Partai politik merupakan pilar utama demokrasi. Jika masih membuka ruang konflik dalam kontestasi, apalagi masih bergantung pada satu tokoh sentral, kedewasaan parpol dalam berdemokrasi itu pun layak diuji kembali.
Oleh
NTA/IGA/JAL/NIA
·6 menit baca
Partai politik merupakan pilar utama demokrasi. Jika masih membuka ruang konflik dalam kontestasi, apalagi masih bergantung kepada satu tokoh sentral, kedewasaan parpol dalam berdemokrasi itu pun layak diuji kembali. Saatnya kini parpol harus memulai melepaskan diri dari bayang-bayang tokoh sentralnya.
Kericuhan yang diikuti aksi lempar kursi menjelang pemilihan ketua umum Partai Amanat Nasional pada Kongres V di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (11/2/2020), langsung menjadi pembicaraan hangat di dunia nyata dan maya. Foto dan video aksi saling lempar kursi berikut komentar miring pun beredar luas. Sampai-sampai pembicaraan tentang kericuhan Kongres PAN menjadi trending topic di Twitter, bahkan beredar video parodi melalui aplikasi video TikTok. Video berdurasi 15 detik yang diunggah akun @idilbetespongsimp menampilkan delapan laki-laki berhadapan mengangkat kursi berwarna kuning. Mereka berjoget dengan gaya seolah-olah saling melempar kursi dengan iringan lagu remix berjudul ”Siapa Benar Siapa Salah”.
Video parodi yang diduga dibuat di lokasi Kongres PAN itu seolah menyindir perilaku sebagian kader parpol yang membuat kericuhan. Kericuhan memang terjadi lantaran kader dua kubu calon ketua umum PAN saling menyalahkan dan merasa sama-sama paling benar. Tidak hanya masyarakat umum, sejumlah kader PAN juga mengaku kecewa dan menyesalkan kericuhan itu. Apalagi, aksi lempar kursi tersebut membuat kursi-kursi hotel yang disewa rusak, kaca ruangan pecah, bahkan kepala empat kader PAN bocor.
Kader senior PAN, Dradjad H Wibowo, misalnya, mengaku malu, kongres yang merupakan forum tertinggi partai diwarnai kerusuhan. ”Terus terang saya syok, malu, kongres rusuh seperti ini,” katanya. Ekonom yang kembali turut serta dalam pemilihan ketua umum itu pun menyebut tindakan sejumlah oknum kader tersebut menodai demokrasi yang dibangun sejak awal PAN berdiri pada 1998.
Terus terang saya syok, malu, kongres rusuh seperti ini.
Untung saja kericuhan segera reda dan pemilihan ketua umum PAN yang dilakukan dengan cara pemungutan suara berjalan lancar. Pemungutan suara akhirnya diikuti tiga calon, dari sebelumnya empat calon, karena satu orang mundur, yaitu Asman Abnur. Ketiga calon ketua umum yang bersaing adalah Dradjad H Wibowo, Mulfachri Harahap, dan Zulkifli Hasan.
Hasilnya, 331 dari 565 pemilik suara memberikan pilihan kepada Zulkifli, 225 diberikan untuk Mulfachri, dan 6 suara untuk Dradjad. Kemenangan Zulkifli pun diterima karena buktinya hingga kongres ditutup pada Rabu (12/2/2020), tak ada satu pun kader yang mengajukan protes resmi kepada panitia. Bahkan, sebelum suara selesai dihitung,
Mulfachri yang merupakan pesaing berat Zulkifli memberikan selamat. Mulfachri mendekat, menyalami, kemudian memeluk Zulkifli yang menjadi pesaing terberatnya dalam kontestasi tersebut. Keduanya memang sudah bersahabat sejak lama karena sama-sama menempuh pendidikan di Universitas Krisnadwipayana. Tak hanya itu, baik Mulfachri maupun Zulkifli masuk kepengurusan DPP PAN pada tahun 2000. Dua-duanya mengawali karier di DPP PAN dengan menjadi ketua departemen.
Sejarah baru
Meski diwarnai kericuhan, kongres tahun ini justru menjadi penanda datangnya sejarah baru di partai berlambang matahari itu. Tradisi jabatan ketua umum satu periode berhasil diubah. Begitu pula ketergantungan kepada salah seorang tokoh, yakni M Amien Rais, berangsur-angsur hilang. Hal ini setidaknya terbukti dengan tidak terpilihnya Mulfachri yang didukung Amien sebagai ketua umum.
Pengalaman empat kongres sebelumnya, kandidat yang didukung Amien selalu terpilih menjadi ketua umum. Pada Kongres III di Batam 2010, misalnya, Dradjad rela mundur dari pencalonan sesuai permintaan Amien yang kala itu mendukung Hatta Rajasa. Jadilah Hatta terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum 2010-2015. Begitu pun saat Kongres IV di Bali 2015, Hatta yang memiliki kekuatan dan logistik memadai justru kalah dari Zulkifli, penantang baru yang didukung Amien.
Direktur Pusat Kajian Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Aditya Perdana melihat, para kader PAN mulai berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang Amien Rais. Alasan itulah yang diduga menjadi pertimbangan kader PAN membuat sejarah baru.
Para kader PAN mulai berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang Amien Rais. Alasan itulah yang diduga menjadi pertimbangan kader PAN untuk membuat sejarah baru.
Pendapat Aditya cukup beralasan. Buktinya, hingga kongres ditutup, Zulkifli belum memutuskan posisi untuk Amien. Wakil Ketua MPR itu malah langsung mengumumkan penetapan Hatta Rajasa sebagai Ketua Majelis Penasihat Partai. Kondisi tersebut berbeda dengan Kongres IV di Bali, yang akhirnya memutuskan membuat jabatan baru dalam struktur kepengurusan partai, yakni Dewan Kehormatan Partai, dan menetapkan Amien Rais sebagai ketuanya.
Aklamasi
Kondisi PAN saat ini tentu berbeda dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Nasdem yang telah terlebih dahulu menggelar forum tertinggi. Tidak ada kontestasi dalam pemilihan ketua umum di ketiga parpol pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin itu.
Muhaimin Iskandar, misalnya, kembali terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum dalam Muktamar VI PKB di Bali, Agustus 2019. Begitu pula Surya Paloh terpilih kembali menjadi ketua umum dalam Kongres II Partai Nasdem di Jakarta, November 2019, tanpa ada perlawanan berarti. Bahkan, Megawati Soekarnoputri sudah lima kali terpilih secara aklamasi dalam Kongres I hingga V PDI-P.
Sejak PDI-P memisahkan diri dari PDI pada 1999, posisi Megawati sebagai ketua umum memang belum pernah tergantikan. Selama lebih dari 20 tahun, parpol pemenang Pemilu 2019 itu pun belum pernah menggelar pemilihan ketua umum melalui mekanisme pemungutan suara.
Sementara itu, Partai Golkar sudah menggelar musyawarah nasional (munas) pada Desember 2019. Meski akhirnya petahana, Airlangga Hartarto, secara aklamasi kembali terpilih, bukan berarti kontestasi berlangsung tanpa perlawanan. Jauh sebelum kongres, Bambang Soesatyo yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPR sudah berupaya merebut kursi Golkar-1 melalui berbagai mobilisasi dukungan. Persaingan kedua tokoh tersebut pun sempat membuat kondisi Partai Golkar memanas dan mengarah terbelah.
Namun, Bambang kemudian mundur, beberapa jam sebelum munas dibuka, Selasa (3/12/2019) malam, setelah bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, mantan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, dan Airlangga. Alasan Bambang mundur dinilai sebagian pendukungnya dianggap mengada-ada, di antaranya karena perkembangan munas yang semakin memanas. Eskalasi politik di internal Golkar itu bahkan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas politik nasional.
Kedewasaan parpol
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menyatakan, meski sempat ternoda dengan kericuhan, proses demokrasi di PAN akhirnya berjalan dengan baik. PAN dinilai hampir sama dengan Golkar. ”Siapa pun bisa menjadi ketua,” katanya. Sebenarnya, lanjut Hendri, pemilihan ketua umum dengan aklamasi bukan berarti tak demokratis. PKB, PDI-P, dan Nasdem melaksanakan demokrasi versi mereka sendiri yang praktiknya sangat bergantung kepada tokoh sentral tiap-tiap partai.
Pemilihan ketua umum dengan aklamasi bukan berarti tak demokratis. PKB, PDI-P, dan Nasdem melaksanakan demokrasi versi mereka sendiri yang praktiknya sangat bergantung kepada tokoh sentral tiap-tiap partai.
Partai-partai politik semacam itu diharapkan ke depan bisa melewati fase tanpa tokoh sentral, seperti yang selama ini dialami Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), atau bahkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara PAN berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari bayang-bayang Amien sebagai tokoh sentral.
Banyak pakar politik yang menyatakan bahwa partai politik merupakan pilar utama demokrasi. Sebagai pilar semestinya praktik politik di internal parpol pun dijalankan dengan kaidah-kaidah demokrasi. Jika masih terjadi keributan dalam kontestasi, apalagi masih bergantung kepada satu tokoh sentral, kedewasaan parpol dalam berdemokrasi pun layak untuk diuji kembali.