Warga lokal di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, dikabarkan menyita jaring kapal ikan nelayan dari pantai utara Pulau Jawa lantaran melakukan penangkapan di wilayah petuanan adat yang sedang dalam pemulihan atau sasi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Warga lokal di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, dikabarkan berkonflik dengan nelayan dari pantai utara Pulau Jawa. Warga menyita jaring kapal ikan lantaran melakukan penangkapan di wilayah petuanan adat yang sedang dalam masa pemulihan atau disebut sasi. Konflik ini dianggap sebagai puncak ketidakadilan pengelolaan sumber daya perikanan di Laut Arafura.
Mika Ganobal, tokoh pemuda Kabupaten Kepulauan Aru, saat menghubungi Kompas pada Jumat (14/2/2020), mengatakan, warga lokal yang menyita jaring itu berasal dari Desa Gomogomo. Sebelum disita, terjadi adu mulut. Warga lokal mendapati kapal ikan melepas jaring di perairan yang dianggap sebagai wilayah petuanan adat. Pengakuan atas hak di laut sudah menjadi tradisi di wilayah bagian tenggara Maluku.
Kapal ikan melepas jaring di daerah yang di-sasi.
Dalam ketentuan adat, masyarakat lokal memiliki wilayah adat di darat ataupun di laut. Ada pula batasan di antara desa adat. Dalam kurun waktu tertentu, mereka tidak mengambil hasil di laut. Itu sebagai bentuk perlindungan terhadap ekosistem laut yang memerlukan waktu untuk pemulihan setelah hasilnya diambil. Kearifan lokal itu disebut sasi. ”Kapal ikan melepas jaring di daerah yang di-sasi,” kata Mika.
Ia mengatakan, saat ini sedang terjadi negosiasi antara pihak kapal dan warga setempat. Pihak kapal meminta warga lokal menyerahkan jaring, tetapi ditolak. Alasannya, perlu penyelesaian secara adat. Warga lokal juga tidak berani mendekat ke kapal lantaran khawatir akan dicelakai. Berkaca pada kondisi sebelumnya, sering terjadi kasus pembunuhan di kapal. Warga sering menemukan mayat nelayan mengapung di perairan itu.
Menurut Mika, warga sudah sering mendapati kapal ikan dari daerah lain memasang jaring di perairan yang di-sasi. Warga beberapa kali menegur, tetapi tidak diacuhkan pihak kapal. Kondisi itu membuat warga lokal marah. Terlebih lagi, warga lokal sering melihat proses bongkar muat ikan di tengah laut serta jual-beli bahan bakar minyak. ”Warga merasa pemerintah seperti tidak hadir, makanya mereka bertindak sendiri,” ujarnya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru Johanes Gutandjala mewanti-wanti potensi konflik antara warga lokal dan nelayan dari luar Maluku. Salah satu penyebabnya adalah kecemburuan sosial. Sebagai contoh, sebanyak 1.289 kapal ikan dari pantai utara Pulau Jawa, tak satu pun yang mempekerjakan warga lokal.
Keluhan itu sudah disampaikan kepada pemerintah pusat. Satu kapal ikan biasanya diawaki hingga 25 anak buah kapal. Kapal-kapal itu kebanyakan berukuran di atas 30 gross ton. Kewenangan menerbitkan izin ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
”Padahal, kami minta lima orang tiap kapal. Nelayan kami punya kemampuan,” ujarnya. Banyak warga Kepulauan Aru pernah bekerja di kapal ikan asing dan eks-asing yang kini dilarang beroperasi. Mereka memiliki pengalaman.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, lebih dari 500 jenis ikan dan sedikitnya 400 jenis krustasea hidup di Laut Arafura. Belum lagi ditambah dengan hewan laut, seperti lobster, teripang, bulu babi, dan cumi-cumi. Semua potensi hayati laut ini diperkirakan 855.500 ton per tahun (Kepmen KP No 45/MEN/2011). Udang menjadi target utama.
Kekayaan sumber daya hayati laut ini sangat didukung pasokan unsur hara, terutama fosfat dan nitrat, dari aliran sungai dan hutan mangrove yang berada di sepanjang pesisir timur Papua, Kepulauan Aru, dan bagian utara Australia. Kesuburan perairan Arafura hampir terjadi sepanjang tahun dengan tingkat konsentrasi klorofil-a 1-1,5 mg/meter kubik (Kompas, 17/1/2016).
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari mengatakan, pemerintah harus segera menyiapkan program pemberdayaan nelayan lokal Kepulauan Aru. Dari sekitar 21.000 nelayan lokal di sana, tidak lebih dari 10 persen yang menerima program pemberdayaan. ”Mereka berhak sejahtera di daerah yang berlimpah sumber daya perikanan,” ujarnya.