Timpangnya Ekonomi, Kekayaan Satu Orang Lampaui Pendapatan Satu Negara
›
Timpangnya Ekonomi, Kekayaan...
Iklan
Timpangnya Ekonomi, Kekayaan Satu Orang Lampaui Pendapatan Satu Negara
Kekayaan Jeff Bezos, yang mencapai 125,3 miliar dollar AS, melampaui PDB Maroko yang sebesar 119,04 miliar dollar AS. Padahal, populasi negara di Afrika Utara itu mencapai 36,61 juta orang.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
Dunia semakin timpang dari sisi ekonomi. Kini, semakin banyak kekayaan satu orang yang bisa melampaui pendapatan domestik bruto suatu negara yang dihuni puluhan juta orang.
Mengutip artikel dari laman LearnBonds.com, Senin (17/2/2020), berjudul ”World’s Top Ten Billionaires Worth More Than Poorest 85 Countries Combined”, kekayaan bos Amazon, Jeff Bezos, yang mencapai 125,3 miliar dollar AS pada 2019, melampaui produk domestik bruto (PDB) Maroko 2019 yang sebesar 119,04 miliar dollar AS. Padahal, populasi negara di Afrika Utara itu mencapai 36,61 juta orang.
Adapun Bill Gates, pendiri Microsoft yang merupakan orang termakmur kedua di dunia setelah Bezos, kekayaannya yang mencapai 112,6 miliar dollar AS lebih besar daripada PDB Ekuador yang sebesar 107,9 miliar dollar AS. Negara Amerika Latin tersebut berpenduduk 17,34 juta orang.
Sementara orang terkaya ketiga di dunia, yakni Bernard Arnault dan keluarga, kekayaannya yang sebesar 108 miliar dollar AS mengalahkan PDB Slowakia yang sebesar 106,5 miliar dollar AS. Jumlah penduduk Slowakia sekitar 5,46 juta orang.
Selanjutnya, bos Berkshire Hathaway, Warren Buffet, dengan kekayaan 90,4 miliar dollar AS. Kekayaannya melebihi PDB Republik Dominika, negara di Amerika Tengah, yakni 89,48 miliar dollar AS, dengan populasi 11,14 juta orang.
Kekayaan Amancio Ortega, pendiri Zara Fashion (kekayaan 78,1 miliar dollar AS), dan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook (kekayaan 78,1 miliar dollar AS), juga melebihi PDB dari Oman, negara di Uni Emirat Arab, yakni 76,6 miliar dollar AS, dan berpopulasi 6,58 juta jiwa.
Jika digabungkan, akumulasi kekayaan 10 orang terkaya di dunia mencapai 858,1 miliar dollar AS. Jumlah ini lebih besar dari PDB 85 negara.
Berdasarkan data PDB 2019 dari International Monetary Fund, bahkan tidak ada satu pun negara Afrika yang memiliki tingkat PDB lebih tinggi dari akumulasi kekayaan 10 orang itu. Bahkan, Nigeria sebagai negara Afrika dengan PDB tertinggi, yaitu 446,5 miliar dollar AS, hanya 47,9 persen dibandingkan dengan akumulasi kekayaan 10 orang terkaya di dunia itu.
Ekonomi liberal
Besarnya kekayaan seseorang tak lepas dari sistem ekonomi dunia yang sudah lebih terbuka dalam perdagangan. Keterbukaan pasar setiap negara atau bisa juga disebut ekonomi liberal memberi kesempatan kepada setiap individu untuk berinovasi menciptakan produk-produk unggulan yang berdaya saing.
Ekonomi liberal menurut Adam Smith (1723-1790) dalam buku Introduction to International Political Economy, Second Edition (2001), yang ditulis David N Balaam dan Micahel Veseth, menghendaki laissez-faire, yaitu pasar dibiarkan berjalan sesuai mekanismenya tanpa ada campur tangan pemerintah. Keadaan ini memunculkan kompetisi melalui cara yang konstruktif.
Pemikiran Adam Smith dilanjutkan oleh David Ricardo (1722-1823) yang beranggapan, pasar bebas internasional akan menstimulasi pertumbuhan industri dan meningkatkan inovasi. Dengan begitu, negara-negara di dunia akan menjadi bagian dari masyarakat global yang disatukan oleh kepentingan nasional setiap negara sehingga menjadi tergantung satu dengan yang lain.
Namun, ekonomi liberal akan cenderung membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, baik dalam lingkup internasional maupun domestik. Sebab, ekonomi akan dikuasai hanya oleh orang-orang tertentu sehingga terjadi monopoli pasar.
Oleh sebab itu, John Stuart Mill (1806-1873) mengkritik, laissez-faire memang diperlukan, tetapi tidak di semua aspek kehidupan. Negara atau pemerintah harus tetap hadir dan campur tangan untuk mengoreksi kegagalan atau kelemahan pasar agar ketimpangan tidak semakin melebar, khususnya dalam konteks suatu negara.
Distribusi kekayaan
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Rusli Abdullah, menilai, memang ekonomi liberal baik untuk menciptakan daya saing sehingga menghasilkan produk berkualitas dengan biaya efisien. Namun, dalam konteks suatu negara, pemerintah harus hadir agar tidak terjadi ketimpangan.
Salah satunya adalah melalui pajak. ”Kuncinya di pajak, apa pun sistem ekonominya, kalau pajaknya rendah bagi pemilik modal dan usaha, ketimpangan ekonominya akan tinggi,” kata Rusli saat dihubungi.
Jika melihat kasus di Indonesia, berdasarkan Badan Pusat Statistik, tingkat ketimpangan di Indonesia (rasio gini) per September 2019 sebesar 0,38, tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Rasio gini berkisar 0-1, semakin mendekati 1 berarti ketimpangan semakin besar.
Untuk itu, idealnya, lanjut Rusli, besaran Pajak Penghasilan (PPh) badan 35 persen sampai 45 persen, saat ini besaran PPh badan sebesar 25 persen. Lebih dari itu, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang disusun melalui mekanisme omnibus law, ada pula penurunan tarif PPh badan menjadi 20 persen.
”Namun, kalau pajak kita masih dikorupsi, itu sama saja bohong. Maka, untuk Indonesia, perlu ada pembenahan dahulu dalam memberantas korupsi hingga ke akarnya. Setelah itu, baru akan tercipta birokrasi yang bersih. Rakyat pun menjadi percaya ketika membayar pajak, uangnya digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, bukan dikorupsi,” tutur Rusli.
Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), tingkat ketimpangan di Amerika Serikat pada 2017 juga besar, mencapai 0,39. Berdasarkan data Tax Policy Center, besaran PPh badan di Amerika Serikat 21 persen.
Berbeda dengan negara-negara Skandinavia, yaitu Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia, dan Eslandia, yang memiliki tingkat ketimpangan di bawah 0,30. Besaran PPh badan di negara-negara tersebut berkisar 30 persen hingga lebih dari 50 persen.
Dengan begitu, semakin besar pajak dibebankan kepada badan atau orang-orang kaya, ketimpangan dapat diatasi. Namun, penting diingat, diperlukan birokrasi yang bersih untuk mengelola pajak dalam rangka mengentaskan warga dari kemiskinan.