Di Rindangnya Pepohonan Suropati, Ali dan Bingbing Berkenalan
›
Di Rindangnya Pepohonan...
Iklan
Di Rindangnya Pepohonan Suropati, Ali dan Bingbing Berkenalan
Anak-anak muda di DKI Jakarta menganggap ruang terbuka hijau atau RTH sebagai medium yang dapat membuka ruang interaksi dan beraksi menyalurkan hobi. Mereka berharap RTH di Jakarta dapat dipertahankan, bahkan ditambah.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/2/2020), ramai dengan warga. Sebagian berolahraga, ada pula yang bersantai dengan keluarga. Pagi itu, beberapa anggota Komunitas Pncinta Sugar Glider Indonesia (KPSGI) Regional Jakarta memamerkan hewan sugar glider (Petaurus breviceps) kepada para pengunjung taman.
Ali Akbar (18), pelajar dari SMA Negeri 54 Jakarta, adalah salah satu pengunjung yang tertarik melihat tingkah laku ”Bingbing”, sugar glider milik anggota KPSGI, Hergia. Berkali-kali Ali menggendong dan mengelus-elus ”Bingbing” sambil mengobrol dengan Hergia tentang cara merawat sugar glider.
Dari situ Ali mendapat pengetahuan tentang cara merawat sugar glider yang baik dan benar. Misalnya, gigi sugar glider pantang untuk dipotong karena bisa menyebabkan infeksi pada rahang hewan mungil ini. Di sisi lain, saat dipotong, bisa jadi sugar glider tidak kuasa menahan sakit hingga stres.
Bagi Ali, informasi tersebut tidak akan pernah ia dapatkan jika pagi itu ia tidak berada di Taman Suropati. Keberadaan taman tidak hanya menyumbangkan ruang terbuka hijau (RTH) bagi Jakarta. Taman-taman kota juga penting sebagai tempat beraktivitas, seperti berolahraga atau sekadar mendapatkan udara segar di tengah polusi udara yang terus mengepung Jakarta. RTH pun menjadi tempat berkumpul warga dari berbagai latar belakang dan sekadar bertukar informasi.
”Di sini kita bisa bertemu dengan orang-orang yang santai. Enggak ada yang sibuk sama gawai. Enggak ada juga yang merokok,” katanya.
Ali menilai, RTH di Jakarta idealnya harus berada di lahan yang luas dan dipenuhi dengan pepohonan yang rindang. Lokasi tersebut pasti akan digemari oleh anak-anak muda karena mereka bisa menyalurkan kegiatan dan hobi-hobinya secara leluasa.
Keberadaan taman tidak hanya menyumbangkan RTH bagi Jakarta. Taman-taman kota juga penting sebagai tempat beraktivitas, seperti berolahraga atau sekadar mendapatkan udara segar di tengah polusi udara yang terus mengepung Jakarta. RTH pun menjadi tempat berkumpul warga dari berbagai latar belakang dan sekadar bertukar informasi.
Di beberapa tempat, RTH sering dijadikan tempat bermain skateboard, berlatih biola, bermain bulu tangkis, dan melukis oleh berbagai komunitas anak muda. ”Enggak kebayang kalau enggak ada RTH di Jakarta, mungkin orang-orang Jakarta akan pergi ke puncak Bogor semua setiap akhir pekan,” ujarnya.
Andika Cahyono (17), anggota dari Komunitas Sepeda Taruna Gowes, mengatakan, RTH di Jakarta sangat dibutuhkan di tengah polusi udara Jakarta yang memburuk beberapa waktu lalu. Bagi warga yang aktif bersepeda setiap pekan, RTH menjadi tempat yang tepat untuk beristirahat.
”Kalau sepedaan, pasti kami kumpulnya di taman-taman gitu karena seger aja rasanya banyak pohon,” katanya.
Andika menganggap, jumlah RTH di Jakarta harus terus ditambah. Tidak hanya taman, menurut dia, pohon-pohon di trotoar juga perlu diperbanyak agar jalan di Jakarta tidak terkesan panas. Keberadaan pohon-pohon tersebut juga bisa menjadi penawar polusi kendaraan bermotor.
RTH di Monas
Terkait dengan revitalisasi RTH di Monumen Nasional (Monas), Ali mendukung upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta asalkan RTH di kawasan Monas tersebut tidak dikurangi. Menurut dia, sayang jika harus mengorbankankan RTH di Monas untuk penyelenggaraan Formula E.
”Menurut saya, yang wajib ada di Monas adalah lahan yang luas, pedagang makanan, dan pepohonan,” kata Ali. Ia mengaku terakhir kali datang ke Monas dua bulan lalu.
Meskipun terbilang jarang datang secara khusus ke taman-taman di Jakarta, Ali berharap keberadaan RTH di Jakarta terus dipertahankan, bahkan ditambah jika memungkinkan.
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN, Rizky Sulistiawan (23), menilai, Monas adalah simbol Jakarta. Keberadaan RTH di kawasan ini menjadi salah satu elemen yang mempercantik Monas. Kendati demikian, ia menilai, revitalisasi Monas adalah hal yang sah dilakukan asalkan tidak merusak RTH di sana.
”Jika ada pohon yang dicabut di kawasan selatan, harusnya tidak dibuang pohonnya, tetapi dipindahkan ke sisi lain,” katanya.
Seperti diketahui, sebanyak 190 pohon di sisi selatan pelataran Monas dicabut karena area tersebut akan dijadikan Plaza Selatan. Sementara itu, 85 pohon yang dicabut akan dipindahkan ke pelataran timur dan barat Monas. Adapun perluasan RTH di kawasan Monas akan dilakukan secara bertahap (Kompas, 19/1/2020).
Pada 2018, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah menyebutkan, luas lahan RTH di Jakarta sebesar 9,9 persen atau sekitar 1.914 hektar. Padahal, dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, RTH Jakarta ditargetkan mencapai 30 persen (Kompas, 7/2/2020). Artinya, ada sekitar 20,1 persen lahan RTH tambahan yang mesti dipenuhi dalam sepuluh tahun ke depan.
Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pengadaan Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, RTH diartikan sebagai area memanjang atau jalur yang dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.