Kesetaraan Tetap Aktual
Di tengah kecamuk perang, empat perempuan muda menemukan suakanya yang tenteram. Kasih sayang dan kemandirian tumbuh tanpa asuhan ayah mereka yang melanglang medan pertempuran. Kisah abadi mengusung pesan arif yang tak l
Di tengah kecamuk perang, empat perempuan muda menemukan suakanya yang tenteram. Kasih sayang dan kemandirian tumbuh tanpa asuhan ayah mereka yang melanglang medan pertempuran. Kisah abadi mengusung pesan arif yang tak lekang ditelan zaman.
”Aku punya banyak masalah. Maka, aku menulis cerita-cerita gembira,” ujar Josephine March (Saoirse Ronan) kepada Dashwood (Tracy Letts), editor penerbit buku. Bukan kehidupan yang mudah. Josephine, yang lebih senang disapa Jo, sudah akrab dengan kepapaan.
Debat alot menjadi manifestasi resistensi Jo atas hegemoni Dashwood. Jo tengah mengajukan naskah novel tentang perempuan berpendirian teguh sebagai tokoh utama. ”Jadi, dengan siapa ia menikah,” tanya Dashwood setelah beberapa saat terdiam.
Waktu Jo menjawab perempuan tersebut memutuskan tak akan menikah, Dashwood tak bisa menerimanya. Nada suara orang tua itu meninggi. ”Novel itu tak bakal laris. Pembaca perempuan mau ia menikah. Bukan konsisten. Novel yang benar itu kalau akhir kisahnya menjual,” ucapnya.
Ketika negara dilanda karut-marut pertempuran, pembaca hanya ingin menikmati cerita menghibur, romantis, dan bahagia. Jo menyanggah dengan jawaban menohok. ”Sudah kuduga pernikahan bakal identik dengan ekonomi. Bahkan, dalam fiksi sekalipun,” ucapnya.
Saat itu, pertengahan abad ke-19. Peran perempuan masih dianggap penyokong belaka dengan budaya patriarki yang dominan. Emansipasi baru saja bersemi di antara impian para perempuan yang lekat dengan sindrom cinderella complex untuk menikahi pria mapan. Little Women mempersembahkan keunggulan dengan dialog-dialog yang kuat mengenai pengarusutamaan kesetaraan jender.
”Aku perempuan, tak bisa menghasilkan uang. Kalaupun punya, itu jadi milik suamiku begitu menikah,” ucap Amy March (Florence Pugh), adik Jo, soal keterkungkungan kaumnya. Little Women bukan film dengan aksen kehangatan keluarga semata. Jo, Amy, Elizabeth March atau Beth (Eliza Scanlen), dan Amy March (Florence Pugh) adalah saudari kandung yang tinggal bersama ibunya, Marmee March (Laura Dern).
Mereka menghiasi film berdurasi sekitar dua jam dengan tangis, tawa, dan cinta. Sang ayah harus menunaikan bakti selaku serdadu Union dan meninggalkan keluarganya. Anak-anak itu berbagi tugas, bertengkar, dan berdamai. Tetangga mereka yang makmur, perayu ulung, tetapi baik hati, Theodore Laurence (Timothée Chalamet), meramaikan Little Women dengan celoteh dan kekonyolannya.
Kontekstual
Berbeda dengan film-film sebelumnya, terutama versi awal, Little Women kali ini tak sekadar mengangkat novel ke layar lebar. Buku karya Louisa May Alcott itu diterbitkan pertama kali pada 1868. Sebelumnya, Little Women telah dibuat film berkali-kali, antara lain tahun 1933, 1949, dan 1994.
Setiap film senantiasa kontekstual dengan zamannya. Edisi pertama, misalnya, mengangkat semangat berhemat dan polah prihatin keluarga March saat Depresi Besar melanda Amerika Serikat yang dimulai 1929. Segendang sepenarian, Little Women selanjutnya diluncurkan tak lama setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945.
Gelora kemapanan perempuan lewat Girl Power pada awal 1990-an lantas menjadi sinkron dengan Little Women yang dibintangi Winona Ryder. Little Women kreasi sutradara Greta Gerwig meneruskan roh yang sama, tetapi dengan konten lebih berbobot.
Tak heran film itu dinominasikan menyabet enam Piala Oscar dalam Academy Awards ke-92 yang digelar di Dolby Theatre, Hollywood & Highland Center, Amerika Serikat, Minggu (9/2/2020). Little Women diganjar Oscar lantaran desain kostumnya serta dicalonkan meraih penghargaan film, musik, naskah, pemeran perempuan, dan pemeran pendukung perempuan terbaik. Film tersebut juga menembus nominasi musik dan pemeran perempuan terbaik Golden Globe Awards 2020.
Akting Ronan dan Pugh yang memukau ditingkahi lengkingan suara Bibi March (Meryl Streep). Bagaikan bunglon, Streep seperti biasa mencuri perhatian dengan keluwesan intonasi, gestur, dan mimik mukanya. Bibi March mengingatkan Ebenezer Scrooge dalam buku tahun 1843 berjudul A Christmas Carol karya Charles Dickens yang kaya, pelit, dan uzur.
Fundamentalnya, Little Women bisa dinikmati sebagai film keluarga dengan kategori 13 tahun ke atas. Lebih dari itu, Little Women menyajikan makna kesetaraan yang tetap aktual hingga sekarang. Keluarga March berbagi obat,
sweter, selimut, dan makanan untuk tetangganya yang tinggal di gubuk. Spirit menulis Jo, Beth dengan bakat musiknya, dan Amy yang menggeluti seni lukis untuk menggapai independensi, diselingi kobaran anti-perbudakan.
Berdasarkan buku The Cambridge Companion to Abraham Lincoln yang disusun Shirley Samuels dan diterbitkan Cambridge University Press tahun 2012, Perang Sipil Amerika Serikat dipicu semangat untuk membebaskan orang-orang Afrika dari penindasan. Masa setelah perang yang berlangsung pada 1861-1865 itu menjadi momentum pula bagi beberapa perempuan pendobrak sekat-sekat dogmatis yang membelenggu kaum hawa.
Lucretia Mott, umpamanya, memperjuangkan hak-hak perempuan, menggalakkan semangat pembebasan budak, dan melaksanakan reformasi sosial. Ia memenuhi undangan kawan sepemahamannya,
Jane Hunt, yang menjadi pertemuan pertama untuk membahas hak perempuan di Amerika Serikat tahun 1848.
Menjelang awal abad ke-20, Calamity Jane dikenal sebagai avonturir pemberani yang kerap berpakaian layaknya lelaki, lengkap dengan senapan dan pistol. Berikutnya, Hellen Keller, perempuan yang buta dan tuli, menghebohkan dunia dengan kegigihannya menjadi aktivis politik, pengajar, dan penulis. Tak ketinggalan, Raden Adjeng Kartini menginspirasi kemajuan putri-putri Nusantara melalui buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Mundur maju
Saat ditanya motivasinya memandu produksi Little Women, Gerwig menjawab, ia sudah menunggu 30 tahun untuk melakukannya. ”Waktu pertama kali dengar rencana pembuatan film itu, saya bilang harus hadir dalam pembahasannya,” ucapnya, seperti dikutip situs berita Time.
Gerwig pernah membaca Little Women saat kecil meski tak terlalu memahaminya.
Ia membaca ulang buku itu ketika dewasa dan terpesona. ”Bagaimana buku itu menceritakan perempuan, ambisi, seni, dan uang sebenarnya
termasuk modern. Bisa jadi orang berpikir, kalimat-kalimatnya ditulis kemarin,” katanya.
Little Women, yang berarti gadis-gadis kecil, beberapa kali disisipkan lewat kutipan dalam buku tersebut. Salah satu yang paling menyentuh saat sang ayah mengirimkan surat dari medan laga. ”Aku yakin anak-anakku menuntaskan tugas, melawan musuh sanubari, dan menguasai diri sehingga saat kembali, aku akan makin cinta dan bangga akan gadis-gadis kecilku,” ujarnya.