Beri Waktu Pemulihan, Penyelamatan Buaya ”Berkalung” Ban Dihentikan
›
Beri Waktu Pemulihan,...
Iklan
Beri Waktu Pemulihan, Penyelamatan Buaya ”Berkalung” Ban Dihentikan
Upaya penyelamatan buaya muara terjerat atau ”berkalung” ban di Sungai Palu, Sulawesi Tengah, belum membuahkan hasil. Operasi dihentikan sementara untuk memberikan waktu pemulihan kepada buaya setelah selama ini diburu.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Setelah dua pekan, upaya tim penyelamatan buaya muara terjerat atau ”berkalung” ban di Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, masih belum membuahkan hasil. Operasi dihentikan sementara untuk memberikan waktu pemulihan kepada satwa dilindungi tersebut.
Operasi penyelamatan buaya muara (Crocodylus porosus) dilakukan tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah selama dua pekan terakhir. Sepekan belakangan, operasi turut melibatkan ahli penanganan satwa liar dari Australia, Matthew Wright. Hingga operasi dihentikan sementara pada Senin (17/2/2020), buaya itu belum dapat ditangkap.
Dalam upayanya, tim telah memakai berbagai metode, antara lain pemasangan perangkap atau kerangkeng dan penombakan dengan harpun. Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA yang juga Ketua Satuan Tugas Penanganan Satwa Haruna menyatakan, buaya tersebut sudah lama diburu. Hal itu dikhawatirkan bisa mengganggu habitat dan perilaku buaya yang bisa mengganggu warga di sekitar Sungai Palu.
”Satwa ini diberi waktu untuk istirahat, pemulihan, agar ia tak terganggu dan berubah drastis perilakunya,” ujar Haruna, didampingi Matthew, di Palu, Sulteng, Senin.
Satwa ini diberi waktu untuk istirahat, pemulihan, agar ia tak terganggu dan berubah drastis perilakunya.
Dalam sepekan operasi melibatkan ahli penanganan satwa liar khusus reptil dari Australia, ada dua kesempatan emas dalam menangkap buaya tersebut. Kesempatan pertama pada Jumat, 14 Februari, di sekitar Kelurahan Nunu, Kecamatan Tatanga. Saat itu, Matthew berjarak sekitar 5 meter dari buaya. Ia menombak dengan harpun sebanyak dua kali. Satu percobaan mengenai buaya, tetapi tak menancap di kulit. Satu upaya lain, lemparan harpun tak tepat sasaran.
Kesempatan lainnya terjadi Minggu (16/2/2020) dini hari. Harpun menancap di kulit buaya, tetapi terlepas saat buaya berenang menjauh di muara Sungai Palu.
Harpun dirangkai dari mata tombak bergerigi dengan panjang tak lebih dari 5 sentimeter. Harpun ditancapkan di ujung kayu dan diikat dengan tali sehingga saat alat itu ditancapkan pada kulit buaya, keberadaannya bisa terdeteksi. Pada saat yang tepat, buaya lalu dijerat di bagian kepala lalu diseret ke darat.
Harpun biasanya hanya menancap di bagian luar kulit buaya. Penggunaan alat itu aman dalam penanganan satwa liar dilindungi.
Selain penggunaan harpun, tim penyelamatan juga memasang perangkap (kerangkeng) di lokasi biasa buaya tersebut muncul, tetapi setelah itu tak pernah lagi muncul di situ. Haruna menyampaikan, kendati tak signifikan, perilaku buaya muara terjerat ban tersebut sudah berubah.
Biasanya buaya itu berenang di Sungai Palu hingga 5 kilometer dari muara, tepatnya di sekitar Jembatan II. Namun, dalam seminggu terakhir, buaya jarang kembali ke tempat itu dan lebih sering berkeliaran di muara.
Tim penanganan satwa BKSDA Sulteng tetap memantau keberadaan buaya yang terjerat ban. Jika memungkinkan penangkapan, tim akan menangkap buaya untuk mengeluarkan ban dari leher.
Buaya muara berkalung ban terdeteksi pada pertengahan 2016 di Sungai Palu. Waktu itu dengan postur tubuh masih kecil, ban agak longgar menjerat leher buaya. Saat ini, seiring dengan makin besarnya buaya, ban seperti mencekik leher buaya. Panjang buaya itu diperkirakan tak kurang dari 4 meter. Selain buaya tersebut, tercatat sekitar 15 buaya lain hidup di Sungai Palu.
Matthew kembali ke Australia pada Selasa 18 Februari. Ia kemungkinan akan kembali lagi pada Mei 2020 dengan misi sama. ”Kami akan menggali lagi kemungkinan-kemungkinan sumber daya lain untuk menyelamatkan buaya ini,” ujarnya.
Namun, ia belum menyebutkan metode lain yang mungkin dipakai dalam misi kedua. Menurut dia, tak ada kendala berarti dalam operasi selama seminggu terakhir. ”Buaya seperti satwa liar lainnya memang cerdas. Mereka mengetahui dan menghindari kontak atau upaya untuk mendekati mereka,” katanya.
Buaya berkalung ban tersebut tak perlu diburu dengan penombakan. Lebih disarankan metode menjaring buaya.
Safrudin (60), warga Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur, yang hari-hari mencari besi tua di sekitar muara, menyatakan, buaya di tempat tersebut tak mengancam. Ia sering beraktivitas tak jauh dari buaya.
Menurut dia, buaya berkalung ban tersebut tak perlu diburu dengan penombakan. Ia lebih menyarankan metode menjaring buaya. ”Lokasi berenangnya tak jauh-jauh di sekitar muara ini dan saya tahu persis. Kalau lokasi itu dipasang jaring yang kuat, mungkin buayanya terjerat, lalu dikeluarkan bannya,” tuturnya.
Safrudin juga menyayangkan upaya penyelamatan ban juga tak disertai dengan upacara atau ritual. Semestinya hal itu dilakukan sebagai bentuk doa agar upaya berhasil dan ”menawarkan” hati buaya.
Upaya penyelamatan buaya yang terjerat ban tersebut cukup panjang. Sebelum operasi dua pekan terakhir, sejumlah upaya pernah dilakukan. Panji yang juga dikenal cukup ahli dalam penanganan satwa liar berupaya pada 2017, tetapi gagal. Setelah itu, salah satu tim dari Australia juga turut ambil bagian, tetap juga tak berhasil menyelamatkan buaya malang itu.