Penulis buku ini, Mary E McCoy, adalah pengajar di Departemen Komunikasi dan juga Studi Asia Tenggara, Universitas Wiscounsin-Madison. Belum lama ini ia menerbitkan hasil penelitiannya terkait dengan media dan politik di Indonesia, yang menambah khazanah literatur terkait media di Indonesia.
Dalam buku ini, McCoy menyampaikan analisis baru tentang hubungan antara media dan politik. Ia meminjam konsep yang disampaikan Adam Przeworski, seorang teoretikus politik Polandia-Amerika yang menjadi guru besar di Universitas New York. Przeworski mengemukakan teorinya soal ”pelembagaan ketidakpastian” (institutionalization of uncertainty) yang merujuk pada suatu proses yang terdiri dari sejumlah kekuatan demokratisasi dan kekuatan menuju situasi sebaliknya.
Przeworski menyebutkan bahwa demokratisasi harus dimengerti sebagai pelembagaan dari konflik yang berjalan terus-menerus dan secara bersamaan juga merupakan proses pelembagaan dari ketidakpastian. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang membuat semua aktor politik di dalamnya menuju pada ketidakpastian. McCoy melihat ada peluang untuk memasukkan institusi media dalam penerapan teori pelembagaan ketidakpastian Przeworski tersebut dan menaruhnya dalam konteks melihat Indonesia antara tahun 1994 hingga 2014.
Dalam kurun waktu tersebut, McCoy melihat media memainkan peran kritisnya dalam bentuk, pertama, sebagai aktor yang mempromosikan reformasi, transparansi, dan nilai-nilai demokratis; kedua, media juga berperan sebagai kendaraan untuk menunjukkan ketidakpastian yang merupakan bagian tak terelakkan dari demokrasi.
Penerapan konsep Przeworski dalam konteks bicara soal media di Indonesia, McCoy menyimpulkan ada situasi ketidakpastian informasi yang terjadi ketika kebebasan masyarakat sipil ditekan. McCoy mengatakan bahwa ketidakpastian menjadi elemen utama dalam kontestasi masyarakat demokratis, walaupun hasilnya belum diketahui ke mana arahnya. McCoy juga menambahkan bahwa dalam demokrasi ini juga terjadi pertarungan elite politik yang tak terhindarkan, baik dalam lapangan politik pemilu, ekonomi, dan juga dalam bidang peradilan (saling menggugat satu sama lain).
Untuk itu, McCoy menyebutkan ada tiga tahap dalam demokratisasi yang terjadi di Indonesia: pertama, rezim yang berkuasa mengalami delegitimasi dan kejatuhan; kedua, masa percobaan dari perubahan institusional dalam kontestasi demokrasi; dan ketiga, proses konsolidasi dalam jangka panjang yang terjadi di antara situasi terbalik dari demokratisasi dan lamanya bertahan dari institusi demokratis.
Peran pers
Dalam masa konsolidasi demokrasi, media dapat memainkan peran yang kritis, seperti normalisasi kontestasi terbuka secara teratur yang menghasilkan pergeseran berarti dalam keseimbangan kekuasaan. Kemudian, media juga dapat berperan dalam memperkuat kepercayaan pada masyarakat untuk adanya kesempatan yang fair di masa depan demi kompetisi secara politis. Terakhir, media juga bisa membangun adanya budaya politik untuk menolak kembalinya hasil yang sudah ditentukan sebelumnya.
Bahasan McCoy sangatlah detail untuk menggambarkan bagaimana dinamika politik terjadi di Indonesia pada masa sewindu setelah masa reformasi hingga satu dekade setelahnya. Kita persis melihat apa yang menjadi tarik-menarik kekuasaan mulai dari masa kepemimpinan Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri.
Kita mengetahui bahwa era setelah tahun 2004 Indonesia memulai sejarah dengan adanya pemilihan umum yang memungkinkan masyarakat memilih presiden secara langsung. Periode waktu antara 1998 hingga 2004 itulah yang disebut McCoy sebagai masa transisi demokrasi. Apa yang terjadi dalam enam tahun tersebut? Arena politik seakan tak pernah sepi dari pertarungan para elite politik yang ada. Aneka skandal bermunculan, dan peradilan pun dijadikan arena untuk menjatuhkan lawan-lawan politik yang ada.
McCoy mencatat aneka skandal yang terkuak dalam periode tersebut: Baligate, Buloggate, kemunculan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain. Kita juga tak bisa mengabaikan belum lama ini muncul buku yang ditulis Virdika Rizky Utama (Menjerat Gus Dur, NUmedia Digital Indonesia, 2019) yang menjelaskan pertarungan politik di belakang jatuhnya Gus Dur. Semua peristiwa ini memberi dampak pada pertarungan elite kekuasaan dan posisi pers itu sendiri.
Aneka skandal yang ada membuka ruang untuk konsolidasi kekuasaan makin terpecah dan pilihan politik masyarakat pun bisa berubah-ubah dari masa ke masa tergantung dari konstelasi politik dan skandal yang menyangkut anggota partai tertentu. Namun, secara umum McCoy menilai transisi yang terjadi di Indonesia antara tahun 1994 hingga 2004 tergolong sukses. Indonesia berhasil lepas dari pemerintahan otoriter, dan kasus Indonesia dianggap sama berhasilnya dengan transisi yang terjadi seperti di Korea Selatan, Afrika Selatan, Brasil, Chile, dan Meksiko.
Akan tetapi, McCoy memberikan catatannya, bahwa fungsi anjing penjaga dari pers punya peran penting untuk mengungkapkan skandal-skandal, tetapi untuk negara yang demokratis, peran pers seperti ini punya keterbatasan. Pers harus tetap menjadi alat pengontrol kekuasaan yang akan bisa memecah kolusi di antara para penguasa serta menjadikan situasi kembali dalam ketidakpastian.
Analisis McCoy ini cukup menyegarkan, tetapi beberapa detail sejumlah kasus kurang akurat. Misalnya pada halaman 39, saat menyebutkan pendirian stasiun televisi pertama di Indonesia, McCoy menyebut ”[Suharto’s] oldest son”, padahal seharusnya adalah ”second son”, jika itu merujuk pada Bambang Trihatmodjo dan Grup Bimantara yang memiliki RCTI, stasiun televisi swasta pertama di Indonesia.
Ketidakcermatan lain terkait dengan acara bincang-bincang Perspektif yang pernah dipandu Wimar Witoelar dan menghadirkan Mochtar Lubis sebagai tamunya, McCoy menyebut bahwa acara ini dibatalkan karena desakan dari pemilik SCTV pada bulan September 1995 (halaman 41). Gelar wicara Perspektif memang dilarang setelah mengundang Mochtar Lubis sebagai tamunya, tetapi acara itu sudah disiarkan oleh SCTV sebelumnya.
Buku ini tetap menarik dibaca karena pembahasannya yang dalam dan perspektif baru dalam melihat media dalam proses transisi politik di Indonesia. Jika saja McCoy mau melanjutkan studinya untuk periode satu dekade setelah kajian ini (2014-2024), mungkin kita pun akan membaca analisis menarik penulisnya, betulkah transisi Indonesia menuju demokrasi sudah berhasil sepenuhnya?
IGNATIUS HARYANTO, Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara; Peserta Program Doktoral Komunikasi FISIP Universitas Indonesia