ITF Sunter, Upaya Maju DKI dan Pro Kontra yang Mengikutinya
›
ITF Sunter, Upaya Maju DKI dan...
Iklan
ITF Sunter, Upaya Maju DKI dan Pro Kontra yang Mengikutinya
Jika saja segera bisa dimulai, proyek fisik pengolahan sampah modern ITF Sunter hanya memakan waktu 2-2,5 tahun saja. Cukup cepat untuk proyek skala besar yang pertama kali ada di Jakarta.
Oleh
neli triana
·5 menit baca
Jika semua syarat dan prasyarat terpenuhi, pembangunan fisik intermediate treatment facility atau ITF di Sunter, Jakarta, akan selesai dan siap digunakan dalam 2 tahun hingga 2,5 tahun. Ini waktu yang cukup cepat untuk pengerjaan proyek fisik yang cukup besar dan baru pertama kalinya di Ibu Kota, bahkan Indonesia. Sayangnya, meskipun groundbreaking proyek fisik sudah dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 20 Desember 2018, hingga kini proyek fisik belum berlanjut.
ITF Sunter sudah digagas sejak lama. Rencana pengolahan sampah yang dinilai lebih modern ini menemukan titik terang realisasinya saat pemerintahan Gubernur DKI Fauzi Bowo. Pada 2009 itu, DKI menyatakan akan membangun ITF senilai Rp 1,3 triliun di Cakung, Sunter, dan Marunda.
Rencana itu menghangat dan lantas dingin. Saat posisi Gubernur DKI dipegang Joko Widodo, pembahasan ITF kembali muncul, termasuk rencana melelang proyeknya. Ketika Basuki Tjahaja Purnama menggantikan Joko Widodo menduduki kursi nomor satu di Jakarta, dianggarkan dana Rp 1,2 triliun untuk ITF. Pada 2016, sempat muncul nama calon lokasi ITF, yaitu di Sunter, Marunda, Cakung, dan Semanan.
Pada tahun yang sama, peraturan presiden tentang percepatan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah yang ditandatangani Presiden Joko Widodo resmi berlaku. Perpres itu wajib diterapkan di tujuh kota di Indonesia. Jakarta termasuk dalam tujuh kota terpilih. PT Jakarta Propertindo (Jakpro), badan usaha milik daerah DKI Jakarta bertugas melaksanakan perpres itu di Ibu Kota, khususnya untuk ITF Sunter.
Selanjutnya, nasib ITF Sunter tak menentu sampai akhirnya groundbreaking dilakukan Gubernur Anies lebih dari 1 tahun lalu. Groundbreaking menandai sudah didapatkannya, antara lain, izin mendirikan bangunan (IMD) dan lolos uji analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) oleh pihak terkait.
Di luar itu, ada urusan relokasi warga untuk lokasi proyek, edukasi warga, serta protes beberapa pihak terkait kekhawatiran bahwa proyek berbasis pembakaran sampah itu justru akan menambah polusi udara Jakarta. Tak terasa, proyek pun kembali jalan di tempat.
Seperti dikutip dari Kompas edisi 21 Mei 2018, salah satu kritikan disampaikan oleh peneliti di Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah. Teknologi pembakaran diperkirakan menambah beban emisi, seperti konsentrasi partikulat (PM 2.5), dioksin, furan, dan karbon dioksida. Selain itu, pembakaran sampah juga menghasilkan limbah berupa fly ash dan bottom ash yang masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
Kritikan tersebut yang pada awal 2020 mencoba dibantah.
”Pembangunan fisik ITF akan langsung dilakukan begitu berbagai hal yang harus dilakukan sebelumnya selesai. Tidak ada kendala terkait pelaksanaan proyek fisik,” kata Vice President City Solutions Communications Fortum Izabela Van den Bossche saat bertandang dan berdiskusi di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (14/2/2020) siang.
Izabela datang bersama dua perwakilan Jakarta Solusi Lestari (JSL), salah satunya Linda Gurning, Communication and Stakeholders Management JSL. JSL adalah perusahaan gabungan (joint venture) dari PT Jakpro dengan Fortum Finland.
Izabela menyatakan, kedatangannya memang menegaskan proyek ITF tidak memiliki dampak negatif yang dikhawatirkan. Menurut dia, dampak negatif efek samping proyek ITF Sunter bisa diatasi dan diantisipasi sejak dini.
Izabela mengatakan, ia ingin mengajak publik menyadari dan memahami bahwa sampah bisa diolah. Berbagai jenis sampah yang sulit dan tidak bisa terurai alami kini banyak sekali.
”Ada banyak cara mengelola dan mengolah sampah. Bisa didaur ulang, tapi ada yang harus diolah. Pengolahannya pun macam-macam. Membakar sampah dengan teknologi ramah lingkungan, seperti di ITF Sunter, adalah salah satunya,” kata perempuan asal Polandia tersebut.
Data dari Fortum menunjukkan, ITF Sunter adalah pengolahan sampah dengan konsep waste to energy. Masyarakat diajak sadar bahwa sampah yang dihasilkan sehari-hari adalah sumber bahan bakar. Konsep ini menekankan mengolah dengan pendekatan menekan polusi udara, air, tanah, dan juga suara. Bonus yang diperoleh kemudian adalah energi, terutama listrik untuk kepentingan warga.
Namun, teknologi pengolahan sampah tidak bisa begitu saja diterapkan di tiap kawasan. Hal ini karena setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing bergantung pada pola konsumsi warganya. Kota dengan penduduk kaya yang lebih banyak dari penduduk miskin cenderung menghasilkan sampah lebih banyak.
Mengapa demikian? Karena orang yang lebih sejahtera berkemampuan membeli lebih tinggi. Setiap produk yang dibeli berkorelasi dengan kemasan, baik kemasan produk maupun kemasan untuk keperluan pengiriman. ”Kota-kota di negara kaya itu menghasilkan sampah lebih banyak daripada kota-kota di negara berkembang,” kata Izabela.
Selain volume, sampah basah atau sampah kering yang mendominasi turut menjadi pembeda di masing-masing kota. Di Jakarta dikenal dengan sampah basahnya yang mungkin jauh lebih ”basah” dibandingkan kota-kota lain di Asia Tenggara. Hal ini terlihat di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang milik DKI di Bekasi.
Data dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Bantargebang, setiap hari menerima 7.000-7.500 ton sampah yang dihasilkan lebih dari 10 juta warga Ibu Kota. Bisa dipastikan sebagian besar sampah adalah sampah basah dan campuran dari berbagai sampah, termasuk plastik, besi, dan sampah organik.
Izabela mengatakan, dengan mengetahui kondisi sampah Jakarta itu, ITF Sunter akan menerapkan teknologi sesuai standar dunia yang berlaku. Pertama, sampah dipilah. Sampah plastik, besi, dan lainnya yang masih bisa didaur ulang dipisahkan. Selanjutnya, pihaknya akan menambahkan mesin pengering sampah yang akan mengurangi kadar air hingga tingkat tertentu. Baru setelah itu, sampah dibakar di ruang tertutup dengan suhu tinggi.
Dari pembakaran itu akan dihasilkan energi listrik, juga slag atau residu padatan dan abu berbahaya. JSL akan bekerja sama dengan pihak ketiga yang memiliki spesialisasi mengelola slag dan abu. Slag bisa menjadi bahan pupuk, bahkan pelapis jalan atau pengganti aspal.
Data JSL, saat beroperasi nanti, ITF Sunter akan mengolah sekitar 720.000 ton sampah per tahun. ITF ini diproyeksikan menghasilkan listrik 280.000 megawatt-hour (MWh). Per tahunnya dari sisa pembakaran diperoleh 24.000 meter kubik air bersih, 100.000 ton slag, dan 15.000 ton abu.
”Akan ada uap, bukan asap, yang dihasilkan dari proses di ITF. Tetapi, itu tidak berbahaya. Tidak bisa dibandingkan, misalnya dengan asap kendaraan bermotor yang melingkupi kota ini setiap hari,” kata Izabela.
Saat ini, TPST Bantargebang telah terisi 39 juta ton sampah yang diperoleh dari DKI sepanjang 30 tahun terakhir. Kapasitas tampung Bantargebang tersisa lebih kurang 10 juta ton lagi. Kebutuhan untuk mengelola sampah yang lebih modern dan ramah lingkungan serta lebih dekat lokasinya, yaitu di dalam Jakarta sendiri, sehingga lebih efektif makin mendesak.
Untuk itu, rambu-rambu aturan yang jelas dan tegas, serta pengawasan yang sama jelas dan tegas, dibutuhkan agar proyek ITF Sunter berjalan sesuai tujuannya.