Nelayan lokal marah dengan praktik kejahatan perikanan di Kepulauan Aru karena mereka masih memegang teguh ketentuan adat di mana wilayah adat juga berlaku di perairan.
Oleh
Frans Pati Herin
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh kapal ikan tak berizin dari daerah lain membuat nelayan lokal yang melaut di Arafura geram. Keterbatasan patroli dan pengawasan membuat celah pelanggaran berupa alih muatan dan penjualan bahan bakar minyak bersubsidi terbuka lebar.
Kegeraman nelayan salah satunya diekspresikan dengan mengajak anggota polisi setempat untuk menggerebek jual- beli BBM di tengah laut. Namun, upaya itu gagal dan kapal kabur, diduga karena informasi penggerebekan bocor. ”Sekarang ini bongkar muat dan transaksi bahan bakar di atas 30 mil (55 km) dari pesisir.
Jauh sekali sehingga kami tidak bisa ke sana lagi,” kata Hardy (50), nelayan asal Desa Gomo- gomo, Kecamatan Aru Selatan Timur, Kabupaten Kepulauan Aru, saat dihubungi, Kamis (13/2/2020). Nelayan setempat mengajak anggota polisi untuk menggerebek karena sebelumnya mereka pernah mendapati dua kapal dari pantai utara Pulau Jawa yang membongkar muat di tengah laut.
Kami hanya pakai perahu motor, sementara mereka pakai kapal besar. Tidak bisa terkejar.
Tanpa ada petugas, nelayan menanyakan izin bongkar muat dan pihak kapal tidak bisa menunjukkan. Hardy dan beberapa nelayan setempat meminta pihak kapal menghentikan bongkar muat, tetapi tidak dihiraukan. Dua kapal itu malah kabur. ”Kami hanya pakai perahu motor, sementara mereka pakai kapal besar. Tidak bisa terkejar,” katanya.
Nelayan lokal marah dengan praktik kejahatan perikanan di Kepulauan Aru karena mereka masih memegang teguh ketentuan adat di mana wilayah adat juga berlaku di perairan. Setiap masyarakat pesisir bertanggung jawab menjaga laut. Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, polisi memang memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan. Namun, personel yang bertugas di daerah itu terbatas.
”Kalau ditangkap, harus dibawa ke pos terdekat dan harus dikawal kapal patroli. Di sana tidak ada kapal patroli,” ujarnya. Ia pun mengakui, kehadiran seorang polisi bersama nelayan lokal yang mencoba menggerebek menggunakan perahu motor tidak memberikan efek kejut pada pelaku kejahatan perikanan.
Sementara itu, Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tual Sigit Biantoro, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, sesuai kewenangan, pihaknya hanya mengawasi keluar-masuk ikan di tempat pendaratan. Di Kepulauan Aru, proses alih muatan ikan dilakukan di tongkang yang berlabuh 0,5 mil di depan Pelabuhan Perikanan Pantai Dobo.
Meski PSDKP merupakan lembaga yang berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, menurut Sigit, patroli pengamanan dan pengawasan di tengah laut bukan kewenangan pihaknya. Seperti diberitakan sebelumnya, titik yang biasa dijadikan tempat alih muatan dan jual- beli bahan bakar minyak secara ilegal meliputi sekitar Pulau Eno, Pulau Karang, Pulau Koltubai Kecil, dan Muara Jambu Air.
Kondisi itu menyebabkan negara berpotensi kehilangan pendapatan (Kompas, 13/2). Total kapal yang terdaftar melakukan penangkapan di Laut Arafura 1.289 buah. Dalam hitungan kasar, jika setiap bulan satu kapal paling kurang menangkap 50 ton ikan, maka total ikan yang ditangkap keseluruhan kapal mencapai 64.450 ton ikan.
Total tangkapan dalam satu tahun 773.400 ton. Jika harga ikan paling murah Rp 8.000 per kilogram, nilai ikan itu Rp 5,8 triliun. Jika 3 persennya untuk daerah, itu setara Rp 174 miliar per tahun. Ironisnya, Kabupaten Kepulauan Aru pada 2019 hanya mendapat retribusi Rp 27 miliar.