Stabilitas politik yang cenderung menghindari kegaduhan menjadi titik tekan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam empat bulan terakhir. Kritik publik seharusnya jadi masukan.
Oleh
Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
Stabilitas politik dan cenderung menghindari kegaduhan menjadi titik tekan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam empat bulan terakhir. Kritik publik seharusnya jadi masukan.
Memasuki periode kedua pemerintahannya, Presiden Joko Widodo mengawali dengan menguasai dukungan partai di parlemen. Masuknya Partai Gerindra ke dalam jajaran koalisi partai politik pendukung pemerintah membuat Presiden didukung mayoritas kursi di parlemen atau mencapai 74,26 persen.
Penguasaan dukungan di parlemen mengulang strategi politik Presiden Jokowi di periode pemerintahan pertamanya. Melalui penguasaan di parlemen itu, stabilitas politik ingin dicapai. Selain itu, kebijakan pemerintah diharapkan bisa mulus di parlemen.
Apalagi, tak sedikit rencana besar Presiden Jokowi yang butuh persetujuan DPR. Di antaranya, tiga rancangan undang-undang sapu jagat atau omnibus law, termasuk salah satunya terkait rencana pemindahan ibu kota negara.
Kepala Pemberitaan Korporat Tempo Media Arif Zulkifli, dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Wajah Kekuasaan dalam Teropong Media” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (12/2/2020), mengatakan, sejak rencana itu terlontarkan kemudian digodok pemerintah, kritik publik mewarnai. Yang paling menonjol saat pemerintah merumuskan omnibus law RUU Cipta Kerja. Namun, rencana pemerintah jalan terus.
”Ada satu sindrom yang muncul di pemerintahan Jokowi di periode pertama lalu menguat di periode kedua, yaitu keinginan untuk menjalankan politik dan demokrasi tanpa gaduh”
”Ada satu sindrom yang muncul di pemerintahan Jokowi di periode pertama lalu menguat di periode kedua, yaitu keinginan untuk menjalankan politik dan demokrasi tanpa gaduh,” ujar Arif.
Dalam diskusi itu, hadir pembicara lain di antaranya Pemimpin Redaksi Berita Satu Primus Dorimulu, Pemimpin Redaksi Tirto.id A Sapto Anggoro, Pemimpin Redaksi Media Indonesia Usman Kansong, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Nezar Patria, dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Dany Amrul Ichdan.
Arif menyayangkan perumusan kebijakan yang mengabaikan kritik publik dan partisipasi publik tersebut. Padahal, menurut dia, setiap proses perumusan kebijakan publik selalu ada ruang untuk salah. Oleh karena itu, kegaduhan seharusnya dipandang sebagai proses dinamika politik, bukan keadaan yang dimusuhi.
Nezar Patria pun memaknai masa pemerintahan Jokowi-Amin ini sebagai politik tanpa kegaduhan. ”Padahal, yang paling penting menyelesaikan kegaduhan,” tuturnya.
Di sisi lain, Usman Kansong beranggapan, alasan Presiden menghindari kegaduhan adalah agar ada percepatan dalam perumusan omnibus law Rancangan RUU Cipta Kerja.
Atas dasar itu jugalah, lanjut Usman, alasan Presiden Jokowi menggandeng Partai Gerindra sehingga saat ini memiliki suara mayoritas di parlemen.
”Kalau terjadi kegaduhan, maka jalannya tidak akan smooth. Sementara kita sudah tertinggal cukup jauh, mulai dari aturan yang tumpang tindih dan mengejar ketertinggalan soal ibu kota baru,” ucap Usman.
Gaya pemerintahan
Di tengah situasi itu, Nezar menambahkan, pemerintahan Jokowi-Amin menampakkan wajah penegakan hukum yang cenderung suram. Kegaduhan belum selesai terkait penolakan sejumlah pihak terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi, komitmen penegakan hukum pemerintah pun dipertanyakan. Ini terutama karena kegagalan mengungkap keberadaan calon anggota legislatif DPR dari PDI-Perjuangan, Harun Masiku.
Harun adalah buronan KPK yang diduga memberi suap kepada bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan. Wahyu bersama dua orang lain dijadikan tersangka setelah ditangkap penyidik KPK, awal Januari lalu.
”Ini suatu kemunduran dalam penegakan hukum dan membuat keraguan di publik,” kata Nezar.
Kasus Harun yang berujung pada pencopotan Direktur Jenderal Imigrasi Ronnie Sompie dari jabatannya, menurut Primus Dorimulu, harus menjadi pembelajaran bagi pemerintahan Jokowi-Amin, terutama menteri terkait, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Sebab, keberhasilan pemerintahan Jokowi-Amin tak terlepas dari kinerja dan soliditas para menterinya. Para menteri harus mampu mengejawantahkan visi Jokowi, bukan malah menciptakan kegaduhan.
Sementara itu, Dany Amrul Ichdan menyampaikan, dalam mengelola Indonesia, diperlukan stabilitas politik yang kuat. Stabilitas politik yang kuat pun bukan berarti sentralisasi kekuasaan. Stabilitas politik tetap membuka peluang untuk check and balances.
”Sebetulnya, kalau bicara demokrasi, output daripada demokrasi adalah keterbukaan dan semua pihak bisa beraktualisasi”
”Sebetulnya, kalau bicara demokrasi, output daripada demokrasi adalah keterbukaan dan semua pihak bisa beraktualisasi,” tutur Dany.
Dany mengatakan, omnibus law merupakan niat baik Presiden Joko Widodo untuk melakukan terobosan dalam penyederhanaan birokrasi dan regulasi.
Hal lain yang menjadi fokus Presiden Jokowi, tambah Dany, adalah penguatan badan usaha milik negara (BUMN). Perusahaan-perusahaan negara di bawah BUMN harus memiliki fundamental bisnis yang kuat.
”Untuk sampai ke sana, BUMN harus punya good corporate governance,” ujar Dany.
Pemerintahan Jokowi-Amin dihadapkan pekerjaan rumah yang besar untuk melibatkan publik dalam setiap perumusan kebijakan. Pengabaian kritik publik malah berisiko memundurkan demokrasi dan mendegradasi kepercayaan publik terhadap pemerintahan.