhan rumah tangga adalah tanggung jawab yang harus dijaga,” kata Vivi.
Dari penelitian tersebut, menurut Vivi dan Karolina, menunjukkan rumah dan tempat kerja merupakan dua lokus kehidupan perempuan buruh sebagai tempat sebagian besar kehidupan mereka dihabiskan.
Karena itu, kekerasan yang dialami di rumah tidak bisa lagi dianggap sebagai persoalan yang terpisah dari tempat kerja demikian pula sebaliknya. Itu berarti, menangani persoalan KDRT tidak bisa dilihat dari perspektif rumah saja, tetapi tempat kerja penting dimasukkan dalam skema pencegahan, perlindungan dan pemulihan buruh perempuan agar buruh perempuan korban KDRT mendapat jaminan atas keberlanjutan kerja dan keselamatan dirinya.
Perlu sosialisasi masif
Karena itu, sosialisasi secara masif dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang KDRT dan UU menjadi salah satu rekomendasi penelitian tersebut.
Untuk perusahaan juga diminta agar mengakui KDRT sebagai kekerasan yang berdampak pada pekerjaan, keselamatan, kesehatan buruh perempuan, dan tidak dapat ditolerir. Selain itu, perusahan perlu memasukkan KDRT dalam skema perlindungan buruh perempuan yang tertuang dalam peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.
Begitu juga dengan Serikat Buruh, direkomendasi untuk mengakui KDRT sebagai masalah yang harus ikut ditangani oleh Serikat Buruh karena KDRT berdampak terhadap pekerjaan.
Peluncuran hasil penelitian dirangkaikan dengan diskusi publik dengan pembicara Ali Khasan (Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan KDRT di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Ratna Batara Munti, anggota LBH APIK, dan Andy Yentriyani (Komnas Perempuan).
”Penelitian ini memperlihatkan kasatmata bahwa situasi KDRT yang dialami perempuan sangat jauh dari yang diharapkan. Berarti tidak ada sosialisasi dan penanganan kasus KDRT,” kata Ratna.
Ali Khasan menyatakan, tidak hanya KDRT, tetapi juga semua kekerasan, termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan KPPPA dan BPS tahun 2016 menunjukkan, KDRT terhadap perempuan buruh adalah kekerasan fisik, seksual, psikis, dan penelantaran rumah tangga.
”Isu KDRT merupakan cross-cutting issues yang penyelesaian perlu melibatkan berbagai sektor, dan upaya mencari solusinya perlu pertimbangkan berbagai aspek,” ujar Ali seraya menyebutkan program penghapusan KDRT meliputi pencegahan, penanganan, dan pemberdayaan.