Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kendati begitu, orang Sangihe dari Nusa Utara tak akan tercerabut dari akarnya. Upacara adat Tulude selalu digelar demi menolak bala di tanah rantau.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kendati begitu, orang Sangihe dari Nusa Utara tak akan tercerabut dari akarnya. Upacara adat Tulude selalu digelar demi menolak bala di tanah rantau. Pun segenap kebijaksanaan akan mereka mohonkan dari Yang Kuasa bagi pemimpin mereka meski ia bukan orang Sangihe.
Sepertinya I Ghenggona Langi, tuhan semesta alam dalam bahasa Sangihe, telah berkehendak. Langit Manado, Sulawesi Utara, sejak Rabu (5/2/2020) pagi, cerah. Padahal, dua hari sebelumnya, seluruh kota diliputi awan gelap dan hujan turun sepanjang hari.
Dalam semangat tinggi, warga keturunan Sangihe yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Indonesia Sangihe, Sitaro, dan Talaud (IKISST) Sulut berkumpul di Gereja Sentrum Manado, Wenang. Mereka bersiap mengarak kue berbentuk kerucut yang disebut kue tamo dengan tandu menuju Lapangan Sparta Tikala. Di sana, rangkaian ritual Tulude akan digelar masyarakat bersama pemerintah kota.
Ribuan warga akan berduyun-duyun merayakannya, layaknya warga yang merayakan kebesaran rajanya.
Katiandagho Antarani, anggota Badan Adat Tundung Menanireda Tundung Tampunglawo Kepulauan Sangihe, mengatakan, Tulude adalah perayaan syukur pergantian tahun oleh suku Sangihe. Mereka memohon berkat agar masyarakat dijauhkan dari penyakit, bencana, dan perselisihan sepanjang tahun yang baru.
Demi alasan terkait pariwisata, Tulude di Manado digelar pada 5 Februari. Namun, seyogianya Tulude dirayakan tiap tanggal 31 Januari. Menurut ilmu astronomi Sangihe, saat itu Bintang Fajar atau Kadademahe Daluhe berada tegak lurus di atas ubun-ubun. Artinya, tiba saatnya menulude, menolak bala dengan cara memotong kue tamo.
Katiandagho, yang memimpin ritual ritual Tulude, mengatakan, kue tamo pada dasarnya adalah dodol. ”Bahannya dari beras ketan, gula merah, minyak kelapa, dan berbagai bumbu,” kata wanita paruh baya itu.
Kue tamo yang diarak hari itu berselimutkan kertas minyak merah. Di pucuknya, tertancap beberapa telur rebus berhiaskan aneka buah dirangkai di sekitarnya. Bunga-bunga artifisial pun melengkapi dekorasi kue.
Layaknya persembahan sakral, kue tamo didoakan lebih dulu oleh pendeta di Gereja Sentrum Manado. Empat lelaki muda berpakaian adat Sangihe, mengenakan laku tepu dilengkapi penutup kepala paporong, kemudian menggotongnya. Langkah mereka diiringi kelompok Tari Gunde beranggotakan sembilan wanita muda. Beberapa tetua menyanyi sambil menabuh genderang tagonggong.
Di Lapangan Sparta Tikala, pawai disambut Wali Kota Manado Vicky Lumentut dan Wakil Wali Kota Manado Mor Dominus Bastiaan yang mengenakan laku tepu dan paporong kuning. Upacara dimulai dengan rangkaian syair sasambo dalam bahasa Sangihe dan persembahan sirih pinang bagi para pemimpin kota.
Ritual memuncak saat Katiandagho bersajak sasambo cukup panjang disambut teriakan warga yang hadir. Sajak itu berisi doa restu dari rakyat disertai pesan soal kebijaksanaan bagi pemerintah. Tulude pun diakhiri dengan pemotongan pucuk kue tamo seperti memotong nasi tumpeng.
”Kue tamo adalah simbol kekokohan kebersamaan antara rakyat dan pemerintah. Persembahan kue tamo ini melambangkan harapan agar pemerintah bisa melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Kue kemudian dibagikan kepada seluruh rakyat sebagai tanda persaudaraan dan solidaritas,” tuturnya.
Rumah besar kita, Manado, berisi beragam suku, agama, ras, dan budaya. Semuanya akan kita beri ruang untuk ditampilkan sebagai suguhan yang dapat dinikmati semua orang. (Vicky Lumentut)
Menurut budayawan asal Sangihe, Iverdixon Tinungki, mantra-mantra sasambo berisi doa tentang kebijaksanaan serta larangan akan hal-hal yang tabu, seperti mencuri dan berzina. Dalam konteks modern, pemerintah diingatkan untuk menjauhi keburukan, seperti korupsi, yang dapat membawa bala bagi kehidupan masyarakat (Kompas, 3/2/2010).
Rumah bersama
Di kepulauan Sangihe, tanah leluhur suku Sangihe, Tulude digelar tiap tahun sebagai pesta rakyat di halaman rumah jabatan bupati. Ribuan warga akan berduyun-duyun merayakannya, layaknya warga yang merayakan kebesaran rajanya.
Meski di tanah rantau, warga etnis Sangihe di Manado tetap melibatkan pemimpin mereka, Vicky dan Mor, dalam Tulude kendati keduanya bukan suku Sangihe. Sebab, kemaslahatan orang Sangihe yang telah jadi warga Manado bergantung pada kebijaksanaan Vicky dan Mor. Kue tamo pun menjadi lambang kontrak sosial yang luhur antara rakyat dan pemkot.
Bagi Vicky, warga suku Sangihe yang berasal dari Nusa Utara adalah bagian dari sebuah rumah besar yang ditempati bersama. Rumah itu disebut Manado. Adat dan budaya Sangihe pun turut menyemarakkan keanekaragaman dalam rumah besar.
”Rumah besar kita, Manado, berisi beragam suku, agama, ras, dan budaya. Semuanya akan kita beri ruang untuk ditampilkan sebagai suguhan yang dapat dinikmati semua orang. Kita akan lestarikan bersama, apalagi kota kita telah menjadi destinasi wisata,” kata Vicky.
Menjalankan program
Vicky juga berjanji untuk menjalankan semua program dengan baik tahun 2020. Selain pameran budaya, program yang jadi unggulan adalah peningkatan dana duka bagi setiap keluarga pemegang kartu tanda penduduk (KTP) Manado, dari Rp 2,5 juta tahun 2019 menjadi Rp 5 juta tahun 2020. Selain itu, pengadaan insinerator untuk mengatasi masalah sampah juga perlahan direalisasikan.
”Program ini kami buat untuk semua warga Manado, baik yang memilih Vicky-Mor maupun yang tidak. Saya mohon bantuan agar semua warga dapat turut mengimplementasikan program-program kota dengan baik,” katanya.
Sementara itu, Ketua IKISST Sulut Orbanus Naharia mengapresiasi Pemkot Manado yang mengakomodasi ekspresi budaya warga keturunan Nusa Utara. Bahkan, Tulude dijadikan helatan unggulan Manado untuk mengembangkan daya tarik pariwisata.
”Doa selalu kami sampaikan bagi Pak Wali Kota. Kiranya apa yang dicita-citakan dapat tercapai. IKISST juga akan terus mendukung penuh kebijakan pemerintah kota demi mendorong pembangunan,” kata Orbanus.
Orbanus pun tak lupa menyisipkan permintaan agar melibatkan lebih banyak warga Manado keturunan Nusa Utara di jajaran pemerintahan kota. ”Jika boleh, mohon diperbanyak warga Nusa Utara yang masuk eselon dua dan tiga. Itu akan jadi penghargaan yang luar biasa bagi kami,” ujarnya.
Ritual Tulude hari itu dilanjutkan dengan makan bersama. Selesai makan, semua orang larut dalam nyanyian masamper massal yang diiringi alunan musik bambu khas Nusa Utara. Wakil Wali Kota Mor pun melebur bersama warga dari beragam kalangan. Sesaat, kedekatan rakyat dan pemerintah terasa hangat, tetapi soliditas keduanya akan dibuktikan seiring waktu.