Pada 10 Februari, Indonesia-Australia meluncurkan rencana aksi implementasi Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif 2020-2024. Seberapa besar kemitraan ekonomi itu menguntungkan kedua pihak, seperti yang diharapkan?
Oleh
HARRY BHASKARA, DARI BRISBANE, AUSTRALIA
·4 menit baca
Australia dan Indonesia merupakan dua kekuatan ekonomi terbesar di kawasan. Namun, volume perdagangan antar-kedua negara ini termasuk terendah dalam forum G-20 ditilik dari hubungan kedua negara. Ekspor Indonesia ke Australia hanya 1,6 persen dari total impor Australia, sedangkan ekspor Australia ke Indonesia 3,1 persen dari semua impor Indonesia, dengan defisit pada pihak Indonesia.
Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA CEPA), yang memasuki tahap implementasi pasca-peluncuran rencana aksi 2020-2024 yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Scott Morrison di Canberra, Senin (10/2/2020), pada prinsipnya memangkas pajak pada hampir semua komoditas untuk mengoreksi kejanggalan tersebut.
Reaksi di ”Benua Kanguru” itu beragam. Umumnya, mereka yang sudah lama membina hubungan perdagangan dengan Indonesia menyambut baik, seperti yang diperlihatkan sektor peternakan. Juga ada yang melihat kesempatan lebih besar dengan adanya perjanjian itu, seperti bidang kesehatan dan pendidikan.
Namun, sebagian lagi meragukan apakah perjanjian yang disiapkan selama lebih dari 10 tahun dan akan mulai berlaku 60 hari setelah disetujui DPR RI pada 6 Februari 2020 ini akan mendatangkan hasil yang diinginkan. Apakah Indonesia yang diprediksi menjadi kekuatan ekonomi nomor lima terbesar di dunia pada 2030 akan mampu mendekati peringkat China dan Amerika Serikat, mitra dagang terbesar Australia? Mampukah Indonesia beranjak dari anak tangga ke-13 mitra dagang Australia ke peringkat lebih tinggi?
Tonny Dian Effendi, dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang yang sedang menempuh pendidikan doktor di Institute of Political Science, National Sun Yat-sen University, Taiwan, mengedepankan perlunya diteliti hal-hal nonteknis dalam perdagangan kedua negara ketika pemerintah menelurkan kebijakan perdagangan.
”Seharusnya hubungan dagang terjalin lebih baik karena lokasi geografis yang berdekatan mempermudah proses perdagangan,” kata Tonny yang dihubungi melalui surat elektronik merujuk pada hubungan dagang Indonesia-Singapura.
Tonny mengatakan, kedua negara kadang berbeda pandangan secara politis, terutama ketika menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan identitas. Hubungan dagang kedua negara ini, menurut dia, tidak hanya berkisar pada masalah komoditas produk semata, tetapi juga mencakup masalah kebijakan, termasuk imbas aturan perdagangan internasional yang cenderung lebih menguntungkan negara maju, seperti Australia, dibandingkan negara berkembang, seperti Indonesia.
Sudut pandang Australia
Indonesianis Colin Brown menyoroti sudut lain. Ia mengatakan, dukungan untuk liberalisasi perdagangan dan investasi internasional di Indonesia tidak pernah solid. Sebaliknya, terdapat kecenderungan untuk melindungi produsen lokal dengan pajak dan subsidi.
Bagi eksportir Indonesia, walaupun terbuka, pasar Australia terlalu kecil, dan kesempatan untuk mengirim hasil produksi ke negara-negara ASEAN, China, atau Amerika Serikat lebih menarik.
Dalam analisisnya di Australian Outlook, September 2019, Brown menulis, ia khawatir bahwa keuntungan komersial yang akan diperoleh melalui perjanjian ini terlalu dibesar-besarkan. Ia mengingatkan, antara lain, Serikat Buruh dan Partai Buruh mempertanyakan klausul penyelesaian perselisihan penanam modal dengan pemerintah yang, menurut mereka, berpotensi membawa Australia ke pengadilan internasional dalam berbagai sektor, seperti kesehatan, lingkungan, dan sejenisnya, dengan alasan membatasi perdagangan.
Kedua belah pihak ini, terutama Serikat Buruh, juga mempertanyakan klausul yang mengizinkan pekerja Indonesia bekerja di Australia tanpa melihat kondisi pasar pekerja di Australia, tulis Brown yang juga profesor tamu Griffith Asia Institute, Brisbane, dan anggota Australia Indonesia Business Council.
Brown memprediksi kenaikan volume perdagangan antar-kedua negara. Walaupun hal itu akan lebih menguntungkan para eksportir Australia, terutama pengekspor hewan ternak, para pengekspor Australia tetap harus menghadapi tantangan, seperti lemahnya infrastruktur di Indonesia serta birokrasi yang tak efisien dan korupsi.
Menurut biro statistik Australia, dari 2.500 perusahaan Australia yang mengekspor produk mereka ke Indonesia, hanya sekitar 250 perusahaan yang mempunyai kantor cabang di Indonesia atau 450 perusahaan jika toko ritel dan investasi properti dimasukkan.
Bagi eksportir Indonesia, menurut Brown, walaupun terbuka, pasar Australia terlalu kecil dan kesempatan untuk mengirim hasil produksi ke negara-negara ASEAN, China, atau Amerika Serikat lebih menarik.
Namun, ada satu sektor yang bisa menguntungkan Australia, tetapi tidak terdapat dalam perjanjian tersebut, tulis Brown, yaitu pariwisata. Pada 2018, wisatawan Australia membelanjakan 3,454 juta dollar Australia (sekitar Rp 31,2 miliar) di Indonesia, sedangkan wisatawan Indonesia hanya menghabiskan 1,340 juta dollar Australia di Australia. Salah satu hambatan, kata Brown, adalah sulitnya warga Indonesia mendapatkan visa turis ke Australia.
Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia atau Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) mencatat bahwa peraturan impor Indonesia dalam sektor lingkungan, komoditas pertanian, terutama barang jadi, tidak saja kompleks, tetapi juga sering ambigu dan berubah-ubah. Selain peraturan yang kompleks, sistem hukum yang tumpang tindih menjadi persoalan tersendiri bagi pebisnis.
Namun, DFAT melihat bahwa dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita mendekati 4.000 dollar AS saat ini, belanja konsumen Indonesia diperkirakan mencapai 1 triliun dollar AS pada 2030. Menurut DFAT, kesempatan yang terbuka bagi pebisnis Australia antara lain mencakup ekspor produk makanan dan hasil pertanian, pendidikan dan pelatihan, perbankan, pelayanan canggih dalam sektor hasil bumi, infrastruktur, pertahanan dan penerbangan, teknologi digital, dan kesehatan. Adapun prioritas dan ekspor Australia yang tetap perlu dijaga antara lain hasil pertanian, hasil sumber alam, pertambangan, pelayanan teknik, dan pendidikan tinggi.