Lanskap Kota dan Penyebaran Wabah Korona
Perencanaan, penataan, dan pembangunan kota begitu penting. Kemudahan akses pada aneka layanan publik sangat menentukan kualitas hidup warga, termasuk saat wabah seperti Covid-19 menyerang.
BANGKOK, SENIN — Bagaimana sebuah kota seperti Wuhan di Hubei, China, menjadi faktor bagi penyebaran virus korona tipe baru (Covid-19)? Apakah para perencana kota pernah mengira kota padat seperti Wuhan akan berhadapan dengan kondisi terkini, mengakibatkan kematian dan kesakitan, akibat menyebarnya sebuah penyakit?
Publik global masih khawatir dengan wabah penyebaran penyakit baru, yaitu Covid-19. Apakah virus penyebab penyakit itu akan terus menyebar dan sampai mana sekaligus kapan bisa dikendalikan masih menjadi pertanyaan bersama.
Baca juga: Puncak Gunung Es Virus Korona Baru
Hingga Senin (17/2/2020), jumlah kematian akibat virus itu telah menembus 1.700 orang. Sebanyak 105 dilaporkan sebagai kasus kematian baru dalam beberapa hari terakhir. Wuhan, sebuah kota berpenduduk sekitar 11 juta jiwa, telah dikunci secara virtual selama lebih dari tiga pekan.
Wabah kali ini mengingatkan epidemi mematikan lainnya, SARS yang menewaskan lebih dari 770 orang antara tahun 2002 dan 2003. Episentrum penyakit itu adalah kawasan perumahan di Hong Kong, di antara kota-kota berpenduduk padat dan tidak merata di dunia.
Apa peran–baik dan buruk–sebuah kota dalam penyebaran penyakit? Dengan lebih dari dua pertiga dari populasi global diperkirakan akan hidup di daerah perkotaan pada tahun 2050, kota-kota harus dirancang untuk kesehatan yang baik. Hal itu dikatakan Sreeja Nair, seorang peneliti kebijakan di Lee Kuan Yew Center untuk Kota-kota Inovatif (LKYCIC) di Singapura.
”Sementara kehidupan perkotaan menawarkan prospek peluang ekonomi dan infrastruktur yang lebih baik, termasuk fasilitas kesehatan, cara kota-kota berkembang dan terus berkembang memainkan peran besar dalam penyebaran penyakit menular,” katanya.
Ketidaksetaraan kekayaan di kota-kota juga memengaruhi kerentanan dan kapasitas mereka dalam hal kesiapsiagaan dan respons. ”Kecenderungan karena kesenjangan sosial-ekonomi dan tata kelola membuat beberapa bagian populasi berisiko lebih tinggi, termasuk mereka yang tidak memiliki akses ke perumahan yang layak, perawatan kesehatan, dan utilitas dasar seperti air dan sanitasi,” kata Nair.
Kota telah lama menjadi magnet bagi orang yang mencari peluang ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik. Namun, daerah-daerah dengan tingkat kepadatan sangat tinggi memungkinkan penyakit menyebar dengan cepat. Hal itu terjadi ketika wabah pes di era abad pertengahan menyebar. hal serupa berlaku ketika flu burung, SARS, dan Covid-19 menyebar.
Baca juga: Ironi Pertumbuhan Kota-kota Baru di Pinggiran Jakarta
Meskipun penduduk perkotaan umumnya memiliki akses kesehatan yang lebih baik daripada populasi di perdesaan, risiko penyebaran–tampaknya– didistribusikan secara tidak merata. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebagian besar beban jatuh pada segmen rentan seperti penduduk daerah kumuh.
Perilaku manusia
WHO telah mengidentifikasi urbanisasi sebagai salah satu tantangan utama bagi kesehatan masyarakat di abad ke-21.
Lingkungan perkotaan terkait dengan sejumlah besar penyakit tidak menular, seperti obesitas, penyakit jantung, dan penyakit paru-paru. Selain itu, kota juga lekat dengan penyakit menular, seperti tuberkulosis–akibat kerapatan tempat hidup dan ventilasi yang buruk–dan penyakit yang ditularkan melalui air dan vektor, seperti demam berdarah.
Daerah perkotaan juga memiliki lebih banyak titik risiko karena kontak antara manusia dan hewan, kata David Heymann, seorang profesor di London School of Hygiene dan Tropical Medicine. Itu termasuk daerah dengan hewan pengerat, pasar hewan liar, dan domestik hidup, serta daerah pinggiran kota di mana hewan dibesarkan di fasilitas pertanian industri.
”Daerah perkotaan adalah sebuah wilayah unik dan harus mengembangkan solusi selain deteksi penyakit dan sistem respons yang kuat untuk mengendalikan infeksi yang muncul dengan cepat,” katanya.
Proliferasi infeksi yang resisten terhadap obat dan berbagai metode penularan dapat membanjiri kota-kota yang paling bersih dan terkaya sekalipun. Singapura, di antara kota-kota dengan perencanaan terbaik di dunia, telah melaporkan hampir 60 kasus virus korona, salah satu wilayah dengan penularan tertinggi di luar China.
Menurut Nair, kota-kota modern lebih mampu memanfaatkan teknologi untuk memperkuat pemantauan kasus dan populasi berisiko. Selain itu, kota modern juga menciptakan saluran komunikasi yang kuat untuk membangun kesadaran dan menghindari kepanikan di antara penduduk.
Namun, di samping itu, kota-kota membutuhkan desain dan infrastruktur yang baik, kata Matt Benson, direktur program di Think City, sebuah agen regenerasi perkotaan yang didukung pemerintah di Malaysia. ”Lebih dari kepadatan, yang memfasilitasi penyebaran penyakit di kota-kota adalah perilaku manusia. Anda dapat memiliki lingkungan dengan kepadatan rendah, tetapi jika tidak ada yang mengambil limbah mereka, itu dapat menyebabkan wabah demam berdarah,” katanya.
Baca juga: Kota-kota Cerdas di Dunia yang Sesak
Perencana harus fokus pada pembangunan ”kota 20 menit”, termasuk perkampungan di dalam kota. Yang dimaksud dengan konsep itu adalah warga dapat mencapai kantor atau tempat di mana dia bekerja dalam waktu 20 menit. Selain itu, mereka juga dapat mengakses layanan kesehatan, bertemu dokter dan rekan-rekan mereka dalam waktu 20 menit.
Melbourne sudah menguji lingkungan seperti itu di mana sebagian besar kebutuhan sehari-hari hanya berjarak 20 menit, baik dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan transportasi umum. Wali Kota Paris Anne Hidalgo bermimpi dapat mewujudkan sebuah kota dengan prinsip ”kota seperempat jam”. Targetnya adalah mengurangi polusi dan meningkatkan kualitas hidup.
Di sisi lain, dan itu tidak dapat dimungkiri, Anjali Mahendra, direktur penelitian di Ross Center for Sustainable Cities Institute of World Resources Institute di Washington DC, mengatakan, kota sejatinya menciptakan kohesi sosial yang lebih besar dan membawa lebih banyak manfaat ekonomi dan lingkungan.
Lalu, apa yang menghentikan area tersebut dari menjadi lingkungan yang penuh sesak di mana penularan penyakit bisa tinggi? Salah satunya adalah ketersediaan sarana fisik yang berkualitas baik. Permukiman informal di kota-kota besar di negara-negara berkembang memiliki masalah khusus dalam mengakses aneka layanan tersebut.
”Kota mewakili tempat inovasi, fasilitas, dan peluang sehingga kita perlu terus melihat kota berkembang,” kata Mahendra. ”Institusi perkotaan kita harus berfungsi sedemikian rupa sehingga manfaat ekonomi kota dan nilai yang diciptakan dibagi secara lebih adil.” (REUTERS)