Menimbang Pemulangan Teroris Lintas Batas
Perlu pertimbangan mendalam untuk memulangkan orang-orang yang terlibat dengan kelompok NIIS. Motivasi kepulangan, ideologi yang mengakar, serta fasilitas rehabilitasi merupakan hal yang patut dicermati.
Wilayah pertahanan terakhir kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Desa Baghouz, Provinsi Deir el-Zor, Suriah timur, berhasil direbut Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung Amerika Serikat pada Maret 2019.
Selang tujuh bulan kemudian, Amerika Serikat mengonfirmasi tewasnya pemimpin kelompok NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi. Baghdadi terbunuh dalam sebuah serangan yang dilakukan militer AS di barat laut Suriah.
Jatuhnya benteng terakhir dan terbunuhnya sang pemimpin membuat milisi NIIS yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai teroris lintas batas bagai ayam kehilangan induk dan sarangnya. International Center for the Study of Radicalisation (ICSR) menyebutkan teroris lintas batas dari 80 negara berusaha pulang ke negara masing-masing.
Dari hasil riset ICSR pada 2018, terdapat sedikitnya 7.366 teroris lintas batas yang hendak menuju negara asal. Mereka terdiri dari 5.819 laki-laki, 295 perempuan, serta 1.252 anak-anak.
Koran The New York Times pada Oktober 2019 melaporkan, jumlah teroris lintas batas yang ditahan pasukan Suriah mencapai 11.000 orang. Sebanyak 2.000 di antaranya warga non-Suriah-Irak yang berasal dari 50 negara.
Keberadaan ribuan teroris lintas negara menjadi masalah domestik di Suriah, Irak, dan negara-negara sekitarnya seperti Turki. Utamanya adalah masalah keamanan dan teror.
Persoalan semakin mengemuka ketika negara asal tidak menerima mereka kembali.
Beragam alasan bermunculan bagi negara yang menolak. Salah satunya terkait undang-undang negara masing-masing yang mencabut kewarganegaraan warganya dengan alasan terlibat dalam kegiatan teroris atau tidak setia pada negara.
Resolusi PBB
Penanganan teroris lintas batas sebenarnya sudah menjadi keprihatinan PBB sejak awal munculnya NIIS. Dewan Keamanan PBB setidaknya merumuskan dua resolusi menanggapi keberadaan NIIS. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2178 yang terbit pada 2014 dibuat sebagai respons ketika kelompok NIIS mendeklarasikan diri sebagai negara pada Juni 2014.
Resolusi Dewan Keamanan PBB itu menyatakan, NIIS menjadi salah satu kelompok teroris yang dinyatakan sebagai ancaman. Kegiatan terorisme disebutkan merupakan ancaman paling serius terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
PBB juga meminta negara-negara di dunia untuk melakukan berbagai upaya dalam penanganan isu teroris lintas batas, termasuk pencegahan perekrutan dan menghalangi keberangkatan teroris, pengawasan perbatasan, serta saling tukar informasi.
Tiga tahun berselang, Dewan Keamanan PBB kembali mengeluarkan Resolusi Nomor 2369 yang dirumuskan dalam rangka mengantisipasi eksodus teroris lintas negara. Ketika pasukan NIIS mulai terdesak dan berangsur mengalami kehancuran, para simpatisan NIIS mulai meninggalkan wilayah Irak dan Suriah untuk kembali ke negara asal.
Berdasarkan Resolusi 2396 tahun 2017, tindakan penuntutan, rehabilitasi, dan reintegrasi warga negara yang tergabung dalam NIIS harus dibawa ke pengadilan untuk diberi peradilan khusus.
Resolusi PBB juga mengajak negara-negara untuk memperlakukan keluarga teroris lintas batas secara terhormat. Mereka berhak mendapat layanan rehabilitasi, layanan konsultasi, akses terhadap komunitas lokal di negara masing-masing, serta mendapat perawatan kesehatan fisik dan mental yang layak.
Sikap negara asal
Di luar regulasi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB, setiap negara asal teroris lintas batas merespons dengan kebijakan yang beragam. Ada yang menerima mereka kembali, ada pula yang menolak. Ada pula yang menerima secara selektif. Sejumlah negara seperti Inggris, Perancis, Belgia, dan Norwegia hanya menerima kepulangan anak-anak dengan kriteria khusus.
Seperti diberitakan oleh harian The New York Times, Pemerintah Inggris menerima tiga anak yatim piatu berusia tujuh hingga 10 tahun dari Suriah pada akhir 2019. Perancis merepatriasi lima anak pada Maret 2019 dan 12 anak lagi pada Juni 2019. Belgia menerima enam anak dan Norwegia menerima lima.
Jika melihat kebijakan yang diambil beberapa negara di Eropa tersebut, setidaknya dapat tergambar bahwa kebijakan pemulangan orang-orang yang terlibat dengan kelompok NIIS dilakukan secara selektif, yaitu anak-anak yatim piatu yang berusia di bawah 10 tahun.
Kegiatan terorisme disebutkan merupakan ancaman paling serius terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Indonesia mengambil kebijakan menolak memulangkan. Pemerintah Indonesia memutuskan tidak akan memulangkan orang-orang asal Indonesia yang dianggap terlibat dengan kelompok NIIS.
Saat ini, setidaknya terdapat 689 warga asal Indonesia yang berada di Suriah, Turki, dan beberapa negara lain. Meski demikian, pemerintah akan mempertimbangkan kemungkinan memulangkan anak-anak berusia di bawah 10 tahun yang dibawa orangtuanya atau menjadi yatim piatu (Kompas 12/2/2020).
Ideologi
Di luar syarat khusus seperti anak-anak yatim piatu, salah satu hal yang menjadi pertimbangan penting bagi negara-negara dunia dalam mengambil kebijakan memulangkan teroris lintas batas adalah masalah ideologi.
Kelompok kerja yang menangani radikalisme di Uni Eropa, Radicalisation Awareness Network European Union, merumuskan panduan pemulangan teroris lintas negara. Rumusan tersebut tertuang dalam buku panduan yang berjudul Responses to returnees: Foreign terrorist fighters and their families. Salah satu informasi menarik dalam panduan ini adalah porsi perlakuan terhadap laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Dalam peperangan, anak-anak dan perempuan dipandang sebagai kelompok lemah. Namun, hal ini tidak berlaku dalam kasus tindak terorisme. Perempuan juga berperan di dalam institusi pendidikan awal, yakni keluarga.
Mereka memiliki tugas menanamkan ideologi kepada anak-anaknya. Perempuan juga berperan penting dalam merekrut anggota baru serta membangun jaringan teroris.
Sementara anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ekstremis kanan sudah terpapar perangkat ideologi. Selain itu, peran aktif anak dicanangkan sejak dini. Anak direkrut dan dilatih melakukan tindak kekerasan serta menggunakan senjata pada usia 9 tahun.
Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa usia tertentu atau jenis kelamin tertentu lebih aman apabila pulang ke negara asalnya. Baik dewasa maupun anak-anak, laki-laki atau perempuan, semua membawa virus terorisme.
Pertimbangan lain yang juga perlu dicermati adalah melihat motivasi kepulangan teroris lintas batas. Buku panduan Responses to returnees: Foreign terrorist fighters and their families memaparkan empat alasan para teroris lintas negara kembali ke negara asal.
Pertama, mereka yang merasa kecewa dan menyesal atas keputusan mendukung NIIS. Kedua, sikap oportunis, yakni dengan ideologi terorismenya, tetapi mendambakan jaminan hidup yang lebih layak.
Ketiga, sengaja dikirim kembali ke negara asal untuk melakukan teror yang lebih berdampak. Keempat, merupakan tawanan perang dan dideportasi oleh otoritas berwenang setempat. Jika melihat poin ketiga motif kepulangan mereka, bukan tidak mungkin pemulangan teroris lintas batas ini malah akan menjadi masalah baru di negara asalnya.
Deklarasi universal hak asasi manusia PBB memberikan jaminan kepada setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.
Namun, jika merujuk resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyatakan NIIS sebagai organisasi teroris beserta ideologi yang dianutnya, perlu pertimbangan mendalam untuk memulangkan orang-orang yang dianggap terlibat bergabung dengan kelompok NIIS. Terlebih, jika kebijakan pemulangan tersebut tanpa disertai program dan infrastruktur rehabilitasi yang memadai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?