Banyuwangi harus berjuang sendiri mengatasi keterbatasan jangkauan wilayahnya dengan aneka terobosan supaya muncul sebagai ikon baru tata kelola pariwisata.
Oleh
Bambang Setiawan
·5 menit baca
Membentuk ekosistem Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berbasis simbiosis mutualisma adalah terobosan birokrasi yang membuat pariwisata Kabupaten Banyuwangi begitu cepat melesat. Sistem tata kelola yang dibentuk oleh kerja tim yang solid dari semua bidang SKPD menjadikan Banyuwangi pantas menyandang gelar sebagai kabupaten yang memiliki tata kelola pariwisata terbaik di antara semua kabupaten di Indonesia.
Jika daerah lain pada umumnya cukup banyak diuntungkan karena posisinya sebagai kota transit, Banyuwangi harus berjuang sendiri mengatasi keterbatasan jangkauan wilayahnya dengan aneka terobosan yang membuatnya muncul sebagai ikon baru tata kelola pariwisata.
Banyuwangi harus berjuang sendiri mengatasi keterbatasan jangkauan wilayahnya dengan aneka terobosan.
Meskipun fokusnya pada pengembangan pariwisata, yang dibangun bukan semata destinasi yang sudah tersedia secara alami, tetapi semua bidang yang bisa memberi kontribusi kepada tumbuhnya pariwisata. Mereka membangun pariwisata, tetapi bidang garapnya terletak pada semua hal yang mendukung pariwisata.
Prinsipnya, ”Semua Dinas adalah Dinas Pariwisata”, semua bidang harus menciptakan destinasi, semua kegiatan harus menjadi atraksi, harus menarik orang. Jika itu yang dibangun adalah pertanian, yang diprioritaskan adalah pertanian yang mendukung pariwisata. Demikian juga bidang-bidang lain. Kerja sama di antara SKPD adalah kunci yang membuat semua bidang dapat terangkat secara bersamaan.
”Kami bekerja dalam team work, tidak kerja sendiri-sendiri sehingga tidak ada superman di sini. Itu yang mungkin di tempat lain tidak ada. Misalnya Batik Festival yang punya acara adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan, tapi kurator untuk keseniannya diserahkan kepada kami (Dinas Pariwisata) agar semua speknya tertata dengan baik. Meskipun anggarannya dari dinas A, dinas B, C, dan D bisa turut mendukung. Dampaknya, kita membentuk ekosistem SKPD, yaitu team work SKPD. Siapa membuat apa, saling membantu, simbiosis mutualisme,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata M Yanuar Bramuda.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyuwangi Sih Wahyudi memaparkan, mereka bisa berbagi anggaran, cross cutting (lintas sektoral).
”Programnya adalah program saya, tapi target capaiannya di-support oleh bagian-bagian lain. Kepala Bappeda bisa memberi target kepada orang lain yang ada uangnya untuk mencapai target saya yang tidak ada uangnya. Dinas Pariwisata, misalnya, memiliki target 20 destinasi wisata baru tiap tahun, tetapi bukan hanya Dinas Pariwisata yang mengerjakan, melainkan didukung pula oleh Dinas Pengairan, Dinas Pertanian, dan lain-lain,” papar Wahyudi.
Misalnya, Dinas Pertanian mengembangkan area pembibitan dan peternakan, tetapi dengan sentuhan dari Dinas Pariwisata, maka program itu menjadi agrowisata. Memang programnya milik Dinas Pertanian, tetapi hasilnya bisa untuk memenuhi target pariwisata dan target lainnya.
”Program pembibitan tercapai, kunjungan wisatawan tercapai, dan pemberdayaan masyarakat juga tercapai. Satu kali belanja, efeknya bisa tiga kali. Ini yang membuat (biaya pembangunan) efisien dan murah,” kata Wahyudi.
Kerja sama antar-SKPD dapat maksimal dilakukan untuk pengembangan-pengembangan di area yang menjadi wilayah kewenangan pemerintah kabupaten. Namun, upaya tersebut terkadang sulit dilakukan jika wilayah yang akan dikembangkan menjadi kewenangan instansi vertikal lainnya. Banyaknya wilayah yang dikuasai oleh instansi-instansi tertentu yang tidak bisa dikelola langsung oleh pemda menjadi kendala utama pengembangan pariwisata.
Kerja sama antar-SKPD maksimal dilakukan untuk pengembangan-pengembangan area yang menjadi wilayah kewenangan pemerintah kabupaten.
Misalnya, Taman Nasional Alas Purwo menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan, Gunung Ijen oleh Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), Taman Nasional Meru Betiri oleh Kementerian Kehutanan, Taman Nasional Baluran punyanya Departemen Kehutanan, Pantai Pulau Merah (Perum Perhutani), Sukamade (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dan Pulau Merah (Perum Perhutani).
”Repotnya, alam ini bukan milik kita. Sebagian milik perhutani, sebagian punyanya Taman Nasional, ada pantai punyanya Angkatan Laut, punya Angkatan Darat. Yang punya kita hanya satu, Watu Dodol,” ungkap Asisten Administrasi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Banyuwangi Suyanto Waspo Tondo Wicaksono atau akrab dipanggil Yayan.
Langkah yang kemudian dapat dilakukan adalah menerapkan strategi kemitraan. ”Misalnya wilayah punya Perhutani di Selatan, yaitu Pulau Merah. Kita dekati, maumu apa untuk mendatangkan uang, kita bantu, ya. Nah ketemu, dan dibentuklah Pokdarwis yang merupakan gabungan dari teman-teman desa dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) binaannya Perhutani. Mereka kembangkan, konsepnya dari kita. Hasilnya lalu dibagi, pajak juga dibagi. Demikian juga Gunung Ijen yang punyanya BKSDA. Awalnya kotor, tidak ada tempat transit, kita yang bangun tempat transit di sana, dan jaga kebersihan di sana,” lanjut Yayan.
Hasil dari tim kerja yang efektif memang kemudian terasa, tidak hanya membuat Banyuwangi mendapat tempat di papan atas dalam dunia pariwisata Indonesia, tetapi juga berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Selama delapan tahun belakangan, terjadi peningkatan yang signifikan pada pendapatan per kapita penduduk. Jika pada 2010 pendapatan per kapita penduduk Rp 20,86 juta, pada tahun 2018 menjadi Rp 48,75 juta atau meningkat sebesar 134 persen selama delapan tahun.
Demikian juga pada produk domestik regional bruto (PDRB) terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat sepanjang delapan tahun. Pada 2010, PDRB Kabupaten Banyuwangi masih berada pada angka Rp 32,46 triliun dan mengalami peningkatan 141,78 persen menjadi Rp 78,47 triliun pada 2018.
Implikasi paling nyata tentu pada jumlah kunjungan wisatawan, yang meningkat lebih dari 900 persen selama delapan tahun belakangan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Jika pada 2010 hanya terdapat 491.000 wisatawan domestik yang berkunjung ke Banyuwangi, jumlahnya meningkat menjadi 5,2 juta orang pada 2018. Pun demikian pada jumlah wisatawan asing, meningkat dari hanya 12.505 orang pada 2010, menjadi 127.420 orang pada 2018.
Dalam Indeks Pariwisata (IPI) 2019 yang dibuat Litbang Kompas, posisi Kabupaten Banyuwangi kian terangkat. Pada 2016, ketika IPI pertama dilaksanakan, nama Banyuwangi belum masuk ke jajaran lima besar peringkat daya saing tata kelola pariwisata. Namun, pada IPI 2019 terlihat kabupaten ini telah masuk ke jajaran lima besar.
Banyuwangi dapat bersaing ketat dengan beberapa wilayah lain yang telah lama bergelut dengan pariwisata, bahkan menjadi satu-satunya kabupaten yang masuk ke lima besar bersamaan dengan Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Semarang, dan Kota Denpasar. (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)