Properti Timur Jakarta yang Membuka Mata
Properti mulai dilirik. Koridor timur Jakarta, yang disebut Bekasi, tak sekadar menyandang nama kota industri terbesar. Kebutuhan akan perumahan kini makin ditunjang infrastruktur dan sarana transportasi. Mau investasi?
Perlahan tetapi pasti, pembangunan infrastruktur yang gencar beberapa tahun terakhir mulai berdampak positif. Sisi timur Jakarta kembali memikat. Tak sekadar bagi investasi industri, ”angin segar” investasi properti pun tak kalah menarik.
Obrolan bercanda para pemain properti di aplikasi Whatsapp ini masih membuat tersenyum. Waktu ditawari rumah di kluster perumahan baru seharga hampir Rp 900 juta di daerah Bekasi, temannya menjawab cepat, ”Bekasi? Paspor saya masih Indonesia, Pak.” Ditambah emoticon orang menepuk dahi.
”Memang, tak mudah mengubah image Bekasi supaya banyak orang bangga tinggal di sini. (Padahal) Bekasi dulu bukanlah Bekasi sekarang. Dari setiap sudut, infrastruktur jalan dan alat transportasi semakin cepat disediakan,” kata Irwan Antonius Kaogouw, Estate Department Head Grand Wisata di Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (12/2/2020).
Akses perumahan seluas 1.100 hektar, yang selama ini hanya terdapat di gerbang utara dan barat, bakal ditambah akses gerbang timur yang menghubungkan perumahan ini dengan kawasan industri MM2100. Gerbang timur ini tak jauh dari Jalan Tol JORR II (Cimanggis-Cibitung). Tak heran, menurut Commercial Section Head Grand Wisata Hans Alvadino, kluster terbaru rumah tapak segera diluncurkan dengan target generasi milenial.
Menyisir singkat kawasan di timur Jakarta, ini, warna kepastian juga terlihat di megaproyek Meikarta milik Lippo Group. Pertengahan Januari lalu dipastikan bahwa 22 dari total 28 menara apartemen yang terdapat pada distrik 1 Meikarta sudah berstatus topping off (tutup atap). Februari 2020, enam menara tersisa ditargetkan topping off.
Optimisme juga melingkupi LRT City, apartemen yang dibangun terintegrasi dengan stasiun LRT di Bekasi Timur. Realitas hilangnya waktu akibat kemacetan dan ancaman kesehatan akibat stres menjadi daya tarik untuk memilih apartemen yang terkoneksi dengan transportasi publik.
Memasuki kawasan industri Deltamas, Cikarang, investasi industri lokal dan asing makin berkembang. Dalam lima tahun mendatang, seiring ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi massal, seperti kereta cepat, kawasan ini bakal menjadi kota mandiri.
Stanley W Atmodjo, Direktur Penjualan dan Pemasaran PT Puradelta Lestari Tbk, mengatakan, ketersediaan infrastruktur dan alat transportasi yang memudahkan mobilitas perlu dilengkapi pusat perbelanjaan, sarana pendidikan, dan rumah sakit.
Kereta cepat Jakarta-Bandung ditargetkan beroperasi tahun 2022. Waktu tempuh dari Jakarta ke Stasiun Deltamas 13 menit dan berlanjut ke Bandung butuh 38 menit.
Baca Juga: Progres Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Deltamas memang menjadi salah satu incaran investasi. Aeon Mall dikabarkan sudah siap mulai membangun di atas lahan 20 hektar pada pertengahan 2020. Ini bakal menjadi Aeon Mall terbesar.
”Yang menarik, kebutuhan tempat tinggal. Sewa apartemen seluas 34 meter persegi mencapai Rp 18 juta per bulan dan luas 68 meter persegi bisa Rp 40 juta per bulan. Sementara sewa rumah tapak bisa Rp 100 juta hingga Rp 120 juta per tahun,” kata Remi Mathriqa, Kepala Pengembangan Bisnis PT Puradelta Lestasi Tbk.
Potensi sewa properti itu dipicu, antara lain, para ekspatriat yang bekerja di kawasan ini. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga ekspatriat, kini juga sudah mulai disiapkan sekolah, seperti Cikarang Japanese School dan sekolah Korea.
Sempat fluktuatif
Potret siklus perkembangan properti di daerah timur Jakarta, menurut Indonesia Property Watch (IPW), dalam 20 tahun terakhir terlihat fluktuatif. Ada kenaikan, ada penurunan. Berbagai isu sosial, politik, dan faktor alam turut mewarnai, tetapi para pemain properti memiliki daya tahan.
Fase tahun 1990-1996 digambarkan sebagai era booming properti oleh IPW, tetapi diwarnai sektor perbankan yang terlampau ekspansif dan praktik mark up proyek. Akibatnya, selama tiga tahun berikutnya terjadi penurunan.
Baca Juga: Tutup Atap Meikarta Dilakukan Februari 2020
Terlebih, tahun 1998 krisis keuangan yang dialami Indonesia menyebabkan pasar properti terkena dampak paling parah. Pergolakan politik begitu kuat turut mewarnai kebimbangan pasar maupun kepastian bagi pemain properti.
Setelah krisis berlalu, perlahan-lahan fase pasar properti bangkit kembali hingga tahun 2003. Namun, baru saja merasakan kenaikan signifikan, siklus pasar alamiah cenderung kembali melambat sampai krisis dunia melanda tahun 2008 akibat tingginya harga minyak dan subprime mortgage.
Seiring dengan pulihnya kondisi pascakrisis dunia, fase 2008-2012 menjadi fase kenaikan luar biasa pasar properti yang membuat harga over value. Sayangnya, fase ini disusul dengan pergolakan politik di dalam negeri.
Enam tahun kemudian menjadi fase terberat. Hampir setiap pemain properti menyebutkan, kondisi pasar properti tak lagi seperti era kejayaan tahun 2012. Waktu itu, bagi sebagian pemain properti terasa begitu mudah menawarkan properti. Bahkan, konsumen terlihat memiliki kepercayaan diri untuk ”memarkirkan” kelebihan dananya untuk berinvestasi properti.
Fase terberat itu diwarnai harga properti yang terlalu tinggi disertai dengan isu politik sehingga membuat pasar properti tertahan lama untuk mencari keseimbangan baru. Tahun 2017, situasi politik yang dipicu Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta yang berdampak luas ikut mewarnai pasar properti.
Setahun kemudian, masa tahun politik menjelang pemilihan presiden makin membuat investor bersikap menunggu dan mencermati (wait and see). Sebagian orang gamang untuk berinvestasi meskipun sebagian orang justru meyakini kondisi aman pemilihan presiden tahun 2019 membuat ”angin segar” kenaikan nilai investasi properti.
Semakin kencang
Kajian IPW dalam jangka pendek (tahun 2020-2022) menunjukkan embusan ”angin segar” pasar properti semakin kencang. Pasar properti bakal meningkat cepat setelah terlalu lama tertahan.
Pengamat properti, Ali Tranghanda, dari IPW, saat memaparkan Jakarta Eastern Corridor Market Highlight 2020 di Jakarta, Senin (13/1/2020), langsung membandingkan antara pengembangan properti di koridor barat Jakarta dan timur Jakarta. Potensi pengembangan properti di koridor timur Jakarta, terutama Bekasi, sangat besar dibandingkan wilayah barat Jakarta, seperti Tangerang.
Harga tanah, misalnya, dari pengamatan IPW, harga tanah di Bekasi masih mencapai Rp 5 juta-Rp 12 juta per meter persegi. Relatif lebih rendah dibandingkan koridor barat Jakarta yang sudah lebih dulu dikembangkan, seperti kawasan Alam Sutera, BSD, dan Gading Serpong. Harga tanah di daerah Tangerang ini berkisar Rp 9 juta-Rp 17 juta per meter persegi.
Menurut Ali, tahun 2009 nilai tanah di koridor barat Jakarta sudah kisaran Rp 3,4 juta per meter persegi. Kurun waktu empat tahun, lonjakan harga drastis mencapai Rp 11,01 juta per meter persegi atau naik 54,4 persen per tahun.
Bandingkan koridor timur Jakarta, harga tanah pada 2009 masih Rp 2,3 juta per meter persegi. Dalam empat tahun, naik perlahan mencapai kisaran Rp 3,5 juta per meter persegi atau hanya naik 27,2 persen per tahun.
Sebagai benchmark, selama 2013-2018, nilai tanah di koridor barat rata-rata tetap naik walaupun melambat. Dari kisaran Rp 11,01 juta per meter persegi ke kisaran Rp 11,70 juta per meter persegi. Artinya, kenaikan rata-rata nilai lahan selama 2009-2018 hanya 30,02 persen per tahun.
Jika menilik koridor timur Jakarta, benchmark kenaikan harga tanah selama lima tahun (2013-2018) masih mempunyai potensi cukup besar. Harga tanah tahun 2013 kisaran Rp 3,5 juta per meter persegi menjadi Rp 6,4 juta per meter persegi (2018). Rata-rata kenaikan (2009-2018) mencapai 21,5 persen per tahun.
Peningkatan harga tanah membuat harga unit bangunan ikut melambung. Namun, jika dilihat penjualan tahun 2019, tren penjualan unit berdasarkan wilayah di Tangerang dan sekitarnya pada kuartal kedua sebesar 46,1 persen justru menurun pada kuartal ketiga menjadi 45,2 persen atau minus 0,8 persen.
Sementara tren penjualan di Bekasi pada kuartal kedua (2019) sebesar 24,1 persen naik menjadi 24,3 persen. Kenaikan tertinggi terletak di wilayah Serang-Banten dari 11,5 persen ke 12,8 persen. Tren penjualan di Bogor turun dari 16,5 persen ke 15,9 persen dan Jakarta dari 1,9 persen ke 1,8 persen.
Koridor timur Jakarta dinilai makin memiliki potensi besar yang belum optimal dimanfaatkan oleh pemain properti. Berdasarkan basis ekonomi, sebagai kawasan industri, Kabupaten Bekasi disebut memiliki basis ekonomi industri yang kuat dan terbesar di Asia Tenggara.
Berdasarkan data IPW, Cikarang mampu menyumbang 34,46 persen penanaman modal asing nasional dan 22-45 persen volume ekspor nasional. Beberapa kawasan industri besar di kawasan ini antara lain MM2100, Delta Silicon, EJIP, BIIE, Jababeka, dan Deltamas.
Ali menambahkan, paling tidak ada 10 potensi infrastruktur di koridor timur, yang dari skala kapasitas dan alternatif jenisnya jauh melebihi wilayah lain. Sebagian sudah dioperasikan, sementara sebagian lagi dalam proses pembangunan.
Potensi infrastruktur tersebut adalah Tol Cikampek II layang, jalur kereta dwi-ganda (double-double track)Manggarai-Cikarang, kereta ringan (LRT), Tol Jakarta-Cikampek II Selatan, JORR II Cimanggis-Cibitung, kereta cepat, Pelabuhan Patimban, Bandara Karawang, Kawasan Ekonomi Khusus Bekasi-Karawang-Purwakarta (Bekapur), dan rencana MRT III (Balaraja-Cikarang).
Bagaimana karakter konsumen di koridor timur Jakarta ini? Berbekal data kependudukan, karakteristik penduduk dari level pendapatannya bisa menjadi pintu masuk bagi pemain properti dalam membidik produk properti yang sesuai dengan kocek calon konsumen.
IPW menunjukkan, total penduduk Bekasi 3.246.016 jiwa atau 857.404 keluarga. Mereka tinggal tersebar di 23 kecamatan atau 187 kelurahan. Dari hasil survei, terdapat 607.770 keluarga atau 70,9 persen dari populasi yang merespons penelitian lapangan IPW ini.
Dari komposisi berdasarkan tingkat pendapatan per bulan, pertama kategori rendah, terdapat 16,9 persen keluarga berpenghasilan kurang dari Rp 2,5 juta dan penghasilan Rp 2,5 juta-Rp 4,5 juta sebesar 31,7 persen. Untuk kategori atas, penghasilan Rp 4,5 juta-Rp 7 juta sebesar 8,4 persen, penghasilan Rp 7 juta-Rp 12 juta sebesar 26,3 persen, dan penghasilan di atas Rp 12 juta sebesar 16,7 persen. Jika diakumulasi, potensi pasar dengan penghasilan kategori atas mencapai 51,39 persen atau 159.903 keluarga.
Seiring perjalanan waktu, transformasi kota-kota industri yang semakin lengkap tidak hanya membangun kawasan industri, tetapi juga kelengkapan hunian bagi pekerja, kaum milenial, karyawan, hingga ekspatriat beserta fasilitas komersial dan pendidikan pendukungnya.
Tak dapat menutup mata pula bahwa saat ini kondisi pasar masih dibayangi mismatch. Sebagaimana menjadi catatan IPW dan REI, pengembang harus dapat menyediakan rumah dengan harga terjangkau.
Di samping itu, pengembang juga harus menyediakan ruang terbuka hijau dan daerah resapan untuk meredam dampak polusi dan meminimalisasi citra gersang kawasan industri.