Selain menjadi korban persekusi di Myanmar, pengungsi Rohingya juga tidak memiliki banyak pilihan saat mereka tinggal di kamp pengungsi di Bangladesh. Mereka pun juga menjadi korban jaringan perdagangan manusia.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
YANGON, JUMAT — Belum ada peluang positif yang berpihak kepada warga etnis Rohingya. Tekanan bertubi-tubi dan buruknya situasi di kamp pengungsian membuat warga Rohingya terpaksa melarikan diri melalui laut. Dalam proses pelarian itu, sebagian dari mereka kembali tertangkap, bahkan beberapa di antaranya tewas tenggelam. Selain menjadi korban politik, sosial, dan budaya, di Myanmar, warga Rohingya juga menjadi korban jaringan penyelundup dan perdagangan manusia lintas negara.
Peristiwa terakhir menimpa 48 warga etnis Rohingya—yang diperkirakan—akan melarikan diri menuju Malaysia atau Indonesia. Pada Jumat (14/2/2020) pagi mereka dibawa ke kantor polisi di Pathein, Myanmar. Seorang pejabat setempat, Myint Thein, mengatakan, mereka ditangkap Angkatan Laut Myanmar saat melintas di perairan negara itu pada Rabu malam. Tidak disebutkan, dari mana mereka memulai pelayaran mereka.
Selain mengamankan ke-48 warga Rohingya itu—terdiri dari pria, perempuan, dan anak-anak—Angkatan Laut Myanmar juga menangkap lima anggota jaringan penyelundup manusia.
Peristiwa itu merupakan yang terbaru dari rangkaian peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya. Pada Kamis lalu, polisi Bangladesh mengatakan menangkap sembilan tersangka penyelundup manusia setelah kapal yang ditumpangi 138 warga Rohingya tenggelam di perairan Bangladesh. Sebanyak 73 orang berhasil diselamatkan, 15 lainnya tenggelam, dan setidaknya 50 orang dinyatakan hilang. Kapal itu tenggelam pada Selasa lalu karena kelebihan muatan. Otoritas penjaga pantai setempat mengatakan, maksimal kapal yang mereka tumpangi hanya mampu mengangkut 50 orang.
Terdesak
Kesembilan penyelundup manusia itu ditangkap dalam penggerebekan yang dilakukan pada Rabu dan Kamis di tenggara Cox’s Bazar, Bangladesh. Sebagaimana diketahui, di Cox’s Bazar terdapat sejumlah kamp pengungsi yang dihuni hampir 1 juta orang Rohingya. Mereka berada kamp itu setelah melarikan diri dari persekusi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Sebanyak 700.000 di antaranya melarikan diri saat terjadi operasi militer pada tahun 2017.
Saat ini polisi Bangladesh masih mencari 19 tersangka lainnya, 18 di antaranya warga Bangladesh. Kepada kantor berita AFP, pihak kepolisian mengatakan, para tersangka akan didakwa dengan pasal pembunuhan.
Polisi mengatakan, penyelundupan dan perdagangan manusia makin marak sejak tahun 2017. Minimnya peluang kerja dan pendidikan di kamp-kamp pengungsian menjadi faktor pendorong bagi para pengungsi untuk mencari peruntungan di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Mereka kemudian nekat melintasi Teluk Benggala untuk mencapai Malaysia, Thailand, atau Indonesia. Umumnya mereka memulai perjalanan pada November-Maret ketika laut cukup tenang.
Jaringan penyelundup manusia pun mengambil keuntungan dengan memanfaatkan situasi itu. Mereka antara lain menyediakan kapal untuk mengangkut warga Rohingya itu.
Dalam dua setengah tahun terakhir, polisi berhasil menyelamatkan 713 warga Rohingya yang menjadi korban perdagangan dan penyelundupan manusia. ”Sepanjang periode itu, tujuh penyelundup manusia ditembak mati saat kontak senjata dengan polisi. Setidaknya 69 penyelundup ditangkap,” kata inspektur polisi di Cox’s Bazar, Ali Arshad.
Seorang korban perdagangan dan penyelundupan manusia, Anwara Begum, mengatakan, keluarganya membayar seorang warga Bangladesh sebesar 450 dollar AS per orang untuk dibawa ke Malaysia. Begum adalah salah penyintas, sementara dua anaknya, masing-masing berusia enam tahun dan tujuh tahun, tewas tenggelam dalam tragedi itu.
Laura Haigh dari Amnesty International mengatakan, warga Rohingya akan terus melakukan perjalanan berisiko seperti itu, kecuali jika hak-hak mereka dipulihkan dan ada pertanggungjawaban penuh atas kekerasan yang dilakukan militer Myanmar. Bangladesh dan Myanmar sejatinya telah menyepakati perjanjian repatriasi. Namun, sejauh ini implementasinya kurang optimal karena banyak warga Rohingya masih enggan kembali. Mereka masih mengkhawatirkan keselamatan mereka apabila kembali ke Rakhine. (AFP/Reuters)