Jangan Berhenti di Laporan, Pencegahan Perkawinan Anak Harus dari Desa
Sepuluh tahun ini, banyak berlangsung perkawinan anak. Pada tahun 2018, 1 dari 9 perempuan berusia 20 sampai 24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Pencegahannya hanya bagus di atas kertas.
Masih banyak perempuan yang melangsungkan perkawinan dini sebelum usia 18 tahun. Kondisi ini dapat menghambat peningkatan pendidikan perempuan, mengancam kesehatan reproduksinya, dan anak-anak yang mereka lahirkan pun rentan bermasalah. Bagaimana kita mengatasi soal ini sampai tuntas?
Perkawinan di usia anak di Indonesia tidak bisa lagi diabaikan oleh semua pihak. Dalam 10 tahun terakhir (2008-2018), praktik perkawinan anak ternyata tidak banyak berkurang. Bahkan, pada tahun 2018, tercatat 1 dari 9 perempuan berusia 20 tahun sampai 24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Jumlahnya diperkirakan 1,2 juta perempuan.
Laporan ”Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda”, yang diluncurkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada Selasa (7/2/2020), di Jakarta, menyebutkan, selama satu dekade (2008-2018), hanya ada penurunan kecil untuk perkawinan anak di Indonesia, yaitu 3,5 poin persen.
Lambatnya penurunan perkawinan anak di Indonesia tergambar jelas dalam laporan yang disusun berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2018 dan Proyeksi Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015.
Laporan dipublikasikan Kementerian PPN/Bappenas, BPS, bersama Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), didukung Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (Puskapa). Disebutkan, dampak lambatnya penurunan angka perkawinan anak membuat posisi Indonesia tetap berada pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.
Dari laporan tersebut, prevalensi perkawinan anak perempuan pada tahun 2008 sebesar 14,67 persen, tapi hingga tahun 2018 prevalensinya hanya turun 3,5 poin persen menjadi 11,21 persen. Penurunan prevalensi perkawinan pertama perempuan berusia 20-24 tahun sebelum usia 15 tahun juga lambat. Pada tahun 2008 prevalensinya 1,60 persen dan pada tahun 2018 turun menjadi 0,65 persen.
Kondisi tersebut, menurut Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Gantjang Amannullah, menunjukkan, anak perempuan (11,21 persen) lebih rentan mengalami perkawinan anak ketimbang anak laki-laki (1,60 persen). Kondisi ini mengurangi kualitas pendidikan, tingkat kesejahteraan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial.
Misalnya, pendidikan, rata-rata lama sekolah perempuan yang menikah di bawah 18 tahun hanya 7,92 persen, sebagaian besar belum tamat SMP. Rendahnya pendidikan perempuan seharusnya menjadi tantangan bagi pemerintah dalam mencapai Indonesia unggul tahun 2045. Jika perkawinan anak tidak dihentikan dari sekarang, Indonesia unggul 2045 tidak akan terwujud. ”Tidak mungkin,” kata Gantjang.
Tak hanya faktor pendidikan, perkawinan anak mengancam kesehatan perempuan. Data Susenas 2017 menunjukkan, lebih dari separuh (63,08 persen) perempuan usia 20-24 tahun yang kawin kurang dari 18 tahun usia hamil pertamanya sebelum usia 18 tahun. Bahkan, ada 46,84 persen (hamil pertama) perempuan yang menikah kurang dari 15 tahun.
”Dampak kesehatan sangat besar. Bayangkan kalau seorang anak punya anak dan masih anak. Risiko yang paling buruk kematian ibu dan bayinya. Kenapa angka kematian ibu melahirkan anak tinggi? Penyumbangnya, perkawinan anak,” ujar Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lenny N Rosalin.
Dampak kesehatan sangat besar. Bayangkan kalau seorang anak punya anak dan masih anak. Risiko yang paling buruk kematian ibu dan bayinya.
Lenny menghitung lebih rinci lagi. Prevalensi perkawinan anak pada angka 11,21 persen memberi arti bahwa ada 8,9 juta anak-anak perempuan di Indonesia yang menikah di bawah usia 18 tahun. Begitu juga yang menikah sebelum berumur 15 tahun totalnya ada 4,7 juta anak.
”Bayangkan kalau kita kalikan dengan jumlah anak di Indonesia, yang jumlahnya 79,55 juta anak atau 30 persen dari total penduduk. Kewajiban siapa yang melindungi anak-anak ini, ya kita semua,” ujarnya.
Dampak dari semua itu, menurut Lenny, akan terlihat jelas dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Daerah yang paling tinggi angka perkawinan anaknya sudah tentu IPM-nya akan rendah.
Baca juga: Mengakhiri Perkawinan Anak
PR masih sangat banyak
Tingginya angka-angka terkait perkawinan anak menunjukkan pekerjaan rumah Indonesia dalam mencegah perkawinan anak masih seabrek. Tak semuanya kabar buruk. Ada juga kabar baik, yaitu dalam tiga tahun terakhir, terlihat sejumlah langkah pemerintah untuk mencegah perkawinan anak.
Pada akhir 2017, Kementerian PPPA meluncurkan Gerakan Stop Perkawinan Anak yang kemudian diperbarui lagi pada akhir Januari 2020 dengan menggandeng pemimpin daerah bergerak mencegah perkawinan anak. Bersama DPR, akhir 2018, Kementerian PPPA juga menaikkan batas minimal usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Baru-baru ini, tepatnya 4 Februari 2020, diluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) dengan lima strategi. Perkawinan anak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni sebagai salah satu indikator di dalam Prioritas Nasional 3 Meningkatkan SDM yang Berkualitas dan Berdaya Saing, pada Program Prioritas Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda.
Pemerintah bahkan menargetkan angka perkawinan anak turun dari 11,2 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada tahun 2024, dan 6,94 persen pada akhir 2030. Ini bagian dari komitmen mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs).
Baca juga: Pencegahan Perkawinan Anak Butuh Kolaborasi dan Peran Komunitas
Dimulai dari desa
Upaya mencegah perkawinan di sejumlah daerah memang sudah ada. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah serta peraturan gubernur dan bupati/wali kota tentang pencegahan perkawinan anak.
Di tingkat akar rumput, kesadaran masyarakat untuk mencegah perkawinan anak sudah muncul sampai di tingkat pemerintah desa. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, perlindungan anak dari perkawinan dini dilakukan dengan membuat aturan lokal (awiq-awiq) yang membatasi usia perkawinan.
Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, daerah juga mulai bergerak. Desa Mallari, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, pada 27 Desember 2019 langsung meluncurkan peraturan desa tentang pencegahan pernikahan anak usia dini, dengan menetapkan bahwa anak yang belum berusia 19 tahun termasuk anak yang masih dalam tanggungan keluarga.
Langkah Desa Mallari ini bisa menjadi contoh bagi semua desa/kelurahan di Tanah Air, terutama di daerah-daerah dengan kasus perkawinan anak yang tinggi. Pemerintah desa/kelurahan-lah yang menjadi garda terdepan dalam pencegahan perkawinan anak. Para pamong desa setiap hari berhadapan dengan masyarakat, dan bisa langsung mencegah warga yang akan menikahkan anak-anaknya pada usia dini.
Namun, apakah langkah-langkah tersebut sudah cukup? Mengingat dalam 10 tahun saja, penurunan angka perkawinan anak di Tanah Air masih sangat lambat. Kenyataan di lapangan, perkawinan anak masih terjadi di desa-desa dan perkotaan. Bahkan, di daerah-daerah yang terdampak bencana alam, praktik itu kasatmata.
Maka, harus dipastikan gerakan pencegahan perkawinan anak harus betul-betul menjadi gerakan bersama dan membumi sampai ke akar rumput. Sosialisasi revisi batas minimal usia perkawinan anak jangan cuma berhenti di hotel-hotel atau pertemuan di gedung pemerintah tingkat pusat dan provinsi/kabupaten/kota, tetapi harus dipastikan betul sampai ke desa-desa dan kelurahan.
Jika tidak, laporan ”Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” hanya akan bagus di kertas. Peluncuran Stranas PPA pun hanya menjadi seremoni.
Baca juga: Faktor Ekonomi dan Pergaulan Bebas Picu Perkawinan Anak di Indramayu