Nurul Fadkhatussiada (20) tak kuasa menyembunyikan rasa bahagia saat kembali ke rumah di Jalan Salodong, Makassar, Sulawesi Selatan. Bertemu ibunya, Hj Monro (50), membuat Nurul lega bukan kepalang.
Hj Monro sering kurang tidur dan banyak meneteskan air mata saat kerap mendengar kabar soal penyebaran virus korona di Wuhan, China. Maklum, Nurul sedang menjalani kuliah di Universitas Hubei Minzu di Enshi, kota yang berjarak sekitar 500 kilometer dari Wuhan.
Ditemui di rumahnya, Minggu (16/2/2020) pagi, Nurul duduk di kios menemani ibunya menunggu pembeli. Tak sedikit pun kelelahan tampak di wajahnya. Padahal, dia baru tiba di rumah sekitar pukul 03.00 Wita. Hanya tidur beberapa saat, lalu dia bangun dan membantu ibunya di kios.
Kios orangtuanya tidak terlalu besar, tetapi menjadi sumber penghasilan tambahan di luar gaji ibunya, pengajar di SD Lae-Lae, Makassar, dan ayahnya yang petugas keamanan di Kawasan Industri Makassar (Kima). Rumah mereka sedikit di luar kota Makassar, dan berada di sekitar Kima. Beberapa pembeli yang datang langsung menyapa Nurul dengan ucapan syukur sembari bertanya kabar. Beberapa perempuan memeluk Nurul dengan penuh haru.
Bahagia juga dirasakan sang ibu. Sejak mengetahui ihwal virus korona, Hj Monro kurang tidur, dan kerap menelepon meminta Nurul, anak pertamanya, pulang. Saat malam tiba, ia juga sering mendadak menangis. Kebahagiaan menyambut kepulangan anaknya ditunjukkan dengan menunggu di bandara, dua jam sebelum pesawat mendarat, pukul 02.00 Wita.
”Saya justru tahu soal korona dari televisi. Nurul tak memberi tahu. Dia khawatir saya sedih. Sejak tahu soal korona, sepulang mengajar saya terus mencari kabar melalui berita,” kata Hj Monro.
Mencoba bertahan
Awalnya Nurul bertahan tak mau pulang. Selain pertimbangan biaya, Nurul bingung karena untuk pulang, dari Enshi dia harus ke Wuhan dulu, dan Wuhan tak lain kota yang dihebohkan virus korona. Sepanjang Januari-Februari sebenarnya dia libur, tetapi memilih tidak pulang. Ia sedang bersiap mengikuti ujian bahasa Mandarin sebagai syarat melanjutkan kuliah.
Untuk pulang, dia harus naik pesawat dari Enshi ke Wuhan, lalu melanjutkan penerbangan ke Shanghai, Jakarta, hingga Makassar. Enshi-Wuhan juga bisa ditempuh dengan naik mobil, dalam waktu delapan jam. ”Saya bingung harus bagaimana. Biaya pulang besar, lalu harus ke Wuhan.
Sementara di Enshi mulai sepi. Saya dan 10 mahasiswa Indonesia yang seangkatan lebih banyak di kamar, hanya keluar beli makanan, selebihnya berdiam di kamar. Setiap kali ibu menelepon, saya bingung harus menjelaskan kondisi saya agar ibu tidak khawatir. Pikiran saya, kalau hanya sekali dalam dua pekan keluar dan pakai masker, mungkin lebih aman. Jadi lebih baik bertahan,” katanya.
Suasana bahagia juga terekam di beberapa wilayah, baik di Jakarta, Surabaya, Batam, Lombok Tengah, maupun Balikpapan. Keluarga, tetangga, dan handai tolan menyambut gembira kepulangan 285 WNI yang diobservasi di Natuna, Kepulauan Riau, terkait virus korona. Mereka dipulangkan pada Sabtu (15/2).
Sekitar pukul 15.30 WIB, tampak wajah semringah dari mereka yang baru saja tiba di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta. Sambil melambaikan Merah Putih, satu per satu mereka turun dari pesawat TNI AU. Meski hujan turun rintik-rintik, hal itu tak membuat tawa dan senyuman para WNI, juga tim yang menyambut, sirna.
Pelukan dan salam hangat menyambut mereka. Dalam penerbangan itu turut juga Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Kepala Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk RI, Navaratnasamy Paranietharan.
”Rasanya lega. Saya ingin bisa cepat sampai rumah,” ucap Irma Putri Nuraini, WNI asal Lumajang, Jawa Timur, yang ditemui sesaat sebelum masuk kembali ke pintu keberangkatan Bandara Halim Perdanakusuma, untuk menuju Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia salah satu dari 65 WNI asal Jawa Timur yang diobservasi.
Di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Dewi Pujut Putri Arerien (19), salah satu mahasiswa yang dievakuasi dari Wuhan dan diobservasi di Natuna, tiba di rumahnya di Desa Gapura, Kecamatan Pujut, Minggu pagi. Putri tiba di Bandara Internasional Lombok pada Minggu sekitar pukul 09.00 Wita. Ia disambut, antara lain, oleh keluarga didampingi Asisten I Sekretariat Daerah NTB, Kepala Dinas Kesehatan NTB, dan beberapa pejabat lain.
Begitu tiba, Putri bersama ayah dan ibu, serta adik, dan sejumlah kerabat langsung pulang ke rumahnya, sekitar 11 kilometer di tenggara bandara. Di rumahnya, Putri disambut penuh haru oleh anggota keluarga lain. ”Bahagia sudah bisa balik ke rumah,” kata Putri.
Putri mengaku dalam kondisi sehat. Apalagi, selama di Natuna, dia dan teman-temannya diperlakukan dengan baik. ”Benar-benar nyaman selama di Natuna,” kata Putri. Di Batam, wajah Siat Jun (52) dan suaminya, Usman (70), bahagia dapat bertemu lagi dengan Juyanto (24), putra sulung mereka.
Dalam pertemuan di tempat parkir bandara itu, momen itu terlihat spesial. Juyanto, sulung dari dua bersaudara itu, kuliah di Jurusan Kedokteran Universitas Wuhan. Meski bisa kembali ke Indonesia, ia tak bisa langsung pulang ke rumahnya di Batam karena harus diobservasi di Natuna.
”Bahagia sekali bisa ketemu anak karena tidak ada kejadian apa-apa. Semua sehat. Akhirnya kami bisa kembali bersama,” kata Siat Jun di tempat parkir Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau, Minggu sore.(REN/BRO/NIK/JOL/ZAK/CIP/TAN)